Jumat, 26 April 24

Umat Islam Diimbau Semakin Gencar Tuntut Ahok Dipenjara

Umat Islam Diimbau Semakin Gencar Tuntut Ahok Dipenjara
* Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat menjalani sidang perdana dugaan penistaan agama di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (13/12/2016). (Foto: Pool)

Jakarta, Obsessionnews.com – Duet Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang diusung PDI-P dan Partai Gerindra secara mengejutkan mengalahkan petahana Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat DKI Jakarta, Nachrowi Ramli, dalam Pilkada DKI  2012. Dengan demikian Jokowi-Ahok memimpin DKI periode 2012-2017.

Jokowi yang beragama Islam dan kader PDI-P adalah mantan Wali Kota Solo. Sedangkan Ahok yang beragama Kristen Protestan merupakan kader Gerindra. Sebelumnya ia kader Partai Golkar dan anggota DPR. Sebelum terpilih sebagai anggota DPR Ahok pernah menjadi Bupati Belitung Timur.

Belum habis jabatannya sebagai gubernur, Jokowi maju sebagai calon presiden (capres) pada Pilpres 2014. Ia menggandeng mantan wakil presiden yang juga eks Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla (JK). Jokowi-JK diusung oleh PDI-P, Nasdem, PKB, dan Hanura yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Di Pilpres tersebut Jokowi-JK bersaing dengan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diusung Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri dari Gerindra, PAN, PKS, dan PPP. Dan pemenangnya adalah Jokowi-JK!

Terpilihnya Jokowi sebagai Presiden ke-7 RI membuka jalan bagi Ahok untuk menduduki kursi Gubernur DKI. Semula Ahok ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt) gubernur.

Jalan Ahok untuk menduduki kursi DKI-1 tidaklah mudah. Muncul gerakan menentang gubernur nonmuslim dari sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas). Pada 4 September 2014 sekitar 20.000 orang dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berunjuk rasa menolak Ahok menjadi gubernur. Seminggu kemudian, tepatnya pada 10 September, giliran Front Pembela Islam (FPI) yang berdemonstrasi dan diikuti sekitar 52.000 orang. FPI mengeluarkan risalah Istiqlal yang isinya haram memilih gubernur non muslim. Selain HTI dan FPI yang juga menolak Ahok adalah antara lain Forum Betawi Rempug (FBR).

Namun, Ahok tidak terbendung. Pada Rabu, 19 November 2014 Ahok dilantik sebagai Gubernur DKI oleh Presiden Jokowi di Istana Negara.

Dalam memimpin DKI Ahok dikenal sebagai tukang gusur. Ia menggusur rumah-rumah warga dan menimbulkan aksi unjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat.

Tidak Konsisten

Saat menjadi Plt Gubernur DKI Ahok mengambil keputusan besar, yakni keluar dari Gerindra. Pasalnya, ia tidak sejalan dengan partainya terkait Pilkada serentak 2015. Ahok menginginkan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, sedangkan Gerindra berkeinginan kepala daerah dipilih oleh DPRD.

Setelah angkat kaki dari Gerindra, Ahok tidak menjadi kader partai apapun. Para pendukungnya yang tergabung dalam Teman Ahok menginginkan Ahok maju pada Pilkada 2017 lewat jalur independen atau perseorangan. Sejak pertengahan 2015 Teman Ahok bergerilya mengumpulkan sejuta KTP sebagai syarat Ahok maju melalui jalur independen. Semula Ahok kurang peduli pada manuver Teman Ahok.

Namun, ketika usaha penggalangan KTP melebihi target sejuta, barulah Ahok memutuskan akan maju lewat jalur independen pada Maret 2016. Setelah memutuskan sikapnya tersebut ia mendapat dukungan dari Nasdem, Hanura, dan Golkar. Ketiga parpol ini juga mendukung Ahok memilih calon wakil gubernur (cawagub).

Meski mengantongi dukungan dari Teman Ahok, Nasdem, Hanura, dan Golkar, Ahok rupanya tidak pede maju lewat jalur independen. Ia kemudian berubah pikiran. Pada 27 Juli 2016 Ahok mengumumkan akan maju lewat jalur partai. Dua bulan berikutnya, yakni Senin (20/9/2016), PDI-P secara resmi mengusung Ahok sebagai cagub. Ia dipasangkan dengan kader PDI-P yang juga Wakil Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat. Dengan demikian Ahok-Djarot diusung oleh empat parpol, yakni PDI-P, Nasdem, Hanura, dan Golkar.

Ketidak konsisten Ahok itu menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat.

Menghina Al-Quran dan Ulama

Sebelum cuti dari jabatannya sebagai gubernur, Ahok melakukan kampanye terselubung. Dalam kapasitasnya sebagai gubernur ia menghadiri sebuah acara di Kepulauan Seribu, Selasa (27/9/2016). Dalam acara itu ia menyinggung soal Al Quran surat Al Maidah ayat 51, antara lain menyatakan, “… Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya..”

Aksi Bela Islam 3 yang diikuti lebih dari 7,5 juta orang di Jakarta, Jumat (2/12/2016). (Foto: Edwin B/Obsessionnews.com)

Video di Kepulauan Seribu yang diunggah di youtube tersebut membuat umat Islam tersinggung, dan melaporkan Ahok ke polisi. Sementara itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dalam pernyataan sikap keagamaan yang ditandatangani Ketua Umum Ma’ruf Amin dan Sekretaris Jenderal Anwar Abbas pada Selasa (11/10), menyebut perkataan Ahok dikategorikan menghina Al-Quran dan menghina ulama yang berkonsekuensi hukum.

Sehari sebelumnya Ahok meminta maaf kepada umat Islam. “Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam atau apa,” kata Ahok di Balai Kota DKI, Senin (10/10).

Meski Ahok telah meminta maaf, umat Islam tetap menuntut ia harus diproses secara hukum. Ucapan Ahok di Kepulauan Seribu menimbulkan gelombang protes di berbagai daerah di Indonesia. Di Jakarta, misalnya, berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar unjuk rasa damai yang berlabel Aksi Bela Islam (ABI) I di Balai Kota DKI dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Jumat (14/10). Mereka menuntut polisi menangkap Ahok dan membuinya.

Lambannya polisi menangani kasus Ahok membuat GNPF MUI kembali menggelar demo lagi, yakni ABI II, di depan Istana Presiden, Jakarta, pada Jumat (4/11). Dipilihnya Istana Presiden sebagai objek demo yang terkenal dengan sebutan demo 411, karena massa menuding Presiden Jokowi melindungi Ahok.

Peserta ABI II jauh lebih banyak daripada ABI I. ABI II  yang diikuti lebih dari 2,3 juta orang dari berbagai daerah tersebut merupakan demo terbesar dalam sejarah Indonesia pasca reformasi 1998. Jumlah massa demo 411 itu di luar prediksi aparat keamanan.

Setelah demo besar-besaran itu barulah polisi terlecut menggarap kasus Ahok. Hasilnya, Bareskrim Polri menetapkan Ahok sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama pada Rabu (16/11), sehari setelah digelar perkara. Ahok juga dicekal ke luar negeri. Namun, anehnya, Ahok itu tidak ditahan.

Selanjutnya polisi melimpahkan kasus Ahok ke Kejaksaan Agung (Kejagung).   Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejagung, Noor Rachmad, di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (30/11) mengatakan, perkara Ahok dinyatakan P21. P21 berarti administrasi penanganan perkara oleh jajaran Pidana Umum Kejaksaan menyatakan berkas perkara hasil penyidikan Bareskrim Polri telah memenuhi syarat untuk dibawa ke pengadilan secara formal dan material.

Pada Kamis (1/12) Kejagung memanggil Ahok. Umat Islam berharap Kejagung menahan Gubernur non aktif DKI itu. Tetapi, harapan tinggal harapan. Ahok ternyata tidak ditahan! Hari itu juga Kejagung melimpahkan berkas perkara kasus Ahok ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Tindakan aparat penegak hukum yang tidak menahan Ahok membuat luka umat Islam semakin menganga. Oleh karena itu GNPF MUI kembali beraksi dalam ABI jilid III pada Jumat (2/12) . Dan yang mengejutkan aksi super damai 212 diikuti lebih dari 7,5 juta orang! Aksi yang dikemas dalam doa dan sholat Jumat di lapangan Monas itu dihadiri Presiden Jokowi, Wapres JK, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Ahok menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menempati eks gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, pada Selasa (13/12) dan Selasa (20/12). Sidang akan dilanjutkan pada Selasa (27/12).

Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Usamah Hisyam memimpin unjuk rasa menuntut Ahok dipenjara di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa (13/12/2016). (Foto: Edwin B/Obsessionnews.com).

Massa dari sejumlah ormas Islam, termasuk Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), menggelar unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Selasa (13/12) dan Selasa (27/12), menuntut Ahok dipenjara. Bahkan Ketua Umum Pengurus Pusat Parmusi Usamah Hisyam turun langsung memimpin demonstrasi pada Selasa (13/12).

Langkah Berani Tito Karnavian

Sebelum kasus penistaan agama mencuat, berbagai elemen masyarakat berunjuk rasa di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menuntut KPK menangkap Ahok dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras dan reklamasi Teluk Jakarta. Tetapi, usaha itu sia-sia.

Guru Besar Universitas Jayabaya Prof Muchtar Effendi Harahap (tengah). (Foto: Edwin B/Obsessionnews.com)

Berbeda dengan KPK, Polri justru berani menjadikan Ahok sebagai tersangka dugaan penistaan agama. Langkah Kapolri Jenderal Tito Karnavian tersebut mendapat apreasiasi dari Guru Besar Universitas Jayabaya Prof Muchtar Effendi Harahap.

“Tito sudah berkontribusi dalam kasus Ahok, yakni menjadikan Ahok sebagai tersangka. Ini patut diapreasi,” kata Muchtar dalam acara dialog publik “Mengawal Kasus Hukum Penista Agama Agar Dipenjarakan” yang diselenggarakan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) di Jakarta, Senin (19/12).

Muchtar yang juga Ketua Yayasan Network for South East Asian Studies (NSEAS) mendorong Parmusi terus mengawal persidangan Ahok. Selain itu ia juga mengimbau agar umat Islam di seluruh Indonesia semakin gencar menuntut Ahok dipenjara. (arh)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.