Rabu, 24 April 24

Agus Widjojo Kurang Imajinatif dalam Membaca Sejarah Pergulatan di TNI

Agus Widjojo Kurang Imajinatif dalam Membaca Sejarah Pergulatan di TNI
* Hendrajit. (Foto: dok. pribadi)

Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Wartawan Senior

 

Kalau Agus Widjojo mau fair, baiknya menyorot dulu apa praktik demokrasi pasca reformasi sudah melahirkan para pemimpin politik nasional dan daerah benar-benar  berasal dari rahim rakyat.

Kalau sudah, baru supremasi sipil atas militer baru bisa ditegakkan, yang mana presiden atau kepala daerah merupakan wujud dari otoritas sipil tertinggi.

Sehingga kalau Agus bilang tentara itu milik presiden jadi masuk akal. Sayangnya ada dua masalah krusial sejak reformasi, yang berakibat pandangan Agus tidak kontekstual.

Pertama, sistem demokrasi kita yang berbasis pemilihan langsung baik legislatif dan eksekutif, dalam politik rekrutmennya dikuasai dan ditentukan oleh sebuah oligarki politik dan konglomerasi ekonomi yang tidak pro rakyat.

Alhasil, pemerintahan terpilih maupun para legislator terpilih sejak hasil Pemilu 1999 hingga kini, merupakan agen-agen perpanjangan tangan oligarki politik maupun konglomerasi ekonomi.

Dengan begitu, dalam menerapkan supremasi sipil atas militer, didasari niat dan kepentingan subjektif para oknum penguasa, ketimbang atas dasar meritokrasi dan kompetensi dalam memilih para pimpinan tentara.

Kalau meminjam istilah dalam literatur politik yang saya baca waktu kuliah dulu,  subjective civilian control lebih diutamakan ketimbang objective civilian control.

Di sinilah pandangan Agus jadi tidak kontekstual.

Kedua, untuk sampai pada ucapan Agus dengan menggunakan frase tentara itu milik presiden, Gubernur Lemhanas kita ini kurang imajinatif dalam membaca sejarah pergulatan di TNI dalam menyusun skema dan strategi tentara dalam ikut berpolitik di luar lingkup  dunia kemiliteran.

 

Nah, di sini Agus tidak boleh melakukan lompatan kuantum, tanpa menyelami suasana kebatinan TNI pada era 1950-1970.

 

Sejak era 1950-an wacana tentara berpolitik bertumpu pada gagasan konsepsi “Konsepsi Jalan Tengah” rancangan Jenderal Abdul Haris Nasution, KSAD kala itu. Meski konsepsi jalan tengah terkesan moderat dan tidak nafsu kuasa, namun dalam konsepsi ini terkandung sebuah kesadaran kolektif di dalam kalangan perwira militer, utamanya para pendukung konsepsi Nasution, bahwa selain sebagai institusi militer, juga berpotensi sebagai infrastruktur politik. Berarti TNI secara kolektif merupakan kelompok kepentingan dan kelompok penekan. Maka pada praktiknya, TNI bisa menjelma jadi sebuah dewan jenderal atau junta militer.

 

Konsepsi kedua adalah Dwifungsi ABRI rancangan Jenderal Soeharto yang mulai digulirkan pada  masa Soeharto mulai berkuasa.

 

Soeharto didikan PETA zaman Jepang, lebih dipengaruhi etos samurai dalam pembentukan watak ketentaraannya. Jiwa samurai atau ksatria memang tidak sebatas pada dirinya selaku perwira militer melainlainkan ketika berkiprah sebagai sipil. Namun sifatnya personal, bukan secara kelembagaan. Maka, dalam konsepsi Dwifungsi ABRI, tidak memberi ruang pada tentara sebagai junta militer.

 

Inilah yang membedakan Soeharto dengan Nasution yang didikan KNIL di era Belanda.

 

Ketika Dwifungsi ABRI dipraktikkan Sohearto,  Nasution galau  karena gagal menerapkan konsepsi jalan tengah yang oleh Soeharto malah dimodifikasi  menjaďi Dwifungsi ABRI.

 

Di sinilah tragedi Nasution. Konsep jalan tengah yang sejatinya mau digiring sebagai junta militer terselubung, pada praktiknya oleh Soeharto lewat skema Dwifungsi ABRI, dibajak watak politiknya sebagai junta, sementara para jenderalnya dijadikan serdadu tentaranya sekaligus serdadu politiknya.

 

Begitu pun, untuk kembali ke pandangan Agus, meski format tni berpolitik lebih menganut mahzab politik Dwifungsi ABRI ala Soeharto selama 32 tahun, semangat dan impian tentara berpolitik berbasis junta militer, tidak pupus begitu saja. Kiranya masih tetap hidup, meski pengaruh politik dan masa hidup Nasution  sang konseptor jalan tengah, telah lama tiada.

 

Makin jadi lahan subur, ketika otoritas sipil di pemerintahan maupun DPR, sejatinya bukan lahir dari rahim rakyat, melainkan dari oligarki politik dan konglomerasi ekonomi.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.