Kamis, 25 April 24

Tarzan Abad 21

Tarzan Abad 21

(Kasyaf Intelligence)
Oleh: Emha Ainun Nadjib, Budayawan

 

Ya Allah ya Rabbi ya Karim aku Tarzan abad 21. Aku bertanya kepada anak sulungku: “Dunia sudah sampai di mana, Nak?”. Ia menjawab enteng: “AI, Cak, Artificial Intelligence”, seperti menjawab di mana warung tongseng yang paling enak.

“Apa itu?”, kukejar.

Ia menjawab: “Kecerdasan buatan”.

“Yang membuat siapa?”

“Ya manusia, Cak, mosok kambing”

“Dibuat bagaimana?”

“Kecerdasan manusia dirumuskan kemudian diterapkan ke benda”

“Benda apa? Akik? Jimat? Susuk?”

“Terutama komputer, Cak. Kecerdasan manusia ditransfer supaya komputer bisa melakukan sesuatu seperti manusia sampai batas yang ditentukan”

“Ooo. Bapak pikir seperti rajah, mateg aji Rog-rog Asem atau Lembu Sekilan…”

“Ndak, Cak. Itu hubungannya dengan misalnya logika fuzzy, jaringan saraf tiruan, robotika. Ada AI konvensional, ada juga kecerdasan komputasional…”

“Sudah, sudah, Nak, yang istilah-istilah begituan jangan panjang-panjang. Yang penting itu semua untuk apa?”

“Untuk memudahkan hidup. Nanti di jidat kita dipasang chips, yang di dalamnya termuat semua data dan bisa digunakan untuk segala keperluan. Kita ke toko, warung, gerbang tol, bank, di mana saja, tidak lagi perlu surat ini itu di dompet dan tas. Kita bisa tahu teman kita sedang buang air besar di mana. Kelak bahkan bisa diketahui jenis dan warna tinjanya bagaimana, sehingga teranalisis juga dia tadi makan apa, dia sakit apa, dia sedang sedih soal apa, bahkan sedang jatuh cinta atau malahan sedang selingkuh…”

Ya Ampun dunia sudah sangat maju. Sedangkan puncak pencapaian modernitasku baru mengubah diri dari mesin ketik Brother ke Microsoft Word di komputer minimalis. Senior saya dulu budayawan intelektual Dr. Umar Kayam sampai akhir hayatnya menolak pindah dari mesin ketik. Almarhum Rendra seniman dunia berkeringat dingin kalau terpaksa tulis SMS.

Gus Dur bahkan sama sekali tidak punya keperluan untuk pegang Hp. Rendra berbaring di RS Mitra Keluarga KG membisikiku: “Nun, nanti kalau aku sembuh, bantu aku beli Kijang Innova ya entah bagaimana caranya”. Aku menyanggupinya tapi beberapa hari kemudian keduluan Malaikat Izroil.

“Mudah-mudahan suatu hari Artificial Intelligence mampu mendeteksi daftar eksekusi di kantornya Malaikat Izroil ya Nak…”

“Ah, nggak ada kaitannya itu, Cak”, jawab sulungku.

“Kalau bisa mbok diteliti dan dicari bagaimana mengaitkannya. Kan bagus kalau kita punya alat sebesar batu kerikil sangat kecil yang kita selipkan di dompet atau kita kalungkan di leher. Yang bisa mendeteksi siapa saja hari ini yang diberi hidayah oleh Allah. Siapa lainnya yang sedang di-lulu atau di-bombong. Siapa juga yang sebenarnya sedang disesatkan. Misalnya kalau Tuhan menyatakan bahwa Ia memberikan kekuasaan kepada siapapun yang Ia kehendaki, mengambil kekuasaan dari siapapun yang Ia maui, dengan Tangan-Nya yang Baik. Kalau ada AI yang canggih kan firman ini bisa dilihat korelasinya dengan Pilpres, Pileg dan Pilkada. Tangan-Nya yang baik itu bisa mempertimbangkan perilaku bangsa pada suatu era, untuk diambil keputusan akan ditolong, disorong untuk lebih melampiaskan nafsu dan kebodohannya, atau malah disesatkan oleh-Nya. Bapak sangat butuh benda AI semacam itu. Minimal supaya Bapak tahu akan mengalami apa nanti siang dan besok pagi…”

Anakku tertawa terpingkal-pingkal. “Owalah Caaak Cak. Njenengan ini bener-bener jadul mukiyo…”

Coba anak sekarang ini, berani omong gitu kepada orang tuanya. Ia juga memanggilku Cak. Wajarnya kan Pak, Pa, Pi, Mo, Dad, Abi. Ini “hutan rimba” pertama yang sudah lama saya masuki. Anakku memanggilku Cak. Kalau di desaku Guk. Kalau di Yogya Mas. Di Malang dibalik: Sam. Di KiaiKanjeng jadi Dab atau Pèk. Tapi sudahlah. Kuanggap saja itu suatu jenis kemesraan, bukan perusakan tatakrama.

Sementara semakin banyak orang di manapun, kalau ketemu saya langsung panggil “Mbah”, meskipun usianya lebih tua dari saya. Saya gembira panggilan itu mencerminkan bahwa tali batin yang menghubungkan mereka denganku bukan tali transaksional, tali politis, tali golongan, tali kepentingan atau apapun. Melainkan tali persaudaraan.

“Kalau gitu setiap istri perlu pasang chips AI diselipkan entah di apanya suaminya. Supaya tahu ia selingkuh atau tidak”, sulungku meneruskan masih sambil tertawa, “Kalau ada chips AI semacam itu, pasti akan laris manis. Setiap Imam dan makmum shalat jamaah perlu saling pasang chips untuk tahu apa ada makmum yang belum mandi jinabat, atau apakah Imamnya dalam keadaan suci atau tidak. Setiap Pilkada menang kalahnya calon ditentukan oleh kompetisi kecanggihan chips satu sama lain. Tokoh seperti Pak Setya Novanto besar kemungkinan punya Anti-AI-Chips di saku jasnya, atau nempel di balik dasinya…”

“Atau sudah tertanam di ujung lidahnya”, kupotong.

“Cak, Mbok Sampeyan mau belajar dong”, tiba-tiba anakku menasihati, “bertahap, belajar menek atau nutul keyboard, terus meningkat touch-screen. Coba belajar bikin akun Facebook, Twitter, Instagram. Itu puncak kenyataan hidup di Abad 21 ini. Dunia Maya adalah kasunyatan sejati. Setiap orang beralamat di dunia maya. Di kantor, di rumah, warung, mobil, toilet, di manapun saja, mereka adalah aktivis dunia maya. Revolusi sedang berlangsung besar-besaran. Perusahaan dan Negara yang cara hidupnya seperti Njenengan ini pasti segera bangkrut. Zaman sudah berubah. Syari’atnya berubah. Thariqatnya berubah. Sabilillahnya berