Sabtu, 23 September 23

TKI Ilegal Atau Non Prosedural Bahaya

TKI Ilegal Atau Non Prosedural Bahaya

Jakarta – Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menggelar sosialisasi TKI bertema “Pencegahan TKI Non Prosedural” di Kecamatan Tempur Sari, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Rabu (3/12/2014). Sosialisasi melalui media tradisional BNP2TKI tahun 2014 ini diselingi dengan kesenian tari dan Reog Ponorogo sehingga banyak masyarakat yang datang.

Dalam sosialisasi melalui dialog dua arah ini, sambutan Kepala BNP2TKI dibacakan oleh Tenaga Profesional Hubungan Antar Lembaga Kepala BNP2TKI, Herry Hidayat. Sebagai pemberi paparan sosialisasi adalah Direktur Pelayanan Penempatan PemerintahBNP2TKI, R Haryadi Agah W SIP. Hadir Kasubdit Pelaksanaan Penempatan, Ismain SE MM, Sekda Kabupaten Lumajang dr Buntaran Suprianto MS, Camat Tempur Sari Yoga Pratomo S STR, dan Kepala Disnaker Lumajang, Ismail.

Haryadi Agah memaparkan bahayanya kalau menjadi TKI ilegal. “TKI ilegal tanpa melalui prosedur atau non prosedural, akan terjadi masalah, misalnya kalau meninggal di negara dia berada,” tutur Direktur Pelayanan Penempatan PemerintahBNP2TKI ini di depan masyarakat Lumajang yang hadir.

“Ada TKI ilegal yang lari dari majikan, lalu sakit jantung dan meninggal di jalan. Dibawa ke kamar mayat, dibiarkan begitu saja, dan tidak dilaporkan ke KJRI karena mayat tersebut adalah TKI ilegal yang tidak punya identitas,” tegas mantan Atase Tenaga Kerja Keubes RI di Kuwait ini.

Padahal, lanjut dia, di negara tersebut ada batas waktu mayat yang sudah 3-6 bulan harus dimakamkan. Tapi setelah sekian lama, tiba-tiba keluarganya baru tahu bahwa mayat TKI ilegal tersebut dikuburkan di negara dia berada. Keluarganya pun minta untuk dipulangkan dan dimakamkan di Indonesia. “Lha KBRI kesulitan mengurusnya sehingga harus menyewa pengacara setempat karena harus mendapat ijin dari pengadilan,” jelas Haryadi.

Fatalnya, ungkap dia, biasanya mengurusnya hingga mencapai satu tahun untuk bisa menggali mayat dalam kuburnya itu. Ia pun mengingatkan, TKI ilegal yang tidak punya perjanjian kerja dengan majikan akan bahaya, karena kalau terjadi masalah tidak bisa diurus untuk membelanya. Bahkan, kalau TKI ilegal di Malaysia dianggap pendatang haram yang dikejar-kejar polisi sehingga tidak tenang bagi TKI ilegal

Ia menambahkan, TKI formal bekerja di perusahaan atau pabrik. Kalau TKI informal sebagai pembantu rumah tangga, bekerja kepada majikan perorangan di rumah. “Sehingga gak ada libur, dan untuk keluar rumah saja sulit. Kalau keluar bisa diculik orang, seperti orang Bangladesh yang lama tidak ketemu istri. Sehingga berpotensi jadi korban pelecehan seksual,” bebernya.

“Makanya menjadi TKI harus legal, jangan ilegal atau non prosedural. Jangan berangkat menjadi TKI melalui calo atau tekong. Seperti ke Malayia melalui tekong di Nunukan (Kalimantan Timur),” tambahnya.

Sekda Kabupaten Lumajang dr Buntaran Suprianto MS mengakui bahwa TKI ilegal yang berangkat dari Lumajan cukup banyak dan sulit dideteksi. “Harus diperkecil TKI yang tidak legal itu. Karena menurut data TKI yang legal sekitar 200 sampai 300 orang, tapi yang ilegal lebih banyak tapi tidak bisa dihitung karena tidak terdeteksi. Ada baunya tapi tak ada barangnya,” ungkap Buntaran.

Menurutnya, pekerjaan menjadi TKI adalah pekerjaan halal, apalagi lapangan kerja di Indonesia ada batasnya sehingga 250 juta penduduk tidak bia tertampung semua, sehingga sebagian harus mengais rejeki di luar negeri. “Tapi itu halal. TKI kalau pulang daari luar negeri kaya-kaya, bisa beli rumah dan tanah,” tegasnya.

“Jadi TKI itu boleh. Yang tidak boleh itu caranya yang tidak prosedural . Makanya ini sosialiasi untuk menjadi TKI melalui prosedur yang benar. Kalau TKI ilegal, di luar negeri ada yang hilang, putus hubungan, tidak tahu nasibnya di sana. Kalau meninggal, ya dibuang, dikubur saja seenaknya. Karena tidak ada identitasnya. Jadi, TKI ilegal itu lebih banyak mudharatnya. Jangan jadi TKI ilegal,” tutur Sekda Lumajang.

Sebagai catatan, BNP2TKI pada tahun 2014 melaksanakan sosialisasi melalui media tradisional yang dilakukan di 7 provinsi, 14 kabupaten dan 28 kecamatan. (Pur)

 

Related posts