Jokowi Abaikan Fakta Medsos Sudah Jadi Media Alternatif

Jokowi Abaikan Fakta Medsos Sudah Jadi Media Alternatif
Oleh: Hendrajit *) [quote font="arial" font_size="20" align="right" bgcolor="#000000" color="#" bcolor="#" arrow="yes"]Suatu ironi besar ketika Presidenlah yang justru mencanangkan gagasan revolusi mental. [/quote] Buat kawan kawan sejawat saya, yang bukan sekadar orang awam, tapi memang memahami persoalan, sebaiknya jangan ikut ikutan risau dengan carut marut di media sosial (medsos). Meskipun katakanlah itu benar. Seperti saling serang, saling kecam, dan bahkan yang lebih parah dari itu. Sebaiknya berpedoman pada ungkapan bijak: Jangan persoalkan kegelapan, tapi nyalakan saja sebatang lilin yang setidaknya membantu menerangi lingkungan sekitar. [quote font="arial" font_size="20" align="left" bgcolor="#000000" color="#" bcolor="#" arrow="yes"]Dengan segala baik dan buruknya, medsos, menurut saya sekarang sudah menjadi media alternatif.[/quote] Dengan segala baik dan buruknya, medsos, menurut saya sekarang sudah menjadi media alternatif. Dengan segala kuatliasnya mulai yang memang benar-benar mencoba mengimbangi kualitas media arus utama, sampai yang serba amatiran, atau bahkan sekadar buat ajang debat kusir sampai caci maki. Karena itu, daripada ikut-ikutan mengecam medsos seperti yang diucapkan Pak Jokowi di acara Kongres XVII Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), di Asrama Haji, Jakarta Timur, Kamis (24/11/2016), saya kira mending kita warnai medsos ini benar benar sebagai media alternatif. Presiden agaknya lupa, atau memang dengan sadar mengabaikan sebuah fenomena penting saat ini. Bahwa fenomena medsos, saat ini semua anggota warga masyarakat bisa membuat berita, bisa membuat investigasi sendiri satu topik yang ingin dia dalami dan gali, dan bisa membuat analisis pemberitaan. Atau bahkan bisa membuat prakiraan keadaan ala intelijen. Sekali lagi, ini terlepas dari kualitasnya seperti apa, dan intensitasnya seperti apa. Karena itu, pernyataan Presiden Jokowi yang mengecam medsos, saya kira telah menggambarkan senyata-nyatanya, pola berpikir yang anakronistik. Yaitu suatu cara pandang yang mengabaikan kondisi mental dan material dari masyarakat Indonesia dewasa ini, dan bahkan masyarakat global. Suatu ironi besar ketika Presidenlah yang justru mencanangkan gagasan revolusi mental. *) Pengkaji geopolitik dan Direktur Eksekutif The Global Future Institute.