
Jakarta – Dalam debat capres (calon presiden) bertema ketahanan nasional yang digelar oleh KPU di Hotel Holiday Inn, Jakarta, Minggu (22/6/2014) malam, Capres Joko Widodo alias Jokowi memaparkan gagasannya untuk menyiapkan DRONE (pesawat tanpa awak) di tiga kawasan Indonesia. “Kekayaan laut kita sangat besar. Sekitar Rp300 triliun, namun karena beragam illegal fishing menjadi hilang. Yang dibutuhkan adalah sebuah pesawat tanpa awak di tiga kawasan,” lontarnya.
Jokowi beranggapan, DRONE akan sangat membantu dalam ketahanan nasional, dan ada tiga hal penting yang bisa dilakukan oleh DRONE. Pertama, adalah untuk pertahanan. Kedua, mengejar illegal fishing. “Ketiga, bisa mengejar jika ada illegal logging,” terangnya.
Guna mendukung hal tersebut, lanjut Jokowi, DRONE bisa ditempatkan di kawasan barat, tengah dan timur. “Nantinya bisa ditempatkan di Sumatera, Jawa, Kalimantan atau Sulawesi. Yang penting ada di tiga titik,” jelas Capres yang juga Politisi PDI Perjuangan ini.
Gagasan Jokowi soal DRONE mendapat berbagai tanggapan pro kontra dari kalangan pakar/pengamat. Gagasan Jokowi yang dilontarkan dalam debat capres tersebut didukung oleh pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie. “Betul apa yang disampaikan pak Jokowi, drone itu bisa meng-cover seluruh wilayah kedaulatan,” tandas Connie.
“Hanya saja patut dipahami pula, DRONE hanya bersifat sebagai mata bukan sekaligus tongkat pemukul. Ini penting karena erat kaitannya dengan pembangunan postur pertahanan yang diinginkan dan diperlukan,” tambahnya.
Di era modern seperti ini, lanjut Connie, konsep postur pertahanan negara tidak bisa hanya fokus pada matra laut tapi juga harus dengan kekuatan udara yang mumpuni di aspek pengintaian dan penindakan. Terlebih lagi jika menyimak debat capres Minggu (22/6) malam, baik Prabowo maupun Jokowi yang cenderung mengangkat isu ‘outward looking military’ yaitu militer yang memandang luar atau melindungi Indonesia jauh di batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Jika itu pilihannya maka kembali lagi pada angkatan udara dan angkatan luat yang hebat dan mumpuni.
“Kita kan bukan negara agresif yang membangun military untuk menyerang. Angkatan Darat kita baiknya dikonsentrasikan di perbatasan dan perang kota serta mendukung kedua matra di atas,” tuturnya.
Di pihak lain, Pengajar Program Pasca Sarjana FMIPA Universitas Indonesia (UI) Dr A. Riza Wahono, menilai pengadaan pesawat Drone itu tidak realistis karena selain harganya yang sangat tinggi, teknologi tersebut masih dalam kategori “RAHASIA”. “Pikiran Pak Jokowi sangat maju menceritakan konsep DRONE untuk pertahanan Indonesia, tapi seberapa realistiskah itu?” ungkap Riza Wahono dalam akun Facebook-nya.
Menurut Riza, DRONE terbaik saat ini yang tersedia adalah ARGUS (The Autonomous Real-time Ground Ubiquitous Surveillance) yang mampu memantau secara simultan luasan sebesar 15 mil persegi dari ketinggian 6000m. ARGUS dpt mendeteksi obyek seukuran 15cm dari ketinggian tersebut.
“ARGUS merupakan sistem yang mampu merekam dan melepaskan video streaming sebesar jutaan terabytes hard disk atau sebesar 5,000 jam video HD. Dgn data yang sangat besar tersebut, maka pemerintah AS dapat me-rewind dan memperhatikan apa yang terjadi di bawah DRONE pada hari-hari sebelumnya,” jelasnya.
Dengan demikian, lanjut Riza, ARGUS dapat ditempatkan pada area yang sama selama 24 jam per hari, 7 hari per minggu. Perhatikan key point-nya ini: 15 mil persegi. Kira-kira berapa ribu DRONE yang harus dilepas di atas langit Indonesia? Berapa besar Data Center dengan jutaan terabytes data tersebut? Seberapa murahkah itu? Selain teknologinya masih dalam kriteria “RAHASIA”, konon pemerintah AS “baru” mengeluarkan dana Admitted total US$ 766,839,000.00. Dana sebanyak itu jika diberikan kepada IPTN bisa untuk membuat puluhan MPA (Maritime Patrol Aircraft). (Ars)