
Oleh: Lukman Hakiem, Penulis Biografi
Yojana yang berarti cakrawala, dipopulerkan oleh almarhum Ridwan Saidi (RS) saat beliau menjadi anggota Fraksi PPP DPR RI (1977-1982 dan 1982-1987). Saat itu hampir tiap hari wawancara dan tulisannya menghiasi media utama nasional. Tidak heran jika saat itu Dr. Alfan Gaffar berulang kali mengatakan kepada para yuniornya, aktivis HMI Yogya, jika mau menjadi politisi, tirulah Ridwan Saidi yang cerdas, artikulasinya jelas, dan pendapat-pendapatnya selalu menjadi headline di koran-koran utama nasional.
Selain acap kali memberi komentar yang selalu layak muat, Ridwan Saidi juga dikenal sebagai anggota parlemen yang bisa menuangkan tulisan serius. Tulisannya tentang riwayat pergerakan pemuda Islam di Indonesia acap kali muncul di beberapa nama media, yakni Prisma, Panji Masyarakat, Kompas, dan Merdeka,
Entah bagaimana mulanya, pusat obrolan lambat laun berpindah tempat dari kantor redaksi Media Dakwah di Jl. Kramat Raya 45 Jakarta Pusat ke kediaman Ridwan Saidi di Jl. Merak, Bintaro, Jakarta Selatan.
Jika awak redaksi merasa sudah waktunya di-charge satu per satu awak redaksi datang ke rumah Ridwan Saidi.
Maka percakapan diiringi kepulan asap rokok yang memenuhi ruang tamu rumah Ridwan Saidi, berlangsung hingga menjelang subuh. Menjelang tengah malam, ketika terdengar tukang sate padang lewat di depan rumah, Ridwan Saidi segera keluar rumah, dan berteriak memesan sejumlah porsi sate.
Majelis Taklim ini tidak pernah kehilangan tema kajian, karena Ridwan Saidi selalu siap dengan isu dan gagasan untuk diperbincangkan.
Pendorong Anak Muda
Sebagai aktivis dan penulis pergerakan pemuda, Ridwan Saidi dikenal sebagai tokoh yang selalu mendukung dan membuka jalan bagi tampilnya anak-anak muda, para yuniornya.
Di masa permulaan saya tiba di Jakarta, Ridwan Saidi meminta saya untuk membedah buku Drs. H. Junus Jahja mengenai pembauran. Di hadapan hadirin yang umumnya para penulis senior, Ridwan Saidi memperkenalkan aaya sebagai penulis muda yang berbakat. Perkenalan itu masih ditambah keterangan: “Lukman ini kelahiran Cikarang, Bekasi. Jadi masih ada bau Betawinya,” ujar Ridwan yang tampak bangga. “Nenek buyutnya orang Kalipasir,” tambahnyai.
Sebelum acara, Ridwan memang bertanya beberapa hal mengen ideentitas saya. Dia memang bangga dengan identitas kebetawiannya.
Belakangan Ridwan Saidi dikenal publik sebagai budayawan Betawi.
Tentu saja hati saya mengkerut menyaksikan cara Ridwan Saidi mengenalkan bocah ingusan ini.
Ketika pada 1992 saya mendapat tugas menulis biografi Dr. Anwar Harjono, dan 70 Tahun H. Buchari Tamam, Ridwan Saidi menyemangati saya seraya memberi beberapa dokumen.
Ketika buku 70 Tahun H. Buchari Tamam terbit, Ridwan Saidi meresensi buku pertama saya itu di harian Media Indonesia. Meskipun saya tidak terlalu puas dengan buku itu, antara lain karena pengerjaan yang terburu-buru sehingga terlalu banyak salah cetak, dalam resensinya, Ridwan memuji karya saya itu sebagai buku penting yang wajib dibaca. Lagi-lagi saya merasa senior saya itu berlebihan di dalam mengapresiasi karya juniornya.
Membukakan Pintu untuk bergabung di PPP
Seusai Muktamar PPP 1994, Ridwan Saidi menelepon saya. Dengan nada sumringah, di ujung sana, Ridwan bertanya, apakah saya ada minat untuk masuk partai politik. Sebelum saya merespons Ridwan menambahkan keterangan. “Ane tau, yang cocok buat ente cuma PPP,” katanya dilanjutkan ketawa terkekeh-kekehnya yang sangat khas.
