Jumat, 19 April 24

Yeni Atengena Sebayang dan Kain-kain yang Tak Terbayang

Yeni Atengena Sebayang dan Kain-kain yang Tak Terbayang

Obsessionnews – Beruntunglah seorang Yeni Atengena Sebayang yang memiliki ibu kolektor kain tradisional. Hal itu membuat Yeni kecil selalu merasa tertarik dan semakin ingin tahu kisah serta nilai budaya di balik beragam motif kain yang dia lihat, terutama tenun.

Sedari kecil wanita yang akrab disapa Yeni itu begitu terpesona dengan warna tenun. Ia juga kerap meminta sang ibu untuk memakaikan kain dan kebaya untuknya. “Walaupun ukurannya besar, saya senang bisa mengenakannya dan begitu senang saat berlenggak-lenggok di depan kaca,” kenang Yeni.

Ia pun selalu antusias bila diajak ibu melihat-lihat koleksi kainnya yang sungguh tak terbayang. Matanya seakan tak berkedip  ketika menatap helai demi helai kain yang memamerkan motif dan permainan warna berbeda satu sama lain. “Dalam pikiran saya, kain-kain ini seolah tengah menyapa dan bercerita mengenai suatu kisah. Ada kain yang mengajak saya melihat ragam flora dan fauna suatu daerah dan ada juga cerita mengenai  nilai kehidupan yang diungkapkan lewat warna-warni kain,”  lanjutnya.

Lebih lanjut, ia bercerita, sewaktu SMP, ia menyimpan sehelai kain batik yang sudah diwiron. Kala itu ia terpikir untuk mengenakan batik tersebut di acara pernikahan. Meskipun, ketika dewasa hal itu tak direalisasikannya karena akhirnya menggunakan busana lain.

Ketika study tour ke Bali di masa SMA, ia membeli kain untuk dirinya dan ibu. “Maklum saat itu saya belum mempunyai banyak uang. Tetapi, ketika itu bisa dibilang aneh, karena teman-teman yang lain justru banyak membeli beragam brand fashion Bali. Saya malah membeli kain,” katanya.

Kecintaannya pada kain kian bertambah selepas menyelesaikan studi hukumnya dan bekerja. Yeni pun merasa bebas dan senang, karena dapat membeli kain sendiri. Apalagi, wanita kelahiran 29 Januari 1984 ini menyukai traveling, saat melakukan perjalanan ia selalu menyempatkan diri untuk mengenal lebih dekat kain tenun tradisional sekaligus menambah koleksinya.

Yeni mengakui menyukai semua jenis tenun namun kebanyakan yang menjadi koleksinya adalah tenun buatan tangan atau hand woven.  Baginya tenunan hand woven itu lebih halus, natural, dan eksklusif. Hingga kini koleksinya menyentuh lebih dari 50 helai tenun, mayoritas songket bali dan palembang. “Saya bangga mengenakan kain-kain cantik ini,” ujarnya seraya tersenyum.

Yeni tidak pernah mempunyai budget khusus hanya ia memang perlu mempersiapkan planning untuk traveling bersama suami dan anak-anak saat ingin mencari tenun.  Ia mengatakan harga untuk membeli kain-kain tenun koleksinya berkisar mulai dari Rp 500ribu hingga Rp 9juta. Menurutnya harga tersebut tidak terbilang mahal, mengingat proses menjadi selembar kain tenun begitu panjang.

“Ini menjadi cara apreasiasi saya terhadap kain tenun dan agak prihatin kalau ada yang bilang mahal. Padahal, banyak fashion items merek tertentu jauh lebih mahal, tetapi tidak masalah untuk dibeli. Namun, mengapa berpikir berbeda ketika kita membeli selembar tenun,” bebernya.

Belakangan ini Yeni sangat getol berburu kain dari daerah Timur Indonesia lantas ua pun melakukan perjalanan ke Samarinda, Sambas, Manado, Bali, Bima, Kupang, Lombok, Ternate hingga Flores, bukan hanya berburu tapi ia juga terjun langsung ke dalam proses pembuatan kain tradisional yang selama ini sangat ia gemari.  “Kain tradisional dari bagian Timur Indonesia belum banyak terekspos secara bagus, padahal hasil karya mereka juga patut diapresiasi dan dilestarikan,” ungkapnya serius.

