Selasa, 23 April 24

Walikota Semarang : Taman Budaya Raden Saleh Tidak Digusur

Walikota Semarang : Taman Budaya Raden Saleh Tidak Digusur

Semarang, Obsessionnews – Pro dan kontah rencana pembangunan Trans Studio di Kota Semarang, Jawa Tengah, semakin meruncing. Isu penggusuran Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) yang akan digantikan dengan wahana wisata milik Chairul Tandjung itu ramai dibicarakan oleh masyarakat Semarang. Demi meluruskan rumor yang semakin berkembang, Walikota Semarang Hendrar Prihadi menyatakan sikapnya tidak menggusur TBRS jika warga tidak menyetujui.

“Kalau memang warga tidak berkenan dengan Trans Studio, saya tidak akan bangun,” ujar Hendy, sapaan akrabnya, dalam forum diskusi #saveTBRS di TBRS, Selasa (10/3) malam.

Berbagai bentuk seni diekspresikan para pegiat seni ini untuk memperjuangkan Taman Budaya Raden Saleh tidak digusur
Berbagai bentuk seni diekspresikan para pegiat seni ini untuk memperjuangkan Taman Budaya Raden Saleh tidak digusur

Namun, orang nomor satu di Semarang ini memberikan syarat apabila masyarakat memilih untuk menolak Trans Studio di TBRS. “Tapi dengan catatan semua warga Semarang setuju dengan penolakan tersebut,” tegasnya.

Dalam diskusi tersebut hadir berbagai elemen masyarakat mulai dari seniman lokal, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), warga biasa hingga seniman tingkat internasional. Timur Suprabana, seniman asal Semarang, menceritakan sejarah panjang TBRS yang dulu dikenal sebagai Kebun Binatang Tegal Wareng. Seiring berjalannya waktu Kebun Binatang Tegal Wareng berubah menjadi Taman Hiburan Rakyat (THR). Saat itu ada dua taman hiburan, yaitu THR dan Taman Hiburan Diponegoro (THD). Kemudian THR berkembang menjadi pusat kegiatan kesenian, sedangkan THD berubah menjadi pusat perjudian.

Walikota Semarang Hendrar Prihadi
Walikota Semarang Hendrar Prihadi

“Ada sejarah panjang tentang tempat ini. Dari masa ke masa tidak pernah ada konflik, tapi isu penggusuran ini berpotensi menjadi konflik. Saya berharap ada kejelasan mana fakta dan imana rumor,” kata Timur.

Ketua MUI Jateng Ahmad Darodji ikut angkat bicara sebagai bentuk keprihatinan terhadap isu penggusuran TBRS. “Suatu saat ketika saya membawa anak cucu kesini, saya masih bercerita ini lho TBRS, tempat kumpulnya maestro-maestro seni,” katanya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Didik Ninitowok. Ia merasa mempunyai ikatan emosional dengan wayang Ngesthi Pandawa. Seniman asal Temanggung ini menyarankan TBRS hendaknya dikelola lebih baik lagi.

Didi Ninitowok bersama penggemarnya.
Didi Ninitowok bersama penggemarnya.

“Jangan sampai Ngesthi Pandawa bubar. Kita belajar dari negara lain. Di Jepang misalnya, perusahaan swasta berkewajiban membangun teater daerah. Manajemen TBRS perlu dibenahi seperti itu,” ucap Didik.

Menurutnya, pro dan kontra di kalangan masyarakat disebabkan tidak ada sosialisasi terkait Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang ditandatangani antara Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang dan Trans Corp, pemilik Trans Studio, Jumat (6/3).

Hendy menceritakan kronologi MoU dan bergulirnya rumor penggusuran TBRS. “Minggu (8/3) saya datang ke TBRS. Sebelumnya dari Jumat sampai Minggu tiba-tiba ada cercaan di sosial media dengan isu penggusuran TBRS. Ini cerita dari mana?“ tuturnya.

Putera asli Semarang ini berkeinginan kuat untuk mengembangkan Kota Atlas. Selama satu tahun Hendy melakukan komunikasi dengan Chairul Tandjung, pemilik Trans Corp. Dia meyakinkan agar perusahaan tersebut berinvestasi di Kota Semarang yang pada akhirnya Chairul Tandjung memilih lokasi di taman Wonderia.

“Saya sejak kecil di Semarang. Ketika saya seperti sekarang ini, saya melihat ada tempat yang tidak bagus untuk kota ini. Lokasinya strategis, tapi kok kadang-kadang ada orang yang mati di Wonderia. Masak Walikota tidak memikirkan sampai ke situ?” katanya menanggapi aspirasi masyarakat.

Ditilik dari sejarahnya, di Wonderia pernah terjadi beberapa kasus kecelakaan hingga mengakibatkan pengunjung meninggal dunia. Sampai saat ini lokasi tersebut telah berhenti menjalankan berbagai wahana permainan karena sepi pengunjung. Itulah yang menjadi dasar pemikiran Pemerintah Kota Semarang mengalihfungsikan Wonderia.

“Ada barang jelek, kemudian ada yang datang mau benerin. Kelirunya di mana? Kalau kita bersikap apatis tidak melibatkan swasta, maka kotanya akan begini-begini saja,” timpal Hendy.

Kontrak yang dimiliki oleh PT Arsana Rekreasi Trusta, pengelola Wonderia, sejatinya berakhir pada tahun 2022. Walikota Semarang mempersilahkan para seniman dan warga Semarang yang tidak mau TBRS dicampur dengan Trans Studio nantinya. Dia menyarankan agar menyatukan antara Trans Studio dengan TBRS, sehingga kreativitas para seniman dapat ditampilkan bersama wahana lainnya. Tapi itu semua juga jika masyarakat menghendaki.

“Itu menjadi lebih enak sehingga situasi di sana jadi lebih bagus, bisa mendatangkan wisatawan, dan TBRS tidak terganggu,” katanya.

Hendy menambahkan, ia mengizinkan TBRS tetap seperti ini tanpa adanya campur tangan dari Trans Corp. Para seniman dapat mengelola TBRS secara penuh. Di akhir sesi acara diskusi dia mengutip kalimat Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof Eko Budiarjo yang berbunyi ‘di dalam proses pembangunan lebih baik ramai di depan daripada ramai di belakang’. (Yusuf Isyrin Hanggara)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.