Pertanyaan Ridwan saya balas dengan pertanyaan:”Iibarat film di bioskop, pemutaran hampir selesai. Masak bioskop udah mau. bubar, saya disuruh masuk. Mau ngapain?”
Seperti mengerti ke mana arah pembicaraan saya, Ridwan menukas,”Jangan ente tolak dulu. Enaknya besok kita ngobrol di Lebak Bulus.”
Ketika itu Ridwan memang memimpin Lembaga Studi dan Informasi Pembangunan (LSUP) di Lebak Bulus.
“Baik, Bang.”
Besoknya, pagi-pagi sekali saya sudah berada di kantor LSIP. Seharian kami berdiskusi, akhirnya saya sepakat untuk bergabung dengan PPP sesuai saran Ridwan.
“Tugas utama ente, membantu senior kita, Buya Ismail Hasan Metareum menunaikan amanah sebagai Ketua Umum DPP PPP,” kata Ridwan ketika saya pamit di ujung senja hari itu.
Beberapa waktu setelah pertemuan di Lebak Bulus, Ridwan Saidi kembali menelepon. “Lukman, Ente kan nggak cari-cari jabatan ye? Ditaroh di manapun ente mao pan?”
Saya mengiyakan dua pertanyaan tersebut.
Sekarang begini, kata Ridwan sesudah hening beberapa saat. Politik itu tidak lepas dari klaim. Nah, sesudah ini, enteb pergi ke DPR, temui Bachtiar Chamsyah. Dia bukan orang lain. Dia bekas Ketua HMI Bsdko Sumbagut. Ente bilang saja,’Saya diminta Bang Ridwan menemui Bang Tiar’.”
“Saya belum tahu caranya masuk ke Gedung DPR,” ujar saya antara berkelakar dan serius.
“Tenang saja, pada waktunya ente bakal berkantor di DPR,” ujar Ridwan.
Ketika beberapa hari kemudian tercantum nama Lukman Hakim (tanp “e”) sebagai anggota Pusdiklat PPP PLP nomor urut terakhir, saya tidak yakin itu adalah saya, karena selain Ridwan Saidi dan Bachtiar Chamsyah tidak ada tokoh atau mantan tokoh PPP yang mengajak saya bergabung ke dalam partai berlambang Ka’bah itu.
Untuk meyakinkan apakah Lukman Hakim (tanpa “e”) yang tertulis dalam susunan DPP PPP yang baru diumumkan adalah saya, ba’da shalat Isya saya telepon Buya Ismail Hasan Metareum.
Sesudah saya menyampaikan maksud saya menelepon Buya, tokoh yang sejuk ini kemudian bertanya,” Saudara yang bekerja di Dewan Dakwah?”
Saya menjawab singkat,”Ya.”
“Sudah betul. Itu memang Saudara. Saya ingat dengan Saudara yang beberapa kali datang ke rumah di Kalibata.”
Sebagai wartawan majalah Media Dakwah terbitan Dewan Dakwah, memang beberapa kali saya menemui Buya Metareum di rumah jabatan Kalibata
Dipanggul dan Dielu-elukan
Ridwan Saidi adalah legenda. Dalam sejarah DPR sejak zaman Orde Baru hingga hari ini, Ridwan Saidi adalah satu-satunya anggota DPR yang sesudah berpidato dalam sidang paripurna DPR disambut ratusan mahasiswa, dielu-elukan dan dipanggul keluar dari ruang sidang. Teriakan “Hidup PPP!”, “Hidup Ridwan Saidi!” membahana mengiringi prosesi dadakan ala mahasiswa itu.
Entah kapan peristiwa semacam itu akan terulang lagi.
Ridwan $aidi adalah legenda. Dia membela perjuangan mahasiswa menolak NKK/BKK ala Daoed Joesoef dengan tegas dan cemerlang.
Kepada saya, Ridwan Saidi berpesan: Ente kalo jadi politisi kudu danta (bahasa Bekasi: jelas, terang, tidak abu-abu). Cuma orang yang sikap dan perkataannya danta yang dihormati kawan dan lawan politik.