
Jakarta, Obsessionnews – Pengamat pertanian/pangan Dadung Hari Setyo yang juga Ketua Umum Komunitas Usaha Pertanian Sentra Usaha Tani dan Agribisnis Nusantara (KUP Suta Nusantara) menganalis komitmen pemerintah Jokowi ingin masalah pangan tidak berlarut-larut seperti sebelumnya. Lahan makin lama makin sempit, petani makin habis. Sementara kebutuhan pangan terutama beras bertambah terus.
“Per hari dibutuhkan 200 gram untuk konsumsi setiap manusia dikalikan 250 juta penduduk Indonesia. Itu juga harus menambah kebutuhan pupuk dan industri, sehingga sangat besar untuk mengatasi kebutuhan pangan dan harus terus terukur,” tandas Dadung Hari Setyo kepada obsessionnews.com, minggu lalu.
Oleh karena itu, Ia berharap pemerintah Jokowi benar-benar melakukan kerja profesional untuk meningkatkan pertanian. “Jadi, harus terencana dengan baik, dan tidak boleh hanya pencitraan. sehingga tidak akan sulit, kalau partisipasi masyarakat digerakkan,” tuturnya.
Menurut Dadung, pemerintah Jokowi perlu menggerakkan masyarakat dan Kementerian terkait untuk meningkatkan pertanuian. “Kalau seperti sekarang ini hanya melibatkan unsur TNI (Babinsa Koramil/Kodim- red) masih kurang maksimal karena belum diajarkan soal (pertanian) itu sehingga butuh latihan dan lain-lain,” ungkapnya.
Ia memaparkan, carut marutnya pangan yang utama harus dibenahi adalah kebijakan permintah, yaitu terkait dua hal: (1) adanya overlapping dan (2) ada overlogging, tidak bisa digerakkan (mandeg/stagnan). “Stagnan ini karena tidak ada kerangka dan teknisnya sehingga perlu dilaksanakan sosialisasi. Jika tidak ada sosialisasi, akan berat,” terangnya.
“Daerah/kabupaten sulit keuangan. Yang terbesar di perkebunan, kopi, karet, sawit dan lain-lain. konglomerat yang berkuasa. Sedangkan pertanian, rakyat petani pindah-pindah, selain itu masalah tengkulak dan lain-lain, sehingga petani bingung. Seperti misalnya, benihnya ganti-ganti, sehingga petani bingung, market pun kecewa. Petani adalah pekerja paling bawah,” bebernya.
Selain itu, lanjut dia, biaya riset dan development, di pertanian kita sangat minim. “Di level doktor gajinya sekitar Rp15 juta dan luas pertanian yang ditangani sempit. Kalau di luar negeri, doktor tangabni ribuan hektar lahan pertanian,” pungkasnya.
Dadung menegaskan pula, sudah seharusnya Indonesia yang memiliki areal sawah luas memiliki unsur pengawas sampai tingkat pelosok desa. “Penyuluh swasta terdiri dari mahasiwa atau orang yang memiliki pengetahuan sehingga bisa dapat menyelaikan persoalan para petani,” harapnya.
Ia pun mengeritik mengapa mindset (pola pikir) pertanian diarahkan di musiman, padahal setiap ada matahari, bisa tanam. “Mindsetnya MK1, MK2, MH sehingga panen bareng, sekali habis, dan juga jatuh di saat pupuknya habis. Panen bareng di daerah sedangkan gudang-gudang tidak ada. Kekeringan tinggi, 3 – 6 bulan, sehingga harus ada mesin dan gudang,” tegas Dadung.
“Jadi, jual berasnya berangsur-angsur Tidak sekali panen, habis. Kalau setiap bulan panen, uang berputar. Ini masalah di petani, sehingga semakin menurun. Jadi, pemerintah harus lakukan penelitian lewat orang-orang di kampus dan jaringan PNS. Survei BPS juga tidak akurat, tidak bisa untuk bisnis. Padahal, kita perlu info yang kredibel yang bisa berikan data-data akurat,” paparnya.
Dadung melihat apa yang disampaikan lewat pernyataan Presiden Jokowi memang bagus, tetapi implemntasinya tidak sesuai. “Kalau omongan Pak Jokowi bagus-bagus tapi implementasinya bagaimana, tidak sama. Kalau tidak tercapai, pola bisnis dengan pihak luar, tenaga kerja rendah, hanya buruh biasa. Konsepnya, pertanian harus hasilkan petani yang handal sehingga SDM bagus,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia berharap kepada pihak pemerintah untuk bisa menjaga ketahanan pangan Indonesia yang semakin banyak dipermainkan pihak-pihak tak bertanggungjawab. Menurutnya, pemerintah segera membentuk dewan pengawas pangan.
Kalau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidaklah cukup dan harus ada pengawas pangan sehingga tidak terjadi seperti yang saat ini terjadi.”Banyak produsen nakal karena beras pecah dan mereka berbuat dengan segala cara, mulai pengharum atau bahan kimia seperti air aki,” kritiknya. (Red)