
Jakarta, Obsessionnews.com– Dalam masa penuh ketidakpastian, kehadiran negara secara berkelanjutan menjadi semakin penting. Ketimpangan permasalahan penguasaan dan pengolahan sumber-sumber agraria di Indonesia masih banyak yang belum terselesaikan. Apalagi kondisi ini diperparah dengan adanya dampak ekonomi dari pandemi Covid-19.
Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/Waka BPN), Surya Tjandra, dalam acara Bahtsul Masail Pra Muktamar NU Ke-34 tentang Pelaksanaan Reforma Agraria untuk Percepatan Kemakmuran Rakyat yang diselenggarakan di Aula PBNU secara luring dan daring pada Kamis (28/10/2021).
“Saya akui bahwa ketimpangan mengenai persoalan agraria itu memang ada. Nah, PR-nya yang terpenting untuk kita sebagai pemerintah dan birokrasi di bidang agraria ialah untuk memahami kompleksitas hubungan masyarakat dengan tanah serta menyelesaikan permasalahan secara kreatif dan menyeluruh sampai ke akar permasalahan,” ungkap Surya Tjandra dikutip Obsessionnews pada Sabtu (30/10).
Jika membahas mengenai hubungan masyarakat dengan tanah, Surya Tjandra mengatakan bahwa peran penyediaan dalam kehadiran negara yang tertuang dalam UUPA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria-Red) masih tertinggal. “Penyediaan ini adalah peran yang selalu ketinggalan dari dulu. Kita berbicara bagaimana soal alokasi dan realokasi sumber daya agraria yang terbatas, khususnya bagi mereka yang ada di sisi paling lemah di masyarakat, contohnya petani gurem, petani yang tidak punya tanah. Mengapa bisa terjadi demikian? Hal ini karena orang yang membutuhkan tanah banyak, sedangkan tanah yang tersedia terbatas,” tutur Surya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum PBNU, KH. Maksum Mahfud berkata bahwa selama ini sumbangan petani terhadap devisa negara itu sangat besar. “Dengan luas tanah yang tidak sebanding dengan jumlah rumah tangga petani maka akan mengakibatkan kemiskinan yang disebabkan ketimpangan penguasaan tanah. Oleh karena itu, dibutuhkan satu alur atau rute dari hulu hingga hilir dalam rangka kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat,” tuturnya.
Tenaga Ahli Madya KSP Bidang Agraria, Usep Setiawan, mengatakan bahwa di era Presiden Joko Widodo, Reforma Agraria menjadi fokus utama dalam menyelesaikan ketimpangan permasalahan penguasaan tanah. “Pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam Reforma Agraria baik pasca-redistribusi dan legalisasi yang dilaksanakan oleh Kementerian ATR/BPN maupun pasca-SK Pemanfaatan Kawasan Hutan dan Pengakuan Hutan Adat, ini termasuk dalam agenda pemberdayaan ekonomi dan menjadi agenda krusial. Saya berharap PBNU atau Nahdliyin bisa berperan serta dalam hal ini,” ujarnya.
Menutup kegiatan ini, Wamen ATR/Waka BPN menambahkan perlu adanya kolaborasi antar-Kementerian/Lembaga (K/L) bahkan dengan masyarakatnya sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. “Intinya adalah kewenangan untuk menyelesaikan Reforma Agraria ini memang Kementerian ATR/BPN. Namun, kewenangan terkait penguasaan atas tanah juga terbatas. Ya, memang balik lagi perlu adanya kolaborasi antar-K/L. Selain itu, untuk masyarakat pun harus terbuka apa yang diinginkannya, kompensasi apa yang diharapkan agar kita sama-sama mengerti,” tutup Wamen ATR/Waka BPN. (Has)