
Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986
Gubernur Ahok telah berada dalam pencitraan sukses dan berprestasi mengurus rakyat DKI. Kalangan pendukung buta Ahok ( buta data, buta fakta dan buta angka) membangun citra Ahok terlalu jauh berbeda dengan realita yang ada.
Terkadang dibangun opini untuk mengaburkan fakta sebenarnya. Ada banyak kisah berbeda antara persepsi dan realita. Kehadiran warga di Balai Kota dicitrakan media massa pendukung seolah-olah warga tersebut datang untuk mengadu dan Ahok selalu melayani. Padahal, di sisi lain, dengan mudahnya Ahok menggusur paksa rakyat tanpa mau tahu adanya pengaduan rakyat. Bahkan, gugatan rakyat di pengadilan telah menang dan mengalahkan kebijakan Ahok, tetap tak digubris. Contoh konkret, kisah penolakan rakyat nelayan terhadap pembangunan pulau palsu atau reklamasi di utara DKI. Bertubi-tubi rakyat mengadu, Ahok tetap tak peduli alias cuek!!!
Pengaduan rakyat bisa dipandang sebagai bentuk partisipasi dan rasa kepedulian rakyat dalam pelaksanaan pelayanan publik.
Pengaduan rakyat adalah bentuk penerapan dari pengawasan atau kontrol rakyat, disampaikan oleh rakyat kepada aparatur pemerintahan terkait berupa sumbangan pikiran, gagasan, keluhan, pengaduan, kritik dan bahkan kecaman, tetapi tetap semangat agar keadaan lebih baik dan membangun.
Untuk itu, gubernur baru DKI mendatang harus selalu berpikir dan bertindak agar terus-menerus meningkatkan dan memperluas ruang bagi rakyat DKI untuk pengaduan ini. Jangan contoh Ahok yang gemar pencitraan tanpa kerja nyata, bahkan cuek dengan rakyat.
Pengaduan rakyat ini merupakan satu parameter kondisi demokrasi suatu negara. Semakin meningkat dan meluas ruang bagi rakyat untuk mengaduh kepada negara, maka bisa dinilai kondisi semakin demokratis. Semangat reformasi menghasilkan pendekatan reformasi birokrasi, di dalamnya termasuk penerapan konsep pengaduan rakyat ini. Demokrasi mengharuskan adanya komunikasi dua arah atau timbal balik antara negara dan rakyat. Pengaduan rakyat merupakan kegiatan untuk komunikasi timbal balik dimaksud.
Di Indonesia telah terbit regulasi mengatur hal ikhwal pengaduan rakyat. Antara lain UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2013 tentang Pengaduan Pelayanan Publik, dan Peraturan Menteri PAN dan RB No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat.
Perda No. 2 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Meneengah Daerah (RPJMD) Provinsi DKI Jakarta 2013-2017 menetapkan program penanganan pengaduan masyarakat (kasus/khusus). Indikator akan dicapai yaitu meningkatnya penyelesaian kasus pengaduan rakyat.
Intinya, parameter kondisi kinerja adalah penanganan atas kasus pengaduan rakyat. Semakin banyak Pemprov DKI melakukan penanganan atas pengaduan rakyat, maka semakin bagus kondisi kinerja Pemprov DKI.
Kondisi kinerja tahun 2012 di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo, tingkat penyelesaian pengaduan pelanggaran K3 (Ketertiban, Ketentraman dan Keindahan) yaitu 55%.
Sedangkan target capaian tiap tahun era Pemprov DKI Tahun 2013-2017 masing-masing 60% (2013), 65% (2014), 70% (2015); 75% (2016), dan 80% (2017). Target capaian akhir 2017 adalah 80%.
Pada 2013 direncanakan 490 penanganan kasus pengaduan. Tetapi, Pemprov DKI yang dipimpin Jokowi tidak melaporkan resmi berapa penanganan kasus pengaduan yang dapat ditangani. Maka dapat dinilai kondisi kinerja lebih buruk.
