Jumat, 19 April 24

Wartawan Partisan Terbelah Akibat Pilpres 2019

Wartawan Partisan Terbelah Akibat Pilpres 2019

Jakarta – Sangat disayangkan, gara-gara tidak netral dalam menyikapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, wartawan terpecah menjadi dua kubu. Yakni, wartawan pro pasangan calon presiden 01 Jokowi-Maruf melawan wartawan pro pasangan calon presiden 02 Prabowo-Sandi. Sikap ‘perpecahan’ dua kubu wartawan saat jelang Pilpres 2019 ini bahkan terlihat jelas di lingkungan wartawan yang bertugas liputan di DPR RI. Maklum, di DPR ada dua kubu partai koalisi, yaitu koalisi 01 melawan koalisi 02.

Prihatin terhadap hal ini, Perserikatan Wartawan Independen Pro Demokrasi (PWI-PD) menyerukan agar wartawan netral dan independen. Di tengah terbelahnya masyarakat akibat Pemilu terutama Pilpres 2019, nyaris tidak ada media yang mengambil posisi di tengah dan menjadi penyeimbang. Pers konvensional pun yang nyaris punah karena disrupsi, masih saja partisan.

“Saya kira setuju contoh yang paling dekat itu adalah koran. Secara proses produksi, secara proses redaksi sudah mengalami kelelahan dan mengalami penuaan,” kata Praktisi media Arief Gunawan yang juga Ketua PWI-PD dalam diskusi Evaluasi Media pada Pemilu 2019 di Forum Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (18/4/2019).

Menurut Arief, presiden terpilih ke depan harus berani untuk merevisi UU Pers. Capres 02 Prabowo Subianto misalnya sudah pernah menyatakan kesediaannya. Termasuk untuk merevisi UU ITE

“Pak Rizal Ramli pernah menanyakan secara langsung kepada Bapak Prabowo dia menanyakan kalau Anda jadi presiden apakah Anda mau merevisi undang-undang ITE dan dijawab oleh Pak Prabowo ternyata dia mau,” tandas Arief.

“Kalau UU ITE saja mau apalagi Undang-undang Pers. UU ini telah diplintir dan ini digunakan untuk pembungkaman,” tegasnya.

Arief juga prihatin, media konvensional yang tinggal menunggu kematiannya juga masih bermanuver. Arief mencontohkan, media konvensional dalam memberitakan hasil hitung cepat (quick count) cenderung digunakan untuk menggiring opini dan persepsi publik.

“Sebenarnya kalau mau dipahami quick count itu tatarannya informasi awal bukan sesuatu yang sudah final tetapi demikian dibuat sedemikian rupa sehingga ia mempengaruhi persepsi publik mempengaruhi anggapan publik bahwa yang menang pihak yang sebelah sana,” ujarnya.

“Padahal ini semuanya belum selesai dan saya kira ini masuk ke dalam penyesatan informasi. Mengutip Pak Rizal Ramli lembaga quick count itu sebenarnya tak ubahnya benalu demokrasi,” ungkap Arief.

Memang, lanjut dia, para penyelenggara quick count menggunakan kapasitas akademik mereka untuk kepentingan yang sebetulnya tidak mencerminkan realita. Tidak mencerminkan apa yang menjadi kehendak rakyat. “Peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ke depannya mungkin harus diperbaiki dan direvisi juga,” harapnya.

Ia pun mengingatkan, pers harus kembali didudukkan sebagai empat pilar demokrasi. “Nah itu harus dikembalikan dulu. Napoleon pernah berkata, dia lebih takut kepada pena wartawan daripada 20 sampai 40 moncong meriam. Tetapi pemerintah sekarang tidak ada takutnya sama pers, malah dijadikan corong kekuasaan,” tegas wartawan senior ini. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.