Ia bertemu dengan para perempuan penenun yang senantiasa melakukan pekerjaannya dengan teliti dan penuh kesabaran di tengah kesibukan mereka yang rata-rata adalah ibu rumah tangga. Ia pun memahami tidak mudah untuk menenun sehelai kain secara manual tanpa bantuan mesin, terlebih lagi harus ada beberapa benang yang dipintal sebelum ditenun.

“Kain-kain ini merupakan cermin kelembutan, sekaligus kekuatan mereka. Berkat tangan-tangan lembut perempuan daerah ini, benang ditenun dan dipintal sendiri. Dengan tekun dan penuh kesabaran, mereka menguntai benang satu demi satu, hingga menjadi sehelai kain yang tak hanya cantik, tapi juga sarat nilai budaya,” paparnya bersemangat.

Perempuan penenun tersebut berperan cukup besar dalam kemajuan ekonomi rumah tangganya dan sebagai mata pencaharian mereka untuk bertahan hidup karena belum tentu anak-anaknya atau generasi muda di daerah itu mau meneruskan kegiatan bertenun itu.

Masalah menghampiri ketika kain-kain tenun tersebut sudah jadi dan siap dipasarkan. Kendala jarak yang sangat jauh serta kemungkinan kain itu dipasarkan oleh pedagang besar yang mengambil untung tidak sedikit harus dilalui dan menyebabkan sebagian besar keluarga penenun tersebut hidup dalam kondisi cukup memprihatinkan. “Apalagi kebanyakan para penenunnya tergolong pengusaha kecil atau rumahan,” terang Yeni.

Beberapa tahun ini ada sesuatu yang mengusik hatinya. Yeni tertantang untuk turut serta melestarikan kain, meningkatkan kehidupan ekonomi penenun, persaingan dengan kain-kain modern, dan bagaimana cara mengajak perempuan lain untuk ikut menyukai tenun. Berangkat dari sanalah, ia tergerak untuk membuat wadah bagi perempuan Indonesia untuk saling berbagi mengembangkan budaya daerah bernama Indonesian Inspiring Women Day (IIWD).

“Karena sudah lama mencintai kain tradisional, tahun ini saya ingin agar kain-kain Indonesia Timur bisa lebih dikenal dan diapreasi,” tambahnya.

Tak tanggung-tanggung, Yeni mendatangkan penenun ke Jakarta dari delapan daerah, yaitu Samarinda, Sambas, Manado, Bali, Bima, Kupang, Lombok, Ternate, dan Flores. Pada acara IIWD bertema Delivering Indonesia Premium Textile For Everyone yang digelar di Kelapa Gading Sport Club belum lama ini, para penenun selama satu hari memamerkan hasil karyanya dan memberikan kesempatan para tamu undangan untuk membeli. IIWD juga menampilkan talkshow dengan pembicara Vera Anggraini (desainer kebaya), Imelda Fransisca (Miss Indonesia 2015), dan Gusnaldi (make up artist).

Melalui acara tersebut, Yeni berharap banyak perempuan urban khususnya di Kota besar seperti Jakarta, bisa menambah wawasan lebih bukan sekadar membeli kain tradisional tersebut, namun dengan menemui langsung si pembuat kain tersebut, kaum perempuan Indonesia bisa lebih menghargai nilai kerja keras pelestarian budaya yang lewat kain tradisional tersebut.

“Saya ingin agar kain tenun lebih dikenal, dicintai, sekaligus dikenakan banyak perempuan Indonesia ke berbagai acara dan bisa tetap tampil stylish. Saya berharap upaya ini meskipun masih dalam skup kecil dapat memberikan hal positif bagi pengembangan dan pelestarian kain tenun. Kalau bukan kita siapa lagi yang akan menghargainya,” pungkas wanita yang terobsesi untuk memiliki tenun toraja dan papua ini. (Giattri/Men’s Obsession)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.