
Jakarta – Kenaikan harga properti yang gila-gilaan dalam tiga tahun terakhir ini, bakal terus berlanjut hingga tahun depan. Harga properti saat ini telah naiknya sangat signifikan, yaitu sekitar 300% per tahun. Padahal wajarnya pertumbuhan itu 30% per tahun.
Menurut Asisten Gubernur BI, Mulya Siregar, sektor properti berpotensi menghadapi ancaman bubble. BI menginginkan perbankan menekan penyaluran kredit properti yang menyasar kalangan menengah ke atas, terutama KPR untuk rumah kedua dan seterusnya.
Lantaran, sebanyak Rp31,8 triliun KPR dikuasai oleh hanya 35 ribuan debitur, yang mengambil KPR untuk rumah kedua atau lebih. Sebanyak 13 persen kredit pemilikan apartemen dan rumah digunakan untuk investasi dan disewakan. Intinya semakin banyak rumah yang dimiliki semakin besar kemungkinan rumah tersebut tidak ditinggali.
Mulya menyarankan, pengembang untuk bekerjasama dengan pemilik lahan luas, seperti pabrik, pemda, dan instansi pemerintah untuk membangun rumah susun murah. Sehingga kelas menengah bawah, bisa menyewa atau memiliki hunian kecil terjangkau di tengah kota.
Analisa BI memang benar, akibat ulah spekulan dan orang kaya yang menginvestasikan uangnya membeli properti, kelas menengah bawah makin sulit memiliki hunian. Kelas menengah yang berpenghasilan Rp 5 juta hingga 10 juta per bulan, sulit mencicil Rp 4 juta per bulan untuk rumah seharga Rp 400 jutaan.
Bubble Properti atau Penggelembungan Properti adalah keadaan dimana terjadi kenaikan harga-harga properti secara tidak wajar. Kewajaran dari peningkatan harga berlaku secara bertahap seiring dengan meningkatnya tingkat inflasi atau pendapatan secara merata.
Jika cepatnya pergerakan harga terus dibiarkan terjadi akan ada kondisi terjadi pecahnya “Bubble Properti” yang menjadikan harga-harga properti jatuh diikuti dengan ambruknya ekonomi secara menyeluruh sehingga akan menimbulkan masalah nasional berupa resesi ekonomi.
Menurut data yang dilansir oleh BI, pada triwulan I tahun 2013, di Indonesia kenaikan permintaan terhadap apartemen jual (kondominium) tercatat terjadi di daerah sekitar Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi (Jabodebek), Surabaya, dan juga beberapa kota besar lainnya. Tingginya permintaan ini mendorong kenaikan harga apartemen tertinggi di wilayah tersebut bisa mencapai 21,66% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Permintaan pasar yang cukup pesat ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup kelas menengah di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya yang menyebabkan harga properti mengalami kenaikan harga yang cukup pesat.
Kita bisa melihat penyebabnya karena semakin banyaknya masyarakat yang lebih menyukai hidup di apartemen dan juga mulai beranggapan properti merupakan salah satu bentuk investasi yang menjanjikan untuk kedepannya. Hal ini yang secara langsung telah mendorong meningkatnya jumlah pasokan apartemen di kota-kota besar di Indonesia.
Penyebab maraknya orang memborong properti, disebabkan oleh meningkatnya kelas menengah baru di Indonesia. Karena setiap tahunnya, delapan hingga sembilan juta orang Indonesia berhasil menapaki tangga kelas menengah.
Saat ini baru sepertiga, atau sekitar 74 juta penduduk yang berada di golongan ini. Namun dalam satu dekade ke depan diperkirakan 141 juta, atau lebih dari setengah penduduk, akan berada pada kategori kelas menengah Seperti hasil survei terbaru tentang Indonesia oleh lembaga konsultan terkemuka dunia, Boston Consulting Group (BCG).
Selain hunian, sektor perkantoran, pusat belanja dan industri juga menunjukkan tren positif, memasuki semester ke dua ini.
Menurut Associate Director Research Colliers International Indonesia, Ferry Salanto, Kamis (10/7), untuk hunian warga asing, trennya sedikit menurun akibat perhelatan politik dan tingginya suku bunga.
“Semester kedua tidak akan ada hal mengkhawatirkan yang memengaruhi pasar properti. Investor masih menunggu, wait and see, terutama terkait pemilu dan suku bunga perbankan. Namun secara garis besar, kinerja properti masih bagus,” kata Ferry.
Ferry mengatakan, di sektor hunian permintaan masih kuat, meskipun tidak sebesar perkiraan. Demikian pula dengan perkantoran, tingkat hunian masih berada di atas 95 persen.
“Bahkan, untuk gedung-gedung perkantoran yang sebentar lagi beroperasi justru mengalami kenaikan permintaan. Trennya terus meningkat,” ujar Ferry.
Pada sektor ritel, papar Ferry, terdapat kecenderungan penundaan ekspansi dari beberapa perusahaan terkait fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar.
Selain itu, pertimbangan kenaikan harga, sehingga laju permintaan sedikit tertahan. “Yang menyebabkaan harga naik adalah tanah di sekitar Jakarta sudah sangat sulit dicari. Itu yang mendorong harga cepat naik, walaupun peminat masih agak tertahan,” tuturnya.
Namun menurut Ferry, tingkat okupansi, khususnya untuk pusat belanja sewa grade A tetap stabil di atas 90 persen. “Terhitung sejak 2015 hingga 2017, pasokan pusat perbelanjaan baru di Jakarta akan meningkat sekitar 3,4 persen per tahun dari saat ini,” pungkas Ferry.
Jadi di sisi lain booming bisnis properti sangat menggembirakan, lantaran bisa menggerakan ekonomi. Tapi, jika tidak diwaspadai bisa menjadi bencana, lewat “Bubble Properti”.
Menjadi tugas pemerintahan baru, terutama Menteri Perumahan Rakyat yang harus bisa menggandeng swasta dan pemda membangun sebanyak mungkin tower rumah susun dan rumah tapak sederhana.
Sehingga, kelas menengah bawah semakin banyak yang bisa memiliki hunian. Semoga saja.