Jumat, 19 April 24

Vaksin dan Deksametason sebagai Terapi Obat Covid-19

Vaksin dan Deksametason sebagai Terapi Obat Covid-19
* Ahli Virus dari Unsoed apt.Heny Ekowati,MSc.,PhD.

Oleh: Dr apt.Heny Ekowati,MSc.,PhD., Ahli Virus dari Unsoed

Kebutuhan obat yang spesifik untuk pasien Covid-19 kian mendesak seiring bertambahnya kasus akibat penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2. Pengembangan vaksin adalah salah satu jalan keluar untuk mengatasi pandemi Covid-19. Proses untuk menghasilkan vaksin memerlukan waktu yang lama sama dengan penemuan obat pada umumnya. Hal ini disebabkan tahap yang harus dilalui melalui uji pre-klinik pada hewan sampai uji klinik memerlukan waktu bertahun-tahun. Sisi lain dari vaksin adalah sumber pembuatannya yaitu virus. Sifat virus yang sangat mudah berubah karena materi penyusun genetiknya yang mudah berubah. Untuk itu, sejumlah terapi tambahan bisa diberikan, di antaranya penggunaan deksametason. Penggunaan deksametason menjadi sangat bermakna untuk mengatasi satu fenomena yang disebut sebagai badai sitokin. Fenomena yang menyebabkan hampir sebagian besar pasien Covid-19 yang parah meninggal.

Penyakit Coronavirus 2019 (Covid-19) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2. Untuk itu, WHO pada 10 Februari 2020 memberikan nama resmi untuk penyakit yang disebabkan oleh virus corona yang baru dengan nama Covid-19. Tujuannya adalah untuk menghindari stigma pada tempat, orang atau hewan yang berhubungan dengan virus corona. ‘CO’ untuk Corona, ‘VI’ untuk Virus dan ‘D’ untuk Disease.

Vaksin dan deksametason sebagai terapi obat Covid-19 :

A. Vaksin

1. Sejarah Vaksin
▪Pada saat ini, terapi spesifik untuk Covid-19 belum ditemukan. Salah satu strategi terapi untuk terapi Covid-19, adalah terapi vaksin.
▪Terminologi vaksin dan vaksinasi berasal dari Variolae vaccinae (cacar air pada sapi). Istilah yang diperkenalkan oleh Edward Jenner pada akhir tahun 1760 untuk menunjukkan cacar pada sapi. Edward Jenner – penyakit smallpox.
▪Generasi kedua perkembangan vaksin terjadi pada tahun 1880, Louis Pasteur mengembangkan vaksin untuk kolera dan anthrax.
▪Pada akhir abad ke-19 vaksin digunakan sebagai terapi di dunia.
▪Vaksin adalah sediaan biologis yang meningkatkan imunitas pada penyakit tertentu. Vaksin mengandung mikroorganisme penyebab penyakit dan dibuat dengan melemahkan atau mematikan mikroba tersebut. Vaksin menstimulasi sistem imun sehingga mengenali mikroorganisme penginfeksi, menghilangkan, dan menyimpannya sebagai memori. Dengan cara ini, sistem imun akan lebih mudah mengenali dan mengeliminasi mikroorganisme jika menginfeksi kedua kalinya.

2. Tipe-Tipe Vaksin
a. Vaksin dari mikroorganisme hidup yang dilemahkan :
▪Vaksin tipe ini mengandung mikroba yang hidup yang telah dilemahkan, sehingga tidak menyebabkan penyakit.
▪Oleh karena mikroba masih hidup, vaksin ini sangat mirip dengan infeksi yang terjadi secara alami dalam tubuh. Dengan demikian merupakan penginduksi sistem imun yang baik.
▪Contoh: vaksin campak, gondok, dan cacar air.

