Senin, 6 Mei 24

Di Masa Pandemi, Daya Beli Konsumen Indonesia Masih Kuat

Di Masa Pandemi, Daya Beli Konsumen Indonesia Masih Kuat
* Acara webinar berjudul 'Bisnis Bebas Krisis', Rabu (16/12/2020) (Foto: Istimewa)

Jakarta, Obsessionnews.com -Kemampuan beradaptasi adalah kekuatan yang melampaui kekuatan itu sendiri. Sejarah membuktikan mereka yang terkuat bukanlah yang paling mampu bertahan. Melainkan yang paling cepat beradaptasi.

Belakangan, kecepatan umat manusia beradaptasi diuji menyusul merebaknya pandemi Covid-19. Sains atau tepatnya ilmu kedokteran memberi petunjuk bagaimana cara bertahan untuk tetap hidup di tengah pandemi.

Secara ekonomi, para ahli finansial pun memberikan berbagai anjuran. Sementara para pemimpin, pemuka agama, dan lainnya mendorong sesama untuk bersikap dan berperilaku lebih bijak.

Tapi pikiran manusia terlalu kompleks untuk ditebak. Terlalu ‘pintar’ untuk sekadar mengikuti anjuran bahkan aturan layaknya robot terprogram. Stimulus yang sama (Covid-19) tak melulu menghasilkan respons (perilaku) seragam.

Namun demikian, selalu ada benang merah yang bisa ditarik dari keberagaman dan ketidakteraturan. Untuk menemukan benang merah itulah BAYK bersama Populix menggelar riset sederhana mengenai perilaku konsumen selama pandemi.

“Dengan memahami benang merah perilaku konsumen, kita bisa memprediksi ke arah mana arus utama tren perilaku masyarakat ke depannya,” kata General Manager BAYK Strategic Sustainability Arya Gumilar di Jakarta, Rabu (16/12/2020).

Arya menjelaskan, riset menggunakan survei kuantitatif dengan 300 responden yang tersebar di 5 kota besar Indonesia sebagai data primer. Sementara data sekunder didapat dari observasi, wawancara lapangan, dan desktop research.

Dari survei yang dilakukan bersama Populix tersebut, responden umumnya mengakui bahwa Covid-19 banyak mengubah pola hidup. Dalam urusan mengelola keuangan misalnya, 87 persen responden mengaku memprioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari selama pandemi ini.

Lebih dari 90% responden juga mengaku menjadi lebih sering memasak ketimbang masa sebelum pembatasan sosial diberlakukan. Masih banyak lagi ‘kesalehan’ pengelolaan keuangan masyarakat yang terungkap dari survei.

Namun fakta di lapangan juga menunjukkan, sejumlah produk yang sebetulnya masuk pada kategori tersier, justru meningkat selama pandemi. Stok sepeda di nyaris setiap kota habis. Bahkan sepeda impor merek tertentu dari luar negeri dengan harga puluhan hingga ratusan juta rupiah per unit, juga ludes di masa pandemi ini.

Dari temuan riset dan preferensi konsumen di e-commerce tersebut, daya beli atau dorongan masyarakat untuk spending pada dasarnya tidak banyak berubah. Ada banyak kalangan yang hanya mengubah alokasi belanja saja.

Yang tadinya spending untuk pergi nge-gym, kini beralih menekuni hobi olah raga bersepeda (mahal) dengan alasan tetap sehat dan daya tahan tubuh meningkat. Yang tadinya merogoh kocek untuk ngopi cantik di coffee shop, kini beralih masak di rumah dengan membeli cooking set (mahal) baru. Alasannya, memasak di rumah lebih hemat dan aman dari ancaman tertular Covid-19.

Padahal, bisa saja fenomena ini juga terjadi karena terdorong untuk bahan posting alias pamer di sosial media. “Gelora untuk membeli barang-barang yang memiliki nilai social currency tinggi itu tetap ada,” ungkap Arya.

Temuan-temuan dalam riset ini kemudian dirilis dan didiskusikan dalam webinar berjudul ‘Bisnis Bebas Krisis’. Disksusi ini juga menampilkan pembicara Staf Khusus MenkopUKM yang juga Komisaris Angkasa Pura 2 Fiki Satari serta Executive Vice President of Operational Blibli.com Lisa Widodo.

Dalam kesempatan tersebut Lisa memaparkan perubahan pola konsumen dari fase awal pandemi hingga kini, berdasarkaan data di Blibli.com. Ada perubahan preferensi yang menarik, bagaimana konsumen yang awalnya gandrung pada produk ‘serba sehat’ kemudian bergerak ke kebutuhan kompensasi agar tetap ‘waras dan eksis’.

Menurut Lisa, setidaknya ada 3 gelombang preferensi masyarakat dalam berbelanja berdasarkan data penjualan di Blibli.com. Pertama adalah fase panic buying di tiga bulan pertama masa pandemi.

“Produk yang banyak diburu di antaranya hand sanitizer, makanan kalengan, dan suplemen multivitamin,” ujar Lisa.

Fase kedua, memasuki bulan keempat pandemi, masyarakat mulai ‘beradaptasi’ lebih jauh dengan kebijakan pembatasan sosial. Dilihat dari data penjualan, sebagian masyarakat sibuk merenovasi kecil-kecilan kediaman mereka, seperti mengganti penerangan di rumah dengan sistem pintar berbasis ponsel.

“Termasuk juga pembelian sepeda dan aksesorisnya yang terlihat melonjak,” tutur Lisa.

Di fase ketiga, masyarakat cenderung memilih produk atau jasa yang terkait dengan hiburan. Promo penerbangan murah, menurut Lisa, adalah salah satu yang paling cepat laku, padahal masih pandemi. “Sudah kayak jual kacang goreng,” ucap Lisa.

Karena bagaimanapun, pada akhirnya social currency yang biasanya memegang komando tertinggi perilaku masyarakat. Anjuran menerapkan gaya hidup normal baru dibajak menjadi ‘pembenar’ untuk perilaku baru berkonsumsi. Celah inilah yang bisa dimaksimalkan para entrepreneur dan juga pemerintah yang tengah berjuang mengerakkan roda ekonomi.

Untuk bagian isu ini, Fiki mengupas brand value sebagai strategi membentuk kecenderungan konsumsi yang tak lekang krisis.

Sebagai pelaku bisnis industri kreatif yang kini bergabung di pemerintahan, Fiki juga memaparkan upaya­-upaya kolaboratif yang tengah dibangun pemerintah untuk meningkatkan economic value produk­produk UKM.

Fiki sadar betul, UMKM adalah fondasi ekonomi negara ini. Tak kurang dari 60% PDB nasional disumbang UMKM.

“Karena itu untuk mempertahankan roda ekonomi nasional artinya mendorong UMKM tetap berkembang,” ujar Fiki. (Poy)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.