Kamis, 28 Maret 24

Breaking News
  • No items

Tudingan Makar; Terserah Dia Ajalah…

Tudingan Makar; Terserah Dia Ajalah…
* Aksi Bela Islam 3 menuntut Ahok dipenjara di Jakarta, Jumat (2/12/2016).

Oleh: Edward Marthens *)

Teror makar yang ditebar Kapolri Tito Karnavian menjelang aksi bela Islam jilid 3, ternyata serius. Maksud saya bukan makarnya yang serius, tapi tudingan makar itu sendiri yang teramat sangat serius. Buktinya, polisi langsung menangkap 11 orang yang dituduh akan makar pada pagi hari menjelang aksi super damai yang dikenal dengan 211 tersebut.

 

Polisi memang tidak tanggung-tanggung. Kapolda Metro Jaya M Iriawan memerintahkan anak  buahnya mencokok sejumlah nama besar. Ada Kivlan Zein, Sri Bintang Pamungkas, Ratna Sarumpaet, dan lainnya. Ada juga kakak beradik Jamran dan Rijal. Bahkan adik kandung Megawati yang sering disebut anak ideologis Proklamator RI Soekarno, Rachmawati, pun ikut diciduk.

Seperti belum dianggap cukup, Kamis dini hari lalu aktivis senior Muhammad Hatta Taliwang pun ditangkap. Tuduhannya, MHT, begitu dia biasa disapa rekan-rekannya, melanggar UU ITE dan dianggap terlibat rencana makar karena ikut rapat-rapat dengan sejumlah tokoh yang dicurigai.

Beberapa kalangan menyebut langkah polisi terlalu berlebihan. Anak-anak muda sekarang menyebutnya parno, kependekan dari paranoid. Ya, Tito dan jajarannya sejak menangani kasus si Ahok yang menista agama memang jadi parno. Minimal panik.

Namanya juga orang panik,  maka ucapan dan tindakannya pun jadi ngawur. Ngerinya lagi, kali ini yang ngawur adalah Kapolri, petinggi negeri yang punya pasukan dan wewenang untuk melakukan apa saja yang dianggapnya perlu. Maka, jadilah penangkapan demi penangkapan yang berlebihan dan ngawur itu.

Betapa ngawur dan parnonya polisi dapat disaksikan pada kasus penangkapan Sri Bintang. ‘Kesalahan’ SBP, begitu pria gaek berusia 71 tahun tersebut disapa,  adalah menulis surat pernyataan yang ditujukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dia minta agar  MPR menggelar Sidang Istimewa untuk kembali ke UUD 45 yang asli sebelum beberapa kali diamandemen secara ugal-ugalan. SBP juga minta MPR mencabut mandat Presiden dan Wakil Presiden serta mengangkat Ketua Presidium.

Serunya, Bintang sendiri yang mengantar langsung surat tersebut ke DPR/MPR dan Mabes TNI pada 1 Desember 2016. Eh, keesokan harinya dia langsung dijemput di rumanya. Dalam video pendek yang menjadi viral di medsos, Bintang bahkan masih mengenakan sarung saat ditangkap. Mungkin dia baru saja selesai shalat subuh.

Pertanyaannya, mungkinkah tuduhan makar hanya didasarkan pada selembar surat? Terlebih lagi, surat yang ditulis itu ditujukan ke lembaga resmi dan terhormat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu DPR/MPR dan Mabes TNI. Isi surat itu pun sangat konstitusional. Baik implisit apalagi eksplisit, tidak ada nuansa pemberontakan di surat itu.

Lain halnya kalau Bintang menulis surat kepada milisi mana, atau negara mana dan minta bantuan dana, pasukan, atau senjata dan lainnya untuk menggulingkan pemerintah. Nah, kalau yang ini baru layak disebut makar. Bagaimana mungkin selembar surat yang dikirimkan ke DPR/MPR dan Mabes TNI dengan konten yang sangat konstitusional seperti itu disebut makar?  Polisi benar-benar parno dan ngawur!

Blunder

Sebelum aksi 212 yang diikuti jutaan (banyak pihak menyebut jumlahnya mencapai 7,4 juta orang), saat ditanya tentang makar, Tito mengatakan silakan lihat di Google. Pernyataan ini keruan saja memantik cibiran dan kecaman. Bagaimana mungkin seorang Kapolri menebar teror berupa tudingan makar hanya berdasar informasi dari Google?  Tapi untuk soal ini, teman saya yang aktivis dengan santai mengatakan, “Terserah dia aja lah. Kan dia sekarang yang berkuasa…”

Jadi, apa sebetulnya makar? Secara sederhana, Menteri Pertahanan Rymizard Rycudu mengatakan,  kalau membawa senjata itu makar. Tapi kalau membawa sajadah dan al Quran itu bukan makar. Dia juga menyatakan tidak mendapat info, termasuk dari intelejennya, akan adanya makar pada aksi 212.