b. Vaksin dari mikroorganisme yang diinaktivasi :
▪Peneliti memproduksi vaksin yang diinaktivasi dengan membunuh mikroba penyebab penyakit menggunakan senyawa kimia, panas atau radiasi. Vaksin tipe ini lebih stabil dan aman daripada vaksin dengan mikroba yang dilemahkan.
▪Mikroba yang telah dibunuh, tidak mungkin bermutasi ke kondisi semula untuk menyebabkan penyakit.
▪Contoh: vaksin infuenza, polio, hepatitis A, dan rabies.

c. Vaksin subunit :
▪Vaksin tipe ini tidak menggunakan keseluruhan mikroba. Vaksin subunit hanya menggunakan antigen yang terbaik untuk menstimulasi sistem imun.
▪Pada beberapa kasus, vaksin jenis ini hanya menggunakan epitop yang sangat spesifik, yang merupakan bagian dari antigen, dimana antibodi atau sel T bisa mengenali dan berikatan.
▪Contoh : Vaksin Pertusis.

d. Vaksin toksoid :
▪Untuk bakteri yang menghasilkan toksin atau zat kimia berbahaya, vaksin toksoid adalah solusinya.
▪Vaksin tipe ini digunakan ketika toksin bakteri adalah sebab utama terjadinya penyakit.
▪Para peneliti telah menemukan bahwa toksin bisa diinaktivasi dengan mencampur toksin dengan formalin. “Detoxified” toksin ini disebut sebagai toksoid, dan aman digunakan dalam vaksin.
▪Contoh : toksoid Crotalus atrox (digunakan untuk vaksinasi anjing, pada gigitan ular rattle).

e. Vaksin konjugat :
▪Jika bakterium memiliki selubung terluar berupa molekul gula yang disebut polisakarida (banyak bakteria yang memiliki ciri ini), maka para peneliti akan membuat vaksin konjugat untuk ini.
▪Selubung polisakarida melindungi antigen pada bakterium, sehingga sistem imun yang belum lengkap pada bayi dan anak-anak tidak dapat mengenalinya.
▪Contoh : Vaksin Haemophilus influenzae type B

f. Vaksin DNA :
▪Masih pada tahap eksperimen, vaksin jenis ini menunjukan hal yang menjanjikan. Beberapa di antaranya sedang diuji pada manusia.
▪Vaksin DNA menggunakan teknologi tertentu untuk melakukan imunisasi.
▪Vaksin tipe ini mencampur antara keseluruhan organisme dan bagiannya. Serta menggunakan bagian esensial yaitu material genetik mikroba.
▪Contoh: Vaksin influenza

g. Vaksin vektor rekombinan :
▪Vaksin vektor rekombinan adalah jenis vaksin yang masih dalam eksperimen (= vaksin DNA).
▪Vaksin ini menggunakan virus yang dilemahkan atau bakterium to mengenalkan DNA mikroba pada sistem imun.
▪“Vector” mengacu pada virus atau bakterium yang digunakan sebagai karier.
▪Contoh : vaksin DPT.

3. Vaksin untuk Terapi Covid-19
Ada lebih dari 100 kandidat vaksin untuk Covid-19 yang sedang dikembangkan. Sebagiannya telah masuk pada fase 1 uji klinik (uji keamanan dan imunogenisitas) (Lancet, 27 April 2020). Uji pada hewan (rhesus macaques-jenis monyet) menggunakan inactivated vaccine, menunjukkan hasil yang baik. Keterbatasan: jumlah hewan yang digunakan sangat terbatas. (Science Magazine, vol. 368, issue 6490, 1 Mei 2020). Penelitian uji klinik menunjukkan vaksin BCG mempunyai efek immunomodulator yang dapat melindungi tubuh terhadap infeksi pada sistem pernafasan.Oleh karena itu, vaksin BCG dapat dipertimbangkan untuk mengurangi akibat Covid-19 (Lancet, 30 April 2020). Vaksin DNA (sequencing genome SARS-CoV-2). Beberapa kendala teknis dalam teknologi masih dihadapi. Lebih jauh dari itu diperlukan kerjasama internasional untuk data dan keuangan (NEJM, 30 April 2020).

