Selain kelompok separatis, Densus juga harus mewaspadai familia teror atau teror yang dilakukan satu keluarga. “Tercatat sudah ada tiga kejadian yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo. Di Surabaya ada dua kasus dan satu di Sidoarjo,” tukas Al Chaidar.
Bukan tidak mungkin, tambah Al Chaidar, familia teror ini akan terjadi lagi di tahun 2019. Familia Teror ini terbilang sulit terlacak karena menggunakan aplikasi tersembunyi untuk saling terkoneksi dengan anggota jaringan lain. Mereka menggunakan aplikasi telegram dan game untuk saling berkomunikasi. Aplikasi game digunakan jaringan teroris karena sulit terlacak.
“Bagaimana bisa dilacak, kalau mereka berpura pura bermain game antarmereka sendiri? Padahal sambil main game, mereka memasukkan kode-kode untuk berkomunikasi,” kata Al Chaidar.
Karena itu, Densus harus mampu mengantisipasi penggunaan game untuk mereka berkomunikasi. Familia teror ini sulit ditembus karena mereka sudah terdoktrin untuk melakukan teror. “Mereka ini didoktrin oleh Jemaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), dan Jamaah Ansarud Daulah (JAD). Jadi sudah dicuci otak sehingga sulit berubah pendiriannya dan fokus dalam menjalankan tujuannya,” tukas Al Chaidar.
Kelompok-kelompok seperti JI, JAT, dan JAD inilah yang diduga kuat akan tetap jadi bagian teror yang beraksi di tahun 2019. Untuk itu, tambah Al Chaidar, Densus harus mampu mengatasi jaringan-jaringan ini di tahun 2019. Apalagi tahun 2019 akan ada pesta demokrasi seperti pilpres dan pileg.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, mengatakan dalam satu dekade terakhir, ada empat jaringan teroris yang aktif melakukan teror. “JI, JAT, JAD, dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan sel-sel di bawahnya (aktif melakukan aksi teror),” kata Suhardi.
Keempat jaringan teroris itu secara nyata mengajarkan paham-paham radikalisme. Sebagai alat penyebar paham radikal mereka adalah media sosial. “Media sosial itu alat radikalisasi yang paling mudah digunakan,” tukas Suhardi.
Untuk ke depan harus terus diwujudkan pemberian ganti rugi oleh negara bagi mereka yang menjadi korban dari aksi terorisme ini. Apa yang dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) belum lama ini menyerahkan kompensasi untuk korban terorisme Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) patut untuk diteruskan.
Seperti disampaikan, LPSK menyerahkan ganti rugi dari negara sebesar 613.079.624 rupiah kepada tiga korban tindak pidana terorisme di Gereja St Lidwina, Bedog, Kabupaten Sleman, DIY, yang terjadi pada Februari 2018. Penyerahan kompensasi itu dilakukan Wakil Ketua LPSK, Lili Pintauli Siregar, kepada ketiga korban yakni Budiono, Yohanes, dan Martinus Parmadi, di Kepatihan, Yogyakarta.
“Setelah melalui proses hukum di pengadilan, berdasarkan putusan PN Jakbar yang menyidangkan perkara ini, para korban mendapatkan hak berupa kompensasi,” kata Lili.
Menurut Lili, selain sebagai salah satu hak korban, kompensasi tersebut juga menjadi wujud nyata hadirnya negara bagi korban. Ini sekaligus menunjukkan bahwa sistem hukum tidak hanya mementingkan hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana (offender oriented) serta menghukum pelaku. (Has)
Baca juga:
UU Antiterorisme Maksimalkan Upaya Pencegahan dan Payungi Penindakan Aparat Penegak Hukum