Jumat, 19 April 24

UU MD3 Buatan DPR Permudah Wakil Rakyat Korup

Jakarta – Koalisi sejumlah LSM menyesalkan disahkannya RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) pada 8 Juli lalu cukup menimbulkan keprihatinan. Pasalnya, DPR justru menambah kewenangannya tanpa menyediakan ruang pengawasan. Selain itu, tidak terlihat pula kesungguhan DPR untuk bersikap transparan dan akuntabel.

Demikian pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3 yang terdiri dari
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID), Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Budget Center  (IBC), Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Indonesian Parliamentary Center (IPC), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Transparency International Indonesia (TII), dan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), yang disampaikan di  sekretariat ICW, Jakarta, Minggu (13/7/2014).

Peneliti ICW Abdullah Dahlan mengungkapkan, salah satu hilangnya ruang pengawasan anggota DPR adalah perggantian Badan Kehormatan DPR menjadi Mahkamah Kehormatan sesuai yang termuat dalam pasal 224.

“Mahkamah Kehormatan mengalami perluasan dibandingkan Badan Kehormatan. Jika Badan Kehormatan hanya pada ranah kode etik, keberadaan Mahkamah Kehormatan masuk hingga ranah penegakan hukum melalui adanya izin pemanggilan dan pemeriksaan,” bebernya.

Hal itu, ungkap dia, justru menambah beban administratif hukum. Mengingat, anggota dewan yang diduga terlibat kasus hukum tidak bisa diperiksa aparat terkait sebelum ada izin dari Mahkamah Kehormatan. “Kalau terjadi tersangka mau diperiksa harus ada izinnya. Konsekuensinya dalam proses izin ada kemungkinan pihak yang dipanggil dapat menghilangkan bukti-bukti yang dibutuhkan,” paparnya.

Klausul pasal tersebut, lanjut Dahlan, juga menunjukkan ketidakberpihakan DPR dalam upaya pemberantasan korupsi. Anggota dewan yang diduga korupsi tidak bisa langsung diperiksa aparat penegak hukum lantaran harus menunggu izin dari Mahkamah Kehormatan DPR. “Kami menilai mereka justru membuat produk legislasi yang mempertegas soal proteksi bagi perilaku koruptif dewan,” tandas Aktivis ICW.

Sementara itu, Aktivis YAPPIKA Hendrik Rosdinar menambahkan, banyak kejanggalan dalam RUU tentang Perubahan atas UU 27/2009 tentang MD3 tersebut. Pasalnya, pengesahan UU itu dilakukan dalam waktu mendesak jelang pemungutan suara Pilpres 9 Juli. “Keinginan awal tampaknya tidak cukup lapang, hanya kepentingan politik sesaat yang dominan sehingga muncul sifat akrobatik dan negatif terhadap substansi undang-undang,” ungkapnya pula. kebijakan dari

Hendrik menilai, banyak pasal dari UU MD3 yang baru saja disahkan harus direvisi kembali. Lantaran, pasal-pasal yang ada justru menambah kewenangan anggota DPR dengan menghilangkan sejumlah fungsi pengawasan yang. Hal ini dikhawatirkan memperlebar indikasi tindak pidana.

“Hal yang paling mungkin terjadi adalah adanya kemungkinan anggaran ganda terkait tambahan tugas anggota dewan. Selain itu, dalam undang-undang MD3 yang baru anggota dewan diproteksi begitu luar biasa terutama saat menjalani penyelidikan sebuah kasus oleh penegak hukum,” tegasnya.

Adapun, terdapat delapan poin penting yang menjadi sorotan dan harus segera direvisi oleh DPR dalam UU MD3 yang baru. Yakni tren penambahan kewenangan MPR, mekanisme pemilihan pimpinan DPR, keterwakilan perempuan, hak imunitas, proses penyidikan, mahkamah kehormatan, hilangnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara dari Alat Kelengkapan Dewan, dan hak mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan.

Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK, Ronald Rofiandri menambahkan, DPR menyadari kinerjanya semakin merosot dan tingkat kepercayaan masyarakat terus menurun. Untuk itu, melalui revisi UU MD3, DPR berusaha merespon tuntutan perubahan parlemen ke arah yang lebih baik.

Tapi sayangnya, lanjut dia, kehendak DPR yang ingin berubah menjadi lebih baik ternyata tidak nampak dalam naskah akhir RUU MD3. “Melalui RUU MD3, DPR menambah kewenangannya tanpa menyediakan ruang pengawasan. Selain itu, tidak terlihat pula kesungguhan DPR untuk bersikap transparan dan akuntabel,” bebernya.

Apa saja ketidaksungguhan tersebut? Menurutnya, DPR menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi kinerja (anggotanya) dan melaporkan kepada publik. “Tidak hanya itu, kewajiban DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan (sebagaimana diatur sebelumnya dalam Pasal 73 ayat 5 UU No 27 Tahun 2009) turut dihapus. DPR juga masih akan mempertahankan berlangsungnya rapat-rapat tertutup,” ungkapnya pula.

Berdasarkan temuan dan catatan kritis di atas, Koalisi mendesak agar anggota DPR yang baru terpilih (periode 2014-2019) merevisi kembali UU MD3 terutama mensterilkan dari efek pertarungan Pilpres 2014 dan sejumlah agenda yang cenderung tidak mendongkrak reformasi parlemen secara signifikan.

Selain itu, Koalisi meminta Anggota DPR periode 2009-2014 tidak memaksakan diri untuk menyusun Peraturan Tata Tertib DPR yang baru. Selain ketidakcukupan waktu karena hanya tersisa satu masa sidang lagi (14 Agustus –  30 September 2014), UU MD3 yang baru tersandera dengan kepentingan politik sebagai dampak pertarungan Pilpres 2014. (Pur)

 

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.