
Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986
Salah satu urusan pemerintahan yang bermanfaat langsung bagi rakyat DKI Jakarta yakni koperasi dan usaha kecil dan nenengah (UKM). Dua bentuk usaha ekonomi ini acap kali disebut sebagai bagian ekonomi rakyat. Kadang kala ada pengamat ekonomi menyebut sebagai ekonomi pribumi.
Sebagian besar usaha rakyat DKI berada di dalam bentuk ekonomi rakyat atau ekonomi pribumi ini. Dibandingkan usaha atas, jumlah rakyat DKI terserap di ekonomi menengah bawah ini dominan. Karena itu, sangat penting Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI bekerja untuk ekonomi rakyat atau ekonomi pribumi ini. Tidak hanya slogan “kerja…kerja…kerja nyata untuk rakyat”, tetapi dalam realitas objektif lebih bekerja untuk usaha atas (perusahaan besar) seperti pengembang, dan lain-lain..
Pertanyaannya: apakah Pemprov DKI Jakarta 2013-2017 bekerja untuk ekonomi rakyat dimaksud? Tidak!!!
Dari parameter penyerapan anggaran alokasi APBD bidang koperasi dan UKM tiap tahun dapat membuktikan jawaban: tidak.
Pada tahun 2013 Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Gubernur Jokowi merencanakan anggaran alokasi APBD untuk Koperasi dan UKM sebesar Rp. 499,9 miliar. Namun, total penyerapan yang mampu dilaksanakan Jokowi hanya Rp. 186,8 miliar atau hanya 37,31%. Angka 37% ini sungguh sangat…sangat rendah dan buruk. Kondisi kinerja Pemprov DKI dinilai dari penyerapan anggaran ini tergolong sangat…sangat buruk. Angka ini sekaligus membuktikan kegagalan dan sangat kurang perhatian Pemprov DKI terhadap urusan koperasi dan UKM.
Pada tahun 2014, anggaran alokasi APBD urusan koperasi dan UKM menurun drastis hingga lebih Rp. 100 miliar, yakni Rp.355,6 miliar. Adapun total penyerapan target capaian ini hanya Rp.146 miliar atau 41, 07%. Angka ini sungguh menunjukkan Pemprov DKI Jakarta 2014 gagal berat mencapai target alokasi APBD. Kondisi kinerja Pemprov DKI di bawah komando Gubernur Ahok adalah sangat buruk.
Rencana alokasi APBD 2015 urusan Koperasi dan UKM juga terus menurun sekitar Rp.100 miliar yakni Rp. 266,7 miliar. Total penyerapan hanya Rp. 181, 3 atau 67 %, lebih tinggi ketimbang tahun 2014 (41,07 %). Hal ini menunjukkan Ahok gagal mencapai target alokasi APBD. Kondisi kinerja Pemprov DKI tergolong lebih buruk.
Rata-rata kemampuan Pemprov DKI menyerap anggaran alokasi APBD bidang koperasi dan UKM yakni sekitar 40%, dan tergolong sangat buru”. Baik Jokowi maupun Ahok keduanya gagal meraih target capaian. Karena itu, gubernur baru DKI mendatang jangan gagal seperti Jokowi dan Ahok.
Sesungguhnya kepedulian Pemprov DKI 2013-2017 terhadap ekonomi rakyat ini sungguh sangat rendah. Ada sejumlah fakta dapat dijadikan bukti atas asumsi ini. Salah satunya adalah penggusuran pedagang kaki lima (PKL). Ada semacam ingkar janji kampanye.
Saat Pilkada DKI 2012, Jokowi berjanji tidak ada lagi penggusuran PKL. Faktanya? Penggusuran PKL berjalan terus. Bahkan, penggusuran dilakukan Ahok tanpa disertai ganti rugi memadai. Ada penggusuran PKL yang tidak diberikan ganti rugi, baik uang maupun bangunan. PKL mendapat ganti relokasi. Ttempat relokasi tidak sempurna sehingga membuat pedagang bangkrut. Alih-alih memperbaiki, Ahok malah mengancam akan menendang PKL yang mengeluh.
Gubernur baru DKI jangan mengikuti praktik penggusuran PKL oleh Ahok. Gubernur baru harus memiliki cita-cita untuk mengembangkan PKL dalam perspektif ekonomi pribumi. Yakni ekonomi terbebas dari tekanan dan pengisapan kelas kapitalis kuat lokal, nasional dan internasional. (***)