
Oleh: Taufik Hidayat, Wasekum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat dan Sekretaris Lembaga Da’wah Parmusi
Bicaranya lantang dengan humor segar menghiasi tuturnya. Analogi nya pun membumi mencabar nalar masyarakat awam. Pertanyaan ringan sekelas urusan berwudhu hingga pertanyaan berat sekelas filsafat Islam dijawabnya dengan memberikan opsi variatif sehingga ummat tak jumud. Ceramahnya bagaikan tamu yang datang bercakap cakap di depan teras rumah kita sehingga tuan rumah melanjutkan dengan hidangan teh atau kopi. Beliau lah Ustad Abdul Shomad, Lc, MA, (AS) seorang da’i muda yang sedang naik daun di media sosial. Channel Youtube yang memposting ceramahnya panen hit rate hingga ratusan ribu atau jutaan pemirsa. Tak ada gegap gempita media mainstream yang meliputnya, tetapi pesan pesan da’wahnya mengalahkan orisinalitas para da’i kondang yang dipoles oleh komodifikasi media massa.
Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi da’wah maka gaya komunikasi AS ini menggunakan dua pendekatan sekaligus yaitu pendekatan interpersonal yang dibungkus melalui komunikasi publik. Pesan pesan da’wahnya sebenarnya punya segmen interpersonal tetapi secara apik disampaikan oleh AS kepada public dengan retorika “orang sebrang”.
Yang menjadi kekuatan pesan da’wah AS adalah keinginan beliau mempersatukan ummat walau dengan latar belakang fikroh yang berbeda dalam memahami Islam, kerapkali dia berusaha menerangkan ke jamaah pengajian bahwa perbedaan dalam menjalankan fiqih ibadah tidak berarti menghilangkan rasa persaudaraan di antara sesama Muslim. Walaupun ada beberapa kelompok Islam yang tidak setuju dengan cara seperti ini yang dianggap mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil tetapi dari sisi urgensi persatuan ummat yang masuk tahap darurat di Indonesia maka cara akomodatif seperti ini patut diapresiasi walau tidak memuaskan semua pihak.
Justru sosok da’i seperti AS ini patut diduplikasi dengan gaya merakyat dan jauh dari media mainstream sehingga terjaga independensinya dalam menyampaikan segala problematika ummat tanpa perlu menjaga citra selayaknya para da’i selebriti media massa. Menjamurnya da’i seperti AS ini tentu menjadikan oase di tengah isu persatuan ummat Islam di Indonesia yang sedang mendapat tantangan belakangan ini.
Seperti kita ketahui, kelompok kelompok Islam di Indonesia kerapkali sebelumnya dipecah belah melalui isu isu fiqih Ibadah yang furu’iyyah. Kita tentu terbiasa mendengar tentang Tesis Clifford Gerts dalam bukunya The Religion of Java (1960), tentang agama di Indonesia, khususnya di Jawa. Penelitian yang dia lakukan selama beberapa tahun tentu bukan karya yang sembarangan terlepas pro kontra yang terjadi. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan, Santri dan Priyayi. Trikotomi pandangan Gertz tentang masyarakat Islam di Indonesia khususnya Jawa menjadi pekerjaan rumah ummat Islam semenjak zaman penjajahan dimana antara struktur sosial tersebut selalu dibenturkan untuk tujuan melemahkan persatuan ummat.
Tentunya da’i sekaliber Ustad Abdul Shomad yang berpendidikan strata dua mafhum benar tentang trikotomi ini yang menjadi basis pergesekan antar ummat yang terus dipelihara, dengan kepiawaian beliau dalam merakit dan merekat persatuan ummat dengan tidak mempertajam perbedaan furu’iyyah tapi tetap tegas dalam urusan Aqidah menjadi kontribusi solutif untuk memperkuat persatuan ummat. Momentum 212 menjadikan ummat sadar bahwa agenda persatuan ummat menjadi skala prioritas untuk meraih kejayaan ummat Islam yang selama ini dianggap hanya sebagai pendorong “mobil mogok” , yang ditinggal ketika mobil sudah jalan. Dukungan kaum abangan dan priyayi ke kaum santri dalam aksi 212, jika meminjam istilah Geertz, tentunya membuat tesis Geertz semakin tidak relevan dengan semakin kaburnya dikotomi antar struktur sosial tersebut.
