Borok Demokrasi Dibongkar oleh Parpol dan Elite Politik

Borok Demokrasi Dibongkar oleh Parpol dan Elite Politik
Oleh: Ahmad Khozinudin, Pemerhati Politik Pemilu dan Pilpres 2024 sudah selesai. Kedaulatan rakyat juga sudah selesai, karena suara rakyat sudah dibeli dengan sejumlah sembako dan uang tunai. Sekarang demokrasi milik partai politik (parpol) dan elite. Dalam paradigma mereka tak ada kedaulatan rakyat. Yang ada kedaulatan kekuasaan. Semua mengerubuti kekuasaan seperti semut yang mengerubuti gula. Tak peduli sebelumnya bertarung dan saling menjatuhkan, semua berebut merapat untuk mendapatkan jatah kue kekuasaan. Parpol yang mengusung misi 'perubahan' juga benar-benar berubah. Sebelumnya mereka keras mengkritik Prabowo-Gibran, sekarang sibuk memuji untuk tujuan agar diterima berkoalisi. Nasdem, PKB dan PKS, tanpa malu berusaha merapat ke kubu Prabowo. Meski mereka sadar, koalisi Prabowo tak semuanya menerima secara baik (Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, Gelora dan PBB), tapi peluang merapat karena kebutuhan kekuatan parlemen yang kuat untuk mendukung Prabowo-Gibran tak mereka sia-siakan. Benefit kue kekuasaan menjadi motif utama. Bungkusnya: demi persatuan, demi kesatuan, menjaga stabilitas, sinergi untuk negeri, membangun bersama, dan sederet alasan klasik lainnya. Lihatlah Surya Paloh, saat kampanye menyerang keras kebijakan bansos Jokowi. Begitu KPU umumkan hasil Pemilu, terdepan menerima hasil dan ucapkan selamat kepada Prabowo Gibran. Lihatlah PKB, meski belakangan tapi juga segera berburu karpet merah, untuk menyambut Prabowo di kantornya. Persis, menjiplak manuver NasDem yang telah melakukannya duluan. Sekjen PKS Abu Bakar Al Habsy begitu manis menyapa Mas Gibran. Selain mengakui hasil Pemilu saat pengumuman, Ketua Fraksi PKS DPR ini juga mengucapkan selamat kepada Prabowo-Gibran. Dengan modal pernah bersama SBY, PKS juga menawarkan diri untuk bergabung. Meski mantan mitranya di Gelora buru-buru umumkan penolakan. Parpol pengusung Prabowo tidak terlalu ridlo sejumlah parpol merapat. Karena itu berpotensi menggerus jatah kue kekuasaan mereka. Luhut bahkan meminta Prabowo agar TOXIC politik jangan diakomodir dalam kabinet Prabowo-Gibran. Luhut seperti tak mau berbagi kue kekuasaan dengan rival politik. Hari ini, ketika PDIP menolak Prabowo-Gibran, menggugat di PTUN, juga bukan untuk dan atas nama rakyat. Semua hanya manuver politik demi kekuasan. PDIP paham, kemenangan Prabowo tak bisa dibatalkan. Tapi untuk bernegosiasi politik, PDIP harus menyiapkan kedudukan yang relevan untuk negosiasi yang diharapkan. Sedangkan kita, rakyat kecil ini, apa bagiannya? Siap-siap saja hidup makin sulit. Pertalite dihapus, PPN 12%, pendidikan mahal, sembako mahal, kemiskinan meningkat, SDA dikeruk asing dan aseng. Sementara bagian rakyat hanya kerusakan alam dan konflik sosial yang semakin merajalela. Ketahuilah, itu semua adalah dampak dari diterapkannya sistem demokrasi. []