Pada 2014 memang tercatat ada program penanganan pengaduan rakyat. Pemprov DKI di bawah kekuasaan Ahok melaporkan tingkat penanganan kasus pengaduan rakyat 57%. Padahal target capaian tahun 2014 yakni 65%. Terdapat kekurangan 8 %, tergolong buruk.
Pada 2015 Ahok sama sekali tidak melaporkan secara resmi ke DPRD tingkat penanganan kasus pengaduan rakyat. Tergolong lebih buruk. Di lain pihak, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) membuat rapor kinerja birokrasi DKI tahun 2015 yakni 74,64 atau urutan No. 17 dari 33 provinsi. Selaku ibu kota, angka ini sangat memalukan!!!
Gubernur baru DKI mendatang harus mampu memposisikan DKI minimal nomor 5 tertinggi, kalau tak bisa buat nomor 1 atau 2. Upaya gubernur baru ke arah nomor 5 ini harus dimulai dari kerangka berpikir, kata kunci reformasi birokrasi menjadi penting untuk pemberdayaan fungsi pelayanan publik. Dengan perkataan lain gubernur baru harus menjadikan pembentukan democratic governance sebagai agenda perjuangan. Pembentukan democratic governance dapat meminimalkan prilaku korupsi pejabat tinggi Pemprov DKI.
Birokrasi jangan digunakan untuk kepentingan pilkada sang gubernur, tetapi benar-benar untuk pelayanan publik dan dasar nilai profesionalisme kerja dan integritas aparat. Tidak seperti kondisi birokrasi DKI di bawah kekuasaan Ahok selama ini.
Berdasarkan Perda No.2 Tahun 2012, pada umumnya kondisi kinerja Pemprov DKI 2013-2017 dari parameter penanganan pengaduan rakyat tergolong buruk. Gubernur baru DKI ke depan harus mampu menangani semua kasus pengaduan secara rasional dan bijak. Harus ada pemikiran bahwa pengaduan rakyat DKI merupakan penegakan prinsip kedaulatan rakyat, pemilik sumber daya Pemprov DKI ini.
Metode penilaian kondisi kinerja Pemprov DKI bisa juga menggunakan hasil penilaian lembaga negara seperti ORI. Parameter digunakan jumlah pengaduan. Semakin tinggi atau banyak pengaduan masyarakat, semakin buruk kondisi kinerja. Tipe ideal adalah sedikitnya masyarakat mengadu kepada Pemprov DKI.
Menurut ORI, pada era Fauzi sebelum era gubernur 2013-2017, jumlah pengaduan tertinggi di Indonesia. Pada kondisi Pemprov DKI Jakarta 2013-2017, kondisi jumlah pengaduan juga tertinggi dan masih tetap bertahan di Indonesia. Capaian ini sama dengan capaian era Fauzi. Tidak ada perubahan kemajuan berarti.
Dokumen Statistik Laporan/Pengaduan Masyarakat Ombudsman RI menyebutkan, Ombudsman DKI pada periode Januari-Desember 2015 menerima laporan/pengaduan atas dugaan maladministrasi dalam pelayanan publik sebanyak 1.122 laporan
Berdasarkan data ORI, maka kinerja Pemprov DKI Jakarta era Ahok dapat dikatakan buruk. Jakarta masih menduduki provinsi dengan pengaduan tertinggi di Indonesia. Gubernur baru DKI harus mampu dan serius mengurangi jumlah pengaduan jauh di bawah 1.122 laporan. Target capaian tiap tahun seyogyanya rata-rata 500 laporan, kalau bisa hanya 30% dari total 1.122 laporan tercapai tahun 2015 era Ahok.
Sebagai penutup, NSEAS menekankan kepada gubernur baru, antara lain:
- Harus memberi ruang seluas mungkin bagi rakyat DKI untuk pengaduan rakyat kepada Pemprov DKI.
- Harus melayani dan menangani setiap pengaduan rakyat.
- Harus mampu meminimalkan jumlah pengaduan rakyat dengan pembentukan democratic governance. Tipe ideal yakni sedikit rakyat yang mengadu.
- Jangan contoh prilaku Ahok yang cuek, yang hanya pencitraan seakan melayani pengaduan rakyat. (***)