B. Deksametason

Selanjutnya Collaborative Professor untuk Kanazawa University Jepang (2018 – 2022) apt.Heny Ekowati,MSc.,PhD. menjelaskan bahwa obat lain yang dilaporkan memiliki efek pada Covid-19 adalah deksametason. Laporan awal uji klinik yang dilakukan di Inggris menyebutkan bahwa deksametason, sebuah obat golongan kortikosteroid, mampu mengurangi 30% kematian pasien Covid-19 dengan kondisi parah menggunakan ventilator. Namun dari laporan ini pula diketahui bahwa deksametason tidak mempunyai efek yang baik pada pasien dengan gejala sedang dan ringan. Kortikosteroid dihasilkan oleh bagian kulit (kortex) kelenjar adrenal. Kortikosteroid mempunyai berbagai fungsi di antaranya adalah pengaturan metabolisme, regulasi keseimbangan air dan elektrolit, regulasi respon tubuh terhadap stres, dan mempunyai efek sebagai penekan sistem imun.

1. Kerja Deksametason
Kerja Deksametason (kortikosteroid sintesis dengan waktu paruh eliminasi panjang) mempunyai efek menekan sistem imun bawaan dengan cara penurunan pelepasan eosinophil dan peningkatan jumlah netrofil. Di samping itu, deksametason juga menekan sistem imun adaptif dengan menurunkan jumlah limfosit T yang bersirkulasi dan mencegah produksi interleukin-2 oleh sel T. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kasus meninggalnya pasien Covid-19 bukan disebabkan oleh virusnya melainkan disebabkan adanya satu fenomena yang disebut sebagai badai sitokin (Cytokines Storm Syndrome).

2. Badai sitokin dan kematian pasien tahap lanjut COVID-19
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kasus meninggalnya pasien COVID-19 tahap lanjut (severe) bukan disebabkan oleh virus nya melainkan disebabkan adanya satu fenomena yang disebut sebagai badai sitokin (Cytokines Storm Syndrome). Selama terjadi badai sitokin, terjadi respon imun yang sangat berlebihan. Hal ini menyebabkan terjadinya peradangan parah (hyperinflammation), yang memicu kegagalan fungsi paru (Acute Respiratory Distress Syndrome- ARDS) dan kegagalan multi organ. Pada studi yang lain dilaporkan adanya kerusakan gen setelah infeksi virus sehingga terjadi imun respon yang tidak terkontrol (pemicu penyakit autoimun).

3. Deteksi Badai Sitokin
Deteksi badai sitokin dapat dilakukan dengan skrining pada kadar serum ferritin darah sebagai skrining pertama dan adanya peningkatan jumlah sitokin : interleukin (IL)-2, IL-7, IL-6, granulocyte colony stimulating factor, interferon-γ, monocyte chemoattractant protein 1, macrophage inflammatory protein 1-α, and tumour necrosis factor-α.

4. Obat
Obat yang dapat digunakan untuk mengatasi badai sitokin adalah obat-obat yang mempunyai target : interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-18, dan interferon-gamma; Kortikosteroid: obat untuk imunosupresan. Oleh karena efek imusupresan nya sangat kuat, biasanya tidak digunakan jika masih ada pilihan obat lain (IL-1 targeted dan lain-lain).

5. Uji Klinik Deksametason untuk Covid-19
The Randomised Evaluation of Covid-19 therapy- Recovery adalah uji klinik yang membandingkan terapi pasien COVID-19 tanpa dan dengan deksametason (6 mg/hari-oral atau injeksi- sampai 10 hari). Outcome primer (efek primer) nya adalah jumlah kematian dalam 28 hari. Uji klinik awal dilakukan dengan melibatkan 2.104 pasien pada grup deksametason dibandingkan dengan 4.321 pasien tanpa deksametason. Uji klinik ini melaporkan bahwa deksametason menurunkan kematian pada 1/3 pasien yang mendapat terapi ventilator; menurunkan kematian pada 1/5 pasien yang mendapat terapi oksigen tanpa ventilator; namun tidak menunjukan efek pada pasien yang tidak mendapat terapi dengan ventilator atau oksigen. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.