
Bogor, Obsessionnews – Kuasa hukum Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie, Yusril Ihza Mahendra, menilai sudah tepat rekomendasi Komisi II DPR RI yang menyatakan apabila ada dualisme kepengurusan partai yang ingin mendaftarkan diri sebagai peserta Pilkada harus menunggu putusan pengadilan.
Menurut Yusril, memang dalam Undang-Undang tentang Partai Politik, disebutkan bahwa partai yang berhak mengikuti Pilkada harus mengacu kepada Surat Keputusan (SK) yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Namun, jelas Yusril, sering kali Menkumham tidak bisa memberi putusan yang adil, dan cenderung memihak.
Kemudian kata Yusril, keputusan dari Kemenkumham sifatnya tidak final dan mengikat. Sebab, bagi salah satu kubu yang merasa dirugikan dengan keputusan Menkumham, maka, kubu tersebut kebanyakan akan melakukan gugatan baru ke pengadilan sebagai jalan hukum terakhir yang harus ditempuh.
“Memang seperti itulah karena pengesahan perubahan kepengurusan Parpol itu kan dilakukan oleh Menkumham. Tapi Menkumham itu kan pemerintah yang kalau keputusannya itu tidak bisa diterima, salah satu pihak pasti akan melakukan perlawanan ke pengadilan,” ujarnya saat ditemui di Cisarua Bogor, pada acara penutupan Muktamar Partai Bulan Bintang (PBB), Minggu (26/4/2015).
Meski dalam UU tidak yang mengatur tentang hal itu, namun kata Yusril, semua pihak tahu bahwa selama ini yang sudah dilakukan seperti itu, yakni melayangkan gugatan ke pengadilan bagi yang kalah. Terlebih bila ada putusan sela dari Pengadilan Tata Usaha Negara, maka SK Menkumham dianggap tidak berlaku sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Karena itu, mantan Aktor Laksamana Cengho ini meminta agar Komisi Pemilihan Umum untuk tidak perlu mendatangi Kemenkumham guna menanyakan SK kepengurusan Partai Golkar yang sah. ”Jadi tidak tepat lagi ditanyakan ke Menkumham karena status Menkumham tergugat di pengadilan. Jadi yang harus ditaati putusan pengadilan itu sendiri,” jelasnya.
Selain itu, Yusril juga meminta kepada Pemerintah untuk bersikap netral, tidak melakukan pemihakan pada salah satu pihak yang bertikai di PTUN. Bagi Yusril, putusan sela dari PTUN tentang SK Menkumham harus ditaati. Pasalnya kata dia, bila ada pihak yang merasa tidak terima dengan putusan sela, PTUN bisa menyamakan putusan tersebut dengan putusan akhir.
”Kalau ada cukup bukti bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam perkara itu tidak mentaati putusan sela, maka, pengadilan bisa menerapkan pemberlakuan putusan sela sama dengan putusan akhir, sesuai dengan pasal 116 dalam UU PTUN. Ada ketentuan seperti itu,” paparnya.
Kubu Agung Menolak
Sementara itu, Ketua DPP Partai Golkar Bidang Opini dan Informasi publik dari kubu Agung Laksono, Leo Nababan menyatakan, rekomendasi Komisi II soal syarat Parpol untuk mengikuti Pilkada tidak tepat. Menurutnya, keputusan DPR itu sudah tidak sesuai dengan Undang-Undang yang lebih tinggi diatasnya.
“Ini tidak benar, masa keputusan DPR bisa menabrak UU,” katanya.
KPU diminta untuk tidak ragu menetapkan Golkar kubu Agung Laksono sebagai peserta Pilkada yang sah. Sebab, kata dia, dalam UU sebelumnya disebutkan bahwa partai yang berhak ikut Pemilu dan Pilkada adalah pemegang SK dari Menkumham. Tidak ada pasal yang merujuk pada putusan pengadilan terakhir.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya, putusan sela dari PTUN dengan dualisme kepengurusan Partai Golkar tidak ada hubungannya dengan ke ikutsertaan Golkar dalam Pilkada.
“Saya kira KPU harus menjalankan aturan sesuai dengan UU. Putusan PTUN bukan membatalkan kubu Agung, tapi menunda sementara pelaksanaan SK Menkumham. Jadi menurut saya, yang berhak melaksanakan Pilkada ya, yang disahkan Menkumham,” jelasnya.
Berdasarkan rencana, KPU sudah menjadwalkan pelaksanaan Pilkada serentak pada Desember 2015. Peraturan KPU menjelaskan bahwa pendaftaran calon kepala daerah dilakukan enam bulan sebelum dilaksanakan Pilkada. Namun, hingga saat ini masalah dualisme kepengurusan Partai Golkar masih disidangkan di PTUN.
Anggota KPU, Ida Budiarti sebelumnya mengatakan, memang jika mengacu kepada UU Parpol, yang berhak mengikuti Pilkada adalah partai yang sudah mendapat SK pengesahan dari Menkumham. Hanya persoalannya, keputusan Menkumham terkait kepengurusan Golkar dan PPP tengah menjadi objek sengketa di PTUN. (Albar)