
Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986
Ahok sang penggusur paksa rakyat DKI Jakarta akhirnya harus tumbang, karena mengalami kekalahan dalam Pilkada DKI 2017. Gubernur DKI ini berpasangan dengan Djarot pada putaran pertama pemilihan dan didukung parpol-parpol rezim penguasa, yakni PDI-P, Golkar, Nasdem, dan Hanura. Di putaran kedua secara “formal” PPP dan PKB juga mendukung.
Sementara itu Anies-Sandi sebagai pihak penantang pada putaran pertama didukung hanya dua parpol menengah, yakni Gerindra dan PKS. Pada putaran kedua hanya PAN tambahan parpol pendukung Anies-Sandi. Parpol di luar parlemen juga mendukung pasangan calon (paslon) ini, yakni PBB dan Perindo.
Yang bikin Ahok tumbang dalam Pilkada DKI 2017 ini dapat dijelaskan dari beragam sebab. Setidaknya sebab-sebab tersebut dapat dijadikan tiga kelompok.
Pertama, kelompok Islam politik dalam berbagai organisasi masyarakat Islam, antara lain Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).
Ada kepercayaan atau keyakinan yang bersumber dari Alquran, yakni haram memilih seorang non Muslim sebagai pemimpin. Dalam hal ini haram memilih Ahok sebagai Gubernur DKI, karena Ahok non Muslim. Bahkan, Ahok dilabeli sebagai kafir. Acap kali bermunculan slogan di kalangan Islam politik:”Tolak Gubernur Kafir”. Slogan ini muncul sangat terang benderang bermula dari aksi demo yang diorganisir HTI dan dihadiri sekitar 20 ribu umat Islam. Intinya kelompok Islam politik ini menolak Ahok karena Ahok kafir.
Di samping itu, kelompok ini menilai selama menjadi Gubernur DKI Ahok telah merugikan sejumlah kepentingan umat Islam. Belasan kebijakan Ahok merugikan kepentingan Islam telah beredar, khususnya di media sosial secara masif.
Perspektif kelompok ini memposisikan Ahok secara kultural maupun aliran politik, berasal dari kelompok sangat minoritas, paling banyak 15% pemilih. Tidak layak memimpin DKI yang mayoritas umat Islam.
Kelompok umat Islam politik mempromosikan dan mengampanyekan Gubernur Muslim. Jumlah kelompok ini sekitar 40% pemilih dan terbanyak.
Kedua, kelompok ini menilai prilaku politik dan kepemimpinan Ahok sebagai arogan, sombong, busuk, tiran, fasis, dajal, dan lain-lain. Persepsi negatif kelompok rakyat DKI terhadap Ahok ini menyebabkan mereka bersikap menolak Ahok lanjut sebagai Gubernur DKI. Acap kali muncul prinsip ABAH dan ASBAK yang merupakan akronim dari Asal Bukan Ahok. Pada umumnya kelompok ini datang dari kelas menengah atas, relatif terpelajar. Intinya, bagi mereka, komunikasi politik Ahok dengan rakyat DKI buruk.
Kelompok kedua ini jauh lebih sedikit ketimbang kelompok pertama. Tetapi, kelompok ini sangat aktif memberikan penilaian mereka tentang prilaku politik Ahok melalui media massa dan media sosial.
Ketiga, kelompok ini tergolong kelompok kelas menengah atas juga, tetapi prilaku politik mereka berdasarkan rasionalitas dan metode iptek. Bagi mereka, selama Ahok sebagai Gubernur DKI tidak mampu dan tidak berprestasi. Berdasarkan perencanaan, Ahok gagal melaksanakan urusan pemerintahan. Belum ada data, fakta dan angka yang dapat disajikan Ahok maupun pendukung Ahok, bahwa Ahok telah berhasil meraih target capaian tiap tahun satu pun urusan pemerintahan. Yang “dihalohalokan” pendukung buta Ahok selama ini pada dasarnya hal-hal sepele dan fiksi.
Kelompok ketiga ini menginginkan gubernur baru yang mampu melaksanakan urusan pemerintahan dan rakyat DKI melalui program-program terencana. Kelompok ketiga ini paling sedikit jumlahnya, sekitar 15 persen.
Sesungguhnya dari perspektif sosiologi politik, pendukung Ahok tergolong minoritas sekitar 15 persen. Tetapi, PDI-P tetap saja mengajukan Ahok sebagai cagub yang akhirnya tumbang. Seandainya PDI-P mau mendengar saran dan permintaan sejumlah tokoh Islam agar tidak mencalonkan Ahok, tetapi mencalonkan Wali Kota Surabaya Risma, hasil Pilkada DKI bisa lain. Atau paling tidak mengajukan Boy Sadikin, sang kader senior PDI-P sendiri.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur!!! (***)