Rabu, 24 April 24

Tragedi Kanjuruhan: Pintu 13 dan 14 seperti Kuburan Massal, Banyak Anak Meninggal

Tragedi Kanjuruhan: Pintu 13 dan 14 seperti Kuburan Massal, Banyak Anak Meninggal
* Petugas medis rapikan jasad-jasad korban tewas tragedi Kanjuruhan di RS Saiful Anwar, Malang. (AP)

Tragedi Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ternyata menyisakan kisah pilu di Pintu 13 dan 14, seperti kuburan massal, banyak anak kecil, banyak perempuan meninggal.

Di telinga Dadang Indarto, 40 tahun, warga Kelurahan Tembalangan Kota Malang, suara minta tolong selalu terngiang.

Suara itu berasal dari para korban tragedi di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, salah satu insiden stadion paling mematikan di dunia dalam beberapa dekade terakhir.

Setidaknya 125 orang meninggal, lebih 320 lainnya luka-luka.

“Terdengar jeritan, tolong, tolong. Pandangan mata saya seolah-olah korban di depan mata. Baru semalam bisa tidur,” kata Dadang kepada wartawan di Malang, Eko Widianto, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Pria yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kota Batu ini menuturkan kisah horor dimulai tiga menit usai peluit panjang wasit, tanda pertandingan usai

Ia bergegas keluar tribun, keluar melalui Pintu 13. “Pintu ditutup, saya balik ke tribun,” katanya.

Tiba-tiba terdengar tembakan gas air mata. Tembakan gas air mata kedua diarahkan polisi ke tribun penonton. Sedangkan tembakan ketiga mengenai tribun tempat Dadang berdiri.

“Saya tengkurap. Menutupi wajah dengan kaos. Baru pertama kali rasakan gas air mata yang menyengat,” katanya.

Napas mulai sesak dan kulit terasa perih. Lantas ia melompat pagar tribun menuju Pintu 14. Ternyata ia menemukan banyak penonton bergeletakan. Temannya, Dona, turut tergeletak. Dia sudah tak bernyawa.

“Kepala bocor, dia meninggal. Saya gendong ke tempat yang aman,” katanya.

Lantas ia mencari bantuan polisi, namun tak ada satu pun aparat yang membantu korban.

Kemudian ia berusaha menolong sejumlah penonton yang tergeletak. Para korban dibawa ke ruangan di dalam dekat tribun VIP.

Ternyata di dalam, puluhan jasad suporter berjejer dekat musala.

Saat sedang menolong korban, ia menerima telepon dari kakaknya. Ia mendapat kabar bahwa keponakannya bernama Vera Puspita Ayu, 20 tahun, meninggal.

Dadang tak menyangka, saat membantu orang lain ternyata keponakannya tengah berjuang melawan maut. Vera berdesakan di antara penonton di Stadion Kanjuruhan.

“Meninggal saat perjalanan ke rumah sakit,” katanya.

Wajah almarhumah Vera terlihat menghitam, diduga akibat terpapar gas air mata. Kesedihan tak bisa disembunyikan dari wajah Dadang, ia terpukul karena keponakannya meninggal saat menonton sepak bola.

Keluarga Vera mengembalikan santunan Rp5 juta dari manajemen Arema FC. Mereka berpendapat uang santunan tidak bisa menebus nyawa Vera.

Dadang meminta agar kerusuhan diusut tuntas dan pelaku yang memerintahkan penembakan gas air mata dihukum berat.

Semua pintu keluar ditutup, kecuali Pintu 14
Kisah yang sama disampaikan Eko Prianto, 39 tahun, warga Dau, Kabupaten Malang.

Ia menangis saat mulai menceritakan kerusuhan di Stadion Kanjuruhan. Sambil terisak, ia mengisahkan puluhan penonton bergelimpangan di Pintu 13.

“Pintu 13, seperti kuburan massal. Banyak anak kecil, korban kebanyakan perempuan. Saya tak kuat,” ujarnya dengan suara tercekat.

Belakangan terungkap bahwa puluhan anak kehilangan nyawa di stadion tersebut.

Pejabat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar mengungkapkan, sedikitnya 32 anak kehilangan nyawa dalam Tragedi Stadion Kanjuruhan.

“Dari 125 orang yang tewas dalam kecelakaan itu, 32 di antara mereka adalah anak-anak. Yang termuda adalah balita berusia tiga atau empat tahun,” kata Nahar kepada BBC News Indonesia

Saat pertandingan berlangsung, Eko Prianto mengaku memilih berada di luar stadion. Meski ia memiliki tiket masuk, dia memilih bersama salah seorang temannya duduk di pelataran luar stadion.

Banyak aparat berjaga, sebagian duduk minum kopi di warung di luar stadion.

Beberapa saat setelah peluit tanda akhir pertandingan, ia mendengarkan suara tembakan sebanyak lima kali. Di Pintu 10, ia mendengar suara jeritan dan gedoran pintu. Ia bergegas menuju Pintu 10. Di sana para penonton terlihat membuka paksa pintu dan dia menemukan puluhan orang lemas dan pingsan.

“Saya berusaha menolong, membopong korban. Ternyata jumlah korban semakin banyak,’ katanya.

Eko tiba-tiba teringat banyak saudara dan tetangganya yang menonton di Pintu 13.

Di Pintu 13, sebagian penonton berusaha menjebol “angin-angin” alias ventilasi pada tembok di samping pintu. Mereka berusaha keluar dan berdesak-desakan.

Ia berusaha membuka pintu yang terbuat dari besi, namun gagal. Eko berlari menemui aparat Kepolisian dan TNI yang berjaga untuk meminta bantuan membuka pintu. Dia juga meminta bantuan petugas medis. Namun upayanya itu sia-sia.

“Tidak dibantu, saya malah nyaris dipukul aparat,” ujarnya.

Ia lantas masuk lewat pintu utama dan meminta bantuan petugas dan panitia untuk membantu evakuasi di Pintu 13.

Akhirnya, ia bisa membantu evakuasi korban dari dalam. Sejumlah penonton yang tergeletak diangkat ke dalam ruangan.

“Semua pintu keluar tertutup, kecuali Pintu 14,” katanya.

Ia menanyakan mengapa pintu keluar ditutup. Padahal setiap pertandingan, 15 menit sebelum pertandingan selesai, pintu keluar dibuka. (BBCIndonesia/Red)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.