Jumat, 19 April 24

Warning!!! Terorisme Masih Jadi Ancaman

Warning!!! Terorisme Masih Jadi Ancaman
* Demo kecaman terhadap aksi terorisme di Indonesia. (Foto: floresmuda.com)

Selain kelompok separatis, Densus juga harus mewas­padai familia teror atau teror yang dilakukan satu keluarga. “Tercatat sudah ada tiga keja­dian yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo. Di Surabaya ada dua kasus dan satu di Sidoarjo,” tukas Al Chaidar.

Bukan tidak mungkin, tam­bah Al Chaidar, familia teror ini akan terjadi lagi di tahun 2019. Familia Teror ini terbilang sulit terlacak karena menggunakan aplikasi tersembunyi untuk sa­ling terkoneksi dengan anggota jaringan lain. Mereka meng­gunakan aplikasi telegram dan game untuk saling berkomu­nikasi. Aplikasi game digunakan jaringan teroris karena sulit ter­lacak. 

“Bagaimana bisa dilacak, kalau mereka berpura pura bermain game antarmereka sendiri? Padahal sambil main game, mereka memasukkan kode-kode untuk berkomuni­kasi,” kata Al Chaidar.

Karena itu, Densus harus mampu mengantisipasi peng­gunaan game untuk mereka berkomunikasi. Familia teror ini sulit ditembus karena me­reka sudah terdoktrin untuk melakukan teror. “Mereka ini didoktrin oleh Jemaah Islami­yah (JI), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), dan Jamaah Ansarud Daulah (JAD). Jadi sudah dicuci otak sehingga sulit berubah pendiriannya dan fokus dalam menjalankan tujuannya,” tukas Al Chaidar.

Kelompok-kelompok se­perti JI, JAT, dan JAD inilah yang diduga kuat akan tetap jadi bagian teror yang beraksi di tahun 2019. Untuk itu, tam­bah Al Chaidar, Densus harus mampu mengatasi jaringan-jaringan ini di tahun 2019. Apalagi tahun 2019 akan ada pesta demokrasi seperti pil­pres dan pileg.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, menga­takan dalam satu dekade terak­hir, ada empat jaringan teroris yang aktif melakukan teror. “JI, JAT, JAD, dan Mujahidin Indo­nesia Timur (MIT) dan sel-sel di bawahnya (aktif melakukan aksi teror),” kata Suhardi.

Keempat jaringan teroris itu secara nyata mengajarkan paham-paham radikalisme. Sebagai alat penyebar paham radikal mereka adalah media sosial. “Media sosial itu alat radikalisasi yang paling mudah digunakan,” tukas Suhardi.

Untuk ke depan harus terus diwujudkan pemberian ganti rugi oleh negara bagi mere­ka yang menjadi korban dari aksi terorisme ini. Apa yang dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) be­lum lama ini menyerahkan kompensasi untuk korban terorisme Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) patut untuk diteruskan.

Seperti disampaikan, LPSK menyerahkan ganti rugi dari negara sebesar 613.079.624 rupiah kepada tiga korban tindak pidana te­rorisme di Gereja St Lidwina, Bedog, Kabupaten Sleman, DIY, yang terjadi pada Februari 2018. Penyerahan kompensa­si itu dilakukan Wakil Ketua LPSK, Lili Pintauli Siregar, kepada ketiga korban yakni Budiono, Yohanes, dan Mar­tinus Parmadi, di Kepatihan, Yogyakarta.

“Setelah melalui proses hu­kum di pengadilan, berdasar­kan putusan PN Jakbar yang menyidangkan perkara ini, para korban mendapatkan hak berupa kompensasi,” kata Lili.

Menurut Lili, selain sebagai salah satu hak korban, kom­pensasi tersebut juga menjadi wujud nyata hadirnya negara bagi korban. Ini sekaligus menunjukkan bahwa sistem hukum tidak hanya memen­tingkan hak-hak tersangka, ter­dakwa, dan terpidana (offender oriented) serta menghukum pelaku. (Has)

 

Baca juga:

UU Antiterorisme Maksimalkan Upaya Pencegahan dan Payungi Penindakan Aparat Penegak Hukum

DPR Minta Pemerintah Segera Terbitkan PP UU Antiterorisme

Menteri Yasonna Hadir Pengesahan UU Terorisme di DPR

Pages: 1 2 3

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.