Dilema Pilpres 2024

Obsessionnews.com - Pemilihan presiden (Pilpres) 2024 membawa dilema bahkan bisa memicu chaos. Masalahnya kecurangan itu telah, masih dan akan terjadi. Ketika Prabowo-Gibran menang satu putaran atau masuk ke putaran kedua Pilpres 2024, di tengah kecurangan, apakah rakyat bisa menerima? “Kecurangan yang dimaksud bukan kecurangan dalam penghitungan suara saja. Kecurangan yang lebih substansial adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat negara,” kata pengamat sosial dan politik, Radhar Baskoro. Ia mengungkapkan, UUD 1945 dan berbagai undang-undang mewajibkan aparat untuk netral. Namun, lanjutnya, Presiden Jokowi sebagai pimpinan tertinggi mengatakan bahwa ia akan memihak dan berkampanye untuk capres yang didukungnya. Apa yang akan terjadi bila pasangan Prabowo-Gibran menang satu putaran atau maju ke putaran kedua? Apakah rakyat bisa menerima? “Inilah dilema yang dihadapi oleh bangsa ini. Bila hasil pilpres itu diterima maka hal itu sama saja dengan mengesahkan kecurangan. Orang-orang curang menang dan berkuasa. Dan tidak ada yang bisa menghalangi mereka untuk curang lagi di kemudian hari,” tutur dia. “Kecurangan pemilu adalah pintu yang membuka kejahatan-kejahatan negara yang lainnya. Maka dipastikan dalam lima tahun ke depan Indonesia akan kental diwarnai oleh kejahatan-kejahatan politik seperti korupsi, kolusi dan nepotisme,” tambahnya. Ia pun mempertanyakan, adakah jalan hukum yang adil untuk mengatasi dilema yang dihadapi rakyat? Hal itu terkait kepada tingkat kepercayaan rakyat yang sudah sangat rendah terhadap Mahkamah Konstitusi setelah kasus “Paman Usman”. Lain dari itu Mahkamah Konstitusi cenderung menganggap tugasnya hanya menyangkut sengketa penghitungan suara. Ditegaskan, ketika kepada mereka disampaikan bukti-bukti kecurangan aparat, mereka cuma mengrgundel, katanya, “Apakah sudah dilaporkan ke Bawaslu? Apa kata Bawaslu?“ MK dalam hal ini (pura-pura) naif, memangnya apa yang bisa dilakukan Bawaslu untuk mencegah para jenderal mencurangi pemilu? Lagipula ada ribuan kasus kecurangan, bagaimana Bawaslu menanganinya dalam jangka waktu 3 bulan? Dilema pilpres ini, menurutnya, tidak memiliki jalan keluar hukum maupun politik. Seharusnya ada seorang kepala negara yang bisa memutuskan pembatalan pemilu atau menilu ulang. Tetapi kita menganut sistem presidensial dimana jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan berada di tangan seorang presiden. Dapatkah rakyat percaya kepada Presiden Jokowi sementara dialah konduktor utama dari semua kecurangan pilpres? Radhar mengingatkan, dilema pilpres dengan cepat akan menuju jalan buntu politik. Di negara demokrasi kebuntuan semacam ini dipecahkan melalui 4 jalan. Pertama, seperti telah dikatakan di atas, dilema pilpres ini diselesaikan secara moral dengan menyerahkan permasalahan kepada kepala negara. “Sebagai simbol pemersatu bangsa kepala negara akan mencari jalan keluar terbaik, dan bila kepala negara telah memutus semua wajib mematuhi. Namun, dalam situasi sekarang saya tidak percaya bahwa dilema pilpres bisa diselesaikan dengan moral,” tandas dia. “Ada dua alasan, pertama figur kepala negara sebagai simbol persatuan dan moral sudah tidak ada. Jokowi selama hampir satu dekade selalu menjalankan maunya sendiri, ia tidak pernah mau mendengar aspirasi rakyatnya. Kedua, rejim penguasa saat ini sangat tidak menghargai moral. Percuma bicara moral dengan mereka,” jelasnya pula. Apakah bisa diselesaikan dengan kompromi politik? “Rakyat pasti tidak bisa menerima sebuah kompromi politik dimana Jokowi dan Prabowo, dua pelaku kecurangan, tetap berkuasa. Kompromi semacam itu akan dianggap mengkhianati republik dan demokrasi,” kata Radhar. Kemungkinan ketiga, lanjutnya, adalah penyelesaian melalui panggung DPR. Masalahnya DPR selama ini dianggap lunak pada rezim Jokowi. Rakyat akan sulit percaya lembaga tersebut dapat memberikan putusan yang adil. “Bila ketiga cara di atas tidak dimungkinkan, maka jalan terakhir adalah street showdown. Seperti terjadi 1966 dan 1998, chaos menyeruak. Kalau hal itu terjadi, tidak ada yang dapat mengalahkan rakyat,” tutupnya. (Red)