Namun bagai ingin menepis pendapat Menhan dan meyakinkan rakyat Indonesia, polisi mengatakan pada pukul 14.00 usai shalat Jumat, Bintang dan tokoh-tokoh yang diciduk itu akan membajak massa aksi 212 dan digiring untuk menduduki MPR. Dari sinilah tuntutan Sidang Istimewa MPR bakal disuarakan.

Luar biasa… Maksud saya, luar biasa imajinasi polisi. Bintang dan mereka yang diciduk itu memang tokoh (nasional). Mereka sudah lama menyerukan keharusan kembali ke UUD 45 yang asli. Tapi, mohon maaf, dengan segala hormat saya ingin mengatakan, Bintang dan kawan-kawan itu relatif tidak dikenal oleh rakyat Indonesia, apalagi yang datang dari berbagai penjuru dan pelosok Indonesia. Bagaimana mungkin jutaan massa aksi bela Islam 3 akan dengan mudah tunduk kepada kemauan SBP dan rela mengikutinya untuk menduduki MPR. Hello…?

Jangankan SBP dan kawan-kawannya, andaikata komando menduduki DPR/MPR dan menuntut SI itu datang dari pimpinan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI pun, rasanya (sekali lagi; rasanya) belum tentu (semua) massa aksi akan patuh. Sebab, mereka datang dari penjuru dan pelosok Indonesia dengan satu niat, tangkap dan penjarakan Ahok si penista agama. Energi al Maidah ayat 51 yang dinistakan itulah yang menggerakkan hati dan langkah mereka ke Jakarta. Sedangkan urusan SI MPR, itu sepenuhnya perkara politik. Sampai di sini, belum tentu mereka punya pandangan dan pendapat senada jika sudah masuk ranah politik.

Jadi, sekali lagi, apa sejatinya makar? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menulis makar adalah akal busuk; tipu muslihat. Makar juga berarti perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya. Makna makar lainnya perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

Kalau berpegang KBBI, maka tidak sebiji pun makna makar yang cocok dilekatkan pada sejumlah tokoh yang diciduk polisi. Tidak ada akal busuk dan tipu muslihat mereka, kok. Bagaimana mungkin bertipu muslihat, lha wong suratnya dikirim ke lembaga/instansi resmi negara?

Mereka juga sama sekali tidak bermaksud menyerang apalagi membunuh orang. Siapa yang mau dibunuh? Presiden Jokowi? Bagaimana caranya? Lha wong setiap saat Presiden dikawal Paspampres yang kekar dan gagah perkasa itu?  Bisa apa Rachmawati, Bintang, Hatta Taliwang dan kawan-kawannya itu? Jangankan membunuhi, untuk mendekati Jokowi dalam radius beberapa meter saja belum tentu mereka bisa.

Lalu, kalau tuduhannya akan menjatuhkan pemerintah yang sah, lah kan kata polisi mereka akan mendatangi DPR/MPR, kok. Bukankah gedung MPR/DPR itu rumah rakyat? Gedung-gedung megah di area bergengsi yang dibangun dengan menggunakan uang rakyat. Setiap rakyat boleh saja bertandang ke sana.

Mereka tidak bergerilya mengganggu ketentraman dan keamanan publik. Mereka tidak melakukan teror yang menebar ketakutan di tengah-tengah publik. Para tokoh itu juga tidak melakukan sabotase fasilitas publik yang menimbulkan korban luka dan meninggal. Mereka justru sangat konstitusional. Mereka minta MPR menggelar Sidang  Istimewa yang tentang ini juga diatur dalam UUD 45, dalam konstitusi NKRI.

Jadi? Saran saya, Tito berhentilah parno dan berimajinasi berlebihan. Keparnoan dan imajinasi ngawur Kapolri telah turun ke aparat di bawahnya sebagai perintah. Sesuai amanat konstitusi, Presiden memang harus dijaga kewibawaan, kehormatan, dan keselamatannya. Tapi, apa yang telah Tito lakukan jelas sudah berlebihan, sangat berlebihan. Bukan mustahil tindakan polisi justru bakal memantik rasa tidak suka rakyat terhadap pemerintah sekarang secara lebih massif. Itu namanya blunder!

Jenderal, bukan begitu caranya melindungi Presiden… (*)

Jakarta, 9 Desember 2016.

*) Pekerja sosial, tinggal di Jakarta

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.