Kaum Abangan yang dianggap tidak acuh terhadap agama mulai menyadari bahwa kehidupan yang tanpa agama akan menjadikan kehidupan ini “kering” sehingga banyak dari mereka mulai mencari cari refferensi yang menyejukkan untuk mengobati kegelisahaan hidup mereka, dengan bantuan media sosial maka proses pencarian refferensi tersebut menemukan momentumnya apalagi jika referensi perdana yang terekspose adalah pesan pesan da’wah seperti yang dibawakan AS, maka kaum Abangan ini akan mendapatkan pesan da’wah yang substantif tapi tidak membuat ummat bingung terutama bagi masyarakat awam yang kontras dengan adanya pihak yang sering membenturkan antar fiqih Ibadah yang berkembang di Indonesia. Maka ketika kaum abangan ini semakin banyak yang “hijrah” tentunya membutuhkan pembinaan yang berkonsekuensi terhadap kebutuhan da’i da’i segar sekaliber AS.
Begitu pula dengan kaum priyayi, akses/fasilitas politik dan ekonomi menjadikan kaum ini mulai sadar bahwa jabatan dan kekayaan adalah amanah yang Allah berikan untuk membela agama Allah S.W.T. Menghadirkan massa dalam jumlah besar pada momentum 212 telah membuka mata masyarakat Indonesia bahwa ternyata kaum priyayi dapat menjadi pendukung da’wah yang cukup signifikan, penyewaan beribu ribu bus, pembelian ribuan tiket pesawat mengangkut massa bela Islam dari provinsi yang jauh dari Jakarta dan logistik makanan yang melimpah ruah pada saat aksi menjadi bukti bagaimana kaum priyayi telah berubah, mereka sekarang menuju menjadi kelompok pendukung dakwah yang meminjam istilah Allahyarham Mohammad Natsir bahwa mereka ini juga dapat disebut sebagai da’i dalam arti yang luas.
Sedangkan kaum santri yang tadinya kerap didikotomikan antara santri tradisional dan santri modernis mulai menyadari inefektifitas dan inefesiensi jika terus melakukan rivalitas negatif dalam medan da’wah. Oleh sebab itu, keinginan untuk terus mengerjakan kegiatan dakwah bersama dalam rangka merubah mindset ummat dengan meninggalkan bendera masing masing semakin menjadi opsi prioritas untuk menuju kejayaan ummat Islam di Indonesia.
AS tentunya hanya sekadar simbolisasi da’i yang dibutuhkan ummat saat ini, beliau muncul dalam momentum yang tepat ditengah kerinduan ummat akan persatuan dan semakin intensifnya pihak pihak yang ingin membenturkan antar kelompok ummat untuk melemahkan persatuan dan kemandirian ummat. Karakter da’i yang berusaha menyatukan ummat dengan mensimplifikasikan tema tema furu’iyyah tetapi tetap istiqomah mempertahankan aqidah Ahlussunnah Waljama’ah dan kemandirian ummat merupakan wasilah menuju kejayaan ummat Islam di Indonesia.
Oleh sebab itu, kaedah fiqh tentang “Ma Laa Yatimmul Wajib Illa Bihii Fa Huwa Wajib” (Perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga wajib) menjadi sebuah kaedah yang nampaknya perlu diaplikasikan jika kewajiban menjayakan Islam di Indonesia memerlukan para da’i yang punya karakter pemersatu seperti AS. Kita harus mulai mengalahkan kepentingan ego pribadi dan kelompok kita untuk menuju persatuan ummat sebagai salah satu prasyarat menuju kejayaan ummat di Indonesia. Seperti pesan Allahyarham mohammad natsir dalam salah satu bukunya di Kapita Selekta dengan pesan “Persatuan adalah soal qalbu dan wijhah (tujuan hidup) yang diniatkan untuk dicapai dengan kebersihan amal dan keikhlasan hati, tapi adakah diantara kita yang lila legawa alias ikhlas lillahi ta’ala menenggelamkan eksistensi diri dan kelompoknya demi tegaknya ukhuwah”.
*) Penulis adalah Wasekum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Pusat dan Sekretaris Lembaga Da’wah Parmusi.