Rabu, 24 April 24

Buya Syafii Maarif yang Hangat dan Akrab

Buya Syafii Maarif yang Hangat dan Akrab
* Syafii Maarif. (Foto:MI/Sumaryanto)

Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah

 

SAYA mulai mendengar nama Ahmad Syafii Maarif pada 1976, ketika saya memulai pengembaraan intelektual sebagai mahasiswa baru di program studi (prodi) Ilmu Administrasi, Fakultas Keguruan Ilmu Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIS IKIP) Yogyakarta.

Ketika itu Pak Syafii (demikian saya dan teman-teman menyapanya) sedang menyelesaikan studi program master di Amerika Serikat.

Meskipun Pak Syafii tidak ada di Tanah Air, tetapi para mahasiswa senior di FKIS dengan bangga bercerita tentang dosen di prodi Ilmu Sejarah yang mereka sebut cerdas, tegas, berani, dan prinsipil.

O ya FKIS waktu itu memiliki enam prodi: Ilmu Administrasi, Civic Hukum, Ekonomi Koperasi, Ekonomi Perusahaan, Geografi, dan Sejarah.

Dari Deresan ke Sambu

Pada pertengahan 1970-an itu saya diajak oleh teman-teman seperti M.S. Abbas, Said Tuhuleley, M. Rusli Karim (tiga teman ini sudah kembali ke rahmatullah), M.T. Arifin, dan Muhibbah Nasruddin untuk mengikuti Kajian Islam setiap Ahad pagi di masjid kompleks dosen IKIP Yogyakarta, di Deresan.

Para mentor dalam kajian ini selain dosen IKIP seperti Dochak Latif, dan almarhum Hussein Ahmad; juga dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) seperti Almarhum Saifullah Mahyuddin, Ichlasul Amal, dan Almarhum Sahirul Alim, serta aktivis Islam dari Surakarta: Roosdi AS, dan Rusli DMB.

Ketika pulang setelah menyelesaikan studi master dan mempersiapkan studi lanjutan, Pak Syafii sempat satu-dua kali hadir di Masjid Deresan.

Hubungan kami makin akrab sesudah Pak Syafii kembali ke Tanah Air, setelah menyelesaikan studinya di Amerika. Dia pulang dengan menyandang gelar akademik Ph.D.

Di awal 1980-an itu, saya dan teman-teman aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) IKIP Yogyakarta yang bermarkas di Jalan Mrican Gang Sambu No. 3, rutin menyelenggarakan diskusi dan kajian mengenai berbagai hal. Tokoh-tokoh yang kerap diundang sebagai narasumber antara lain pemrakarsa berdirinya HMI Lafran Pane, Saifullah Mahyuddin, Dochak Latif, Hussein Ahmad, Kuntowijoyo, M. Amien Rais,  M. Darban, M. Habib Chirzin, dan tentu saja Ahmad Syafii Maarif.

1.000 Tahun Berhenti Berpikir

Saya ingat benar, di awal kepulangannya dari Amerika, Pak Syafii menghentak umat dengan statemennya yang bernas: “Sudah 1.000 tahun umat Islam berhenti berpikir!” Dalam rangka itu, dia mempromosikan gurunya di Chicago, Prof. Fazlur Rahman. Tokoh kelahiran Pakistan ini juga guru Nurcholish Madjid.

Ini melengkapi apa yang sebelumnya dilakukan oleh Saifullah Mahyuddin dengan mempromosikan Ibnu Khaldun. Menyusul kemudian Amien Rais mengenalkan pikiran-pikiran Sayid Qutb dan Ali Syariati.

Yang mengesankan dari Syafii Maarif ialah sikapnya yang akrab, terbuka, hangat, dan menghargai yuniornya. Kepada para juniornya, Syafii menyapa dengan sapaan akrab dan tanpa jarak: “Bung”.

Seiring dengan promosi Fazlur Rahman oleh Syafii Maarif, buku-buku Fazlur Rahman seperti Islam diterbitkan. Saya pun ikut menikmati karya-karya terjemahan Fazlur Rahman itu.

Suatu hari, karena mengalami kesulitan memahami sebuah teks dari buku terjemahan Fazlur Rahman, saya menemui Pak Syafii untuk mendapat pencerahan dari murid Rahman itu.

Di luar dugaan, Syafii mengaku belum membaca buku tersebut. Tidak cuma itu, dia memuji saya sebagai contoh aktivis yang  gemar membaca. Tentu saja saya jengah mendengar pujian yang tidak terduga itu.

Tentu saja itu pujian yang berlebihan. Lha wong saya cuma membaca karya terjemahan kok. Coba, di mana letak hebatnya?

Pujian itu diulangi Syafii di forum training lanjutan, ketika saya bertugas sebagai pemandu dan Pak Syafii sebagai penceramah. “Saudara-saudara harus tiru senior yang satu ini. Dia bukan cuma aktivis, tapi juga kutu buku. Buku yang belum saya baca, dia sudah baca.”

Ah, Pak Syafii.

Tidak Pernah Ngrasani

Ciri lain dari Pak Syafii, saya belum pernah mendengar dia ngrasani,  menggibah, atau “ngomongin” orang lain. Jika pembicaraan mulai mengarah ke “ngomongin orang lain”, seraya mengibaskan tangan, Pak Syafii berkata: “Ah, sudahlah,” atau “Lupakan dia.” Akibatnya, acara gibah pun tidak berlanjut.

Sesudah berpisah, saya tinggal di Sukabumi, Pak Syafii di Yogyakarta; saya terus mengikuti pikiran-pikirannya. Wajar belaka jika tidak semua pendapatnya saya setujui atau tidak saya setujui.

Dalam hal ini, saya terkesan oleh pesan Almarhum Anwar Harjono: “Lawan pendapat adalah kawan berpikir.”

Di luar segala pendapatnya mengenai berbagai hal, saya tidak pernah kehilangan hormat kepada Pak Syafii.

Sejak 2018, saya dan teman-teman aktif mengusulkan berbagai tokoh menjadi Pahlawan Nasional. Dalam kegiatan tersebut, kami selalu meminta Pak Syafii  — sebagai pakar sejarah —  untuk menjadi narasumber dalam seminar yang dilaksanakan untuk itu. Dan Pak Syafii tidak pernah menolak permintaan Panitia.

Demikianlah, Pak Syafii tampil sebagai pembicara membahas M. Natsir, Hamka, Sjafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, Ki Bagus Hadikusomo, Kasman Singodimedjo, K.H.A. Kahar Mudzakkir, dan A.R. Baswedan.

Akibat sering bertemu dalam acara seperti itu, jika bertemu, Pak Syafii kerap bertanya: “Siapa lagi yang Anda akan usulkan jadi pahlawan?”

Dua Kali Berterima Kasih

Ketika pada awal September 2019 buku terbaru saya, Biografi Mohammad Natsir Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan terbit, Pak Syafii menjadi salah seorang yang saya kirimi buku tersebut. Selain sebagai tanda hormat saya kepada Pak Syafii, juga karena tulisan Pak Syafii tentang proses penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa untuk M. Natsir yang digagalkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, saya jadikan rujukan.

Tidak lama sesudah buku saya kirim, masuk pesan dari Pak Syafii ke telepon genggam saya sebagai berikut: “Bung Lukman, terima kasih sekali atas kiriman buku penting Biografi Mohammad Natsir. Buku ini adalah saksi sejarah tentang siapa sebenarnya Natsir itu. Jasa Bung Lukman sangatlah besar dalam penulisan ini. Selamat. Maarif.”

Saya menganggap pesan Pak Syafii sebagai sesuatu yang wajar belaka. Dikirimi buku, lalu mengucapkan terima kasih, bukankah wajar belaka. Meskipun demikian, saya tetap mencatat Pak Syafii sebagai salah seorang tokoh yang saya kirimi buku, dan dalam waktu singkat menyampaikan rasa  terima kasihnya.

Di luar dugaan, dua bulan kemudian, tepatnya pada 9 November 2019, masuk lagi pesan dari Pak Syafii: “Bung Lukman, ini rasa terima kasih saya yang kedua kali dalam tempo dua bulan ini buat Bung Lukman. Saya belum pernah membaca secara relatif utuh sebelumnya tentang upaya Natsir untuk kepentingan bangsa dan negara sampai karya Bung Lukman menjelaskan dengan cara rinci. Selamat, sekali lagi nuhun atas segala sumbangan Bung Lukman yang demikian penting. Maarif.”

Jujur, saya tersanjung, dan segera saya balas: “Terima kasih sekali atas perhatian Buya. Yang tidak berubah dari Buya, dan itu sangat mengesankan buat saya, perhatian dan apresiasi Buya kepada para yunior sangat hangat dan tinggi.

Matur nuwun Buya. Sehat selalu.”

Dengan pesan seperti itu, saya merasa telah mengapresiasi Buya Syafii secara jujur dan benar.

Buya Syafii memang tidak pernah berubah. Tetap hangat, akrab, dan menghargai para yuniornya.[]

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.