Jumat, 26 April 24

World Cup, Piala Dunia Sepak Bola Yang Menyihir Kita

World Cup, Piala Dunia Sepak Bola Yang Menyihir Kita
* Denny JA.

Oleh: Denny JA, Direktur LSI

 

Statistik menunjukkan itu. Tak ada satupun peristiwa dalam sejarah manusia yang paling banyak ditonton bersama seluruh dunia dibandingkan World Cup. Ini serial pertandingan Sepak Bola tingkat dunia yang berlangsung sekitar sebulan.

Final World Cup saja sebagai sebuah single event, ia ditonton live oleh sepersembilan populasi dunia. Total yang menyaksikan langsung final World Cup sebanyak 715, 1 juta manusia. Namun total keseluruhan pertandingan 32 team selama sebulan world cup, ditonton akumulasi sebanyak 26,29 milyar manusia.

Itu perhitungan resmi yang pernah dibuat untuk World Cup tahun 2006. Saat itu jumlah populasi dunia sebanyak 6,6 milyar manusia. Total pertandingan 32 negara dan World Cup selama sebulan ditonton 4 kali lipat jumlah populasi dunia saat itu. Tak ada peristiwa yang ditonton oleh empat kali lipat populasi dunia, kecuali World Cup.

Namun World Cup tak hanya spektakuler soal angka. Rasakanlah aura emosi di stadion sepak bola. Tak tertandingi luapan emosi kolektif di sana. Apalagi ketika gol diciptakan. Rasakanlah luapan bahagia, jeritan suka cita kerumunan puluhan ribu manusia, saling tular memenuhi satu lapangan bola. Bumipun bergetar.

World Cup tak hanya menjadi peristiwa olah raga. Karena ragam dunia terlibat di sana, World Cup sudah pula berkembang menjadi peristiwa budaya. Bahkan bagi sebagian insan yang gila bola, Wold Cup adalah peristiwa spiritual. Ia memberikan luapan kebahagian, sebagaimana hening sunyi malam, berhadap-hadapan dalam doa kepada Sang Khalik.

-000-

Saya beruntung sempat menyaksikan langsung final piala dunia di Rio Janairo Brazil, 2014. Bersama keluarga, istri dan anak- anak, sejak enam bulan sebelumnya kami mempersiapkan event itu. Dua anak lelaki saya termasuk “gila bola.” Kadang jam 1.00 atau 2.00 subuh, mereka membangunkan saya menonton live TV pertandingan kompetisi bola Eropa.

Minggu 13 Juli 2014, sore hari, Final World Cup berlangsung antara Jerman dan Argentina. Sejak pagi, sudah saya rasakan Rio de Janairo berubah menjadi kota pesta budaya dunia.

Hilir mudik manusia dari manca negara lalu lalang dengan atribut budayanya masing masing. Para gadis muda Amerika Latin dengan bikini dan celana sangat pendek, lenggak lenggok. Banyak pula pemuda dan pemudi Muslim dengan hijab dan kopiah. Semua berbaur ceria disatukan oleh bola.

Kaos team sepakbola Jerman dan Argentina memenuhi jalan. Kaos itu dipakai tak hanya oleh warga negara itu. Tapi fans bola dari aneka negara juga memakainya, menyemarakkan suasana.

Agen tour kami sejak di Jakarta sudah memberi gambaran. Untuk di hari final, mobil tak bisa berhenti terlalu dekat ke stadion. Jumlah manusia yang akan tumpah di stadion begitu banyaknya. Kami harus berjalan kaki untuk menemukan tempat duduk.

Karena tak ingin rumit, sejak dari Jakarta sengaja saya pesan tiket pula untuk tour guide di sana. Biarlah tur guide yang bekerja. Kami santai saja mengikuti panduannya.

Saya ingat betapa senangnya tur guide itu, menemani kami menonton. Ia menelfon Ayahnya, menelfon kakeknya. Ia bercerita akhirnya mimpinya kesampain juga. Ia, mengekspresikan kebahagiannnya dalam bahasanya sendiri, mendapatkan “berkah Tuhan,” bisa menonton final sepak bola di barisan kursi VVIP.

Di stadion bertambah meluap kebahagian saya justru karena melihat meluapnya kegembiraan dua anak saya. Mata mereka berbinar- binar. Dari jarak dekat, mereka melihat Lionel Messi bergerak lincah di lapangan hijau. Walau mereka menyayangkan mengapa bukan Cristiano Ronaldo yang di sana, yang menjadi bintang bola mereka.

Sayapun hilang dalam luapan massa. Kembali menjadi bocah, berdiri, duduk, tepuk tangan, berteriak, tertawa, selama 90 menit, bersama puluhan ribu penonton.

Dalam gegap gempita massa, kadang saya terdiam. Saya menyadari betapa sepak bola ini sudah menyihir saya.

-000-

Bersiap menonton Final World Cup 2018, Perancis lawan Kroasia, memori saya menyelam ke masa silam.

Final World Cup kali ini, kami di Jakarta saja. Sebuah layar lebar sudah disiapkan. Bersama teman satu kantor dan handai taulan, disiapkan nobar: nonton bareng.

Satu yang disukai dalam nobar itu: Tebak Skor. Kita menebak team mana yang menang dan berapa skornya. Hadiah menarik disediakan.

Tebak skor ini juga yang membuat saya heran. Biasanya saya 90 persen akurat menebak siapa yang akan menang dalam pilkada dan pemilu presiden. Namun dalam tebak skor, tak pernah sekalipun saya akurat.

Ternyata menebak skor bola lebih susah ketimbang menebak hasil pilkada dan pemilu.

Sehari sebelum final, getaran World Cup sudah terasa. Teman teman LSI di kantor berhenti bicara persiapan pemilu presiden. Topik berganti soal sepak bola. Betapa peradaban sudah menemukan peristiwa, World Cup, yang mampu menyihir kita. Menyihir seluruh dunia.***

Juli 2018

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.