Senin, 14 Oktober 24

Tuntutan 10 Tahun yang Ringan Bagi Ratu Atut

Tuntutan 10 Tahun yang Ringan Bagi Ratu Atut

Jakarta – Jaksa Pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Gubernur Banten nonaktif Ratu Atut Chosiyah dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda 250 juta subsider 5 bulan kurungan. Jaksa menilai Atut telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

“Menuntut agar majelis hakim pengadilan tindak pidana korusi yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, menyatakan terdakwa Ratu Atut Chosiyah telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” kata Jaksa Edy Hartoyo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (11/8/2014).

Selain itu, Jaksa juga menuntut terdakwa untuk dijatuhkan pidana tambahan, yakni pencabutan hak-hak tertentu, yakni dipilih dan memilih dalam jabatan publik. “Terdakwa sebagai Gubernur Banten sebagai penyelenggara negara pemangku jabatan publik yang dipilih oleh rakyat melalui proses demokrasi namun dalam perjalanannya telah mencederai nilai-nilai demokrasi itu sendiri,” kata Jaksa.

Tuntutan 10 tahun tersebut dianggap ringan oleh ICW. Menurut ICW tuntutan super maksimal yang pantas dikenakan pada Ratu Atut. Setidaknya ada lima alasan yang bisa menjadi pertimbangan Jaksa dan juga hakim.

Pertama, Ratu Atut saat itu sebagai Gubernur Banten seharusnya dapat menjadi contoh yang baik bagi warga Banten. Namun yang terjadi sebaliknya menjadi contoh yang buruk bagi warga banten dan mencoreng nama baik Pemerintah Provinsi Banten.

Kedua, tindakan Ratu Atut tidak sejalan dengan program pemerintah khususnya program pemberantasan korupsi. Alih-alih ikut terlibat dalam memberantas korupsi yang dilakukan oleh Ratu Atut justru terlibat dalam perkara korupsi.

Ketiga, melanggar komitmen antikorupsi yang pernah ditandatangani dan didorongnya sendiri. “Ratu Atut adalah salah satu dari 22 Kepala Dearah bersama KPK pernah menandatangani Deklarasi Antikorupsi pada 9 Desember 2008 yang salah satu intinya menyatakan tidak akan melakukan korupsi,” kata Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho.

Keempat, suap yang dilakukan Ratu Atut kepada Akil Mochtar bukan sekedar suap kepada pejabat negara biasa. Akil yang kala itu adalah seorang hakim MK punya peran besar dalam proses penegakan hukum serta upaya mengangkat citra penegak hukum di mata masyarakat. Karenanya perbuatan Ratu Atut juga berimbas pada runtuhnya kepercayaan masyarakat pada penegakan hukum dan nilai negara hukum.

Kelima, merusak proses demokrasi khususnya di Lebak Banten. Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu proses membangun demokrasi di negeri ini. “Tindakan Ratu Atut menyuap Akil Mochtar proses sengketa Pilkada pada akhirnya memberikan dampak buruk rusaknya demokrasi yang dibangun khususnya didaerah Banten,” tutur Emerson.

Dengan hukuman yang maksimal untuk Ratu Atut, ICW berharap dapat memotong mata rantai atau bahkan mengakhiri dinasti keluarga dan kolega Ratu Atut di wilayah Banten. Karena sudah menjadi rahasia umum selama ini keluarga maupun kolega Ratu Atut menguasai hampir sebagian jabatan kepala daerah maupun posisi penting yang ada di wilayah Banten.

Politik Dinasti yang dibangun tidak didasarkan pada semangat demokrasi dan lebih kepada mempertahankan maupun memperluas kekuasaan dinasti keluarga, menguntungkan segelintir orang dan menyengsarakan rakyat di wilayah Banten. “Selain itu tuntutan maksimal diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan peringatan bagi para kepala daerah lain untuk tidak melakukan praktek korupsi serupa yang dilakukan oleh Ratu Atut,” tandasnya.

Seperti diketahui, Ratu Atut Chosiyah didakwa menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, M Akil Mochtar, sebesar Rp1 miliar. Suap tersebut terkait penanganan gugatan hasil penghitungan suara Pilkada Lebak, Banten, di MK. Atut didakwa melakukan suap bersama-sama Komisaris Utama PT Bali Pasific Pragama (BPP), yang juga adik kandungnya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.

Menurut Jaksa, suap tersebut bertujuan agar M Akil Mochtar selaku ketua panel hakim mengabulkan permohonan perkara konstitusi pada 12 September 2013 yang diajukan Amir Hamzah-Kasmin sebagai pasangan calon bupati/wabup Kabupaten Lebak, Banten. Antara lain memohon agar MK membatalkan putusan KPU Kabupaten Lebak tanggal 8 September 2013 tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara pada Pilkada Lebak.

Sidang lanjutan Ratu Atut akan kembali digelar pada Kamis pekan depan, dengan agenda pembacaan pembelaan dari terdakwa dan tim penasehat hukumnya. Sedangkan sidang vonis dijadwalkan akan berlangsung pada 28 Agustus 2014 mendatang. (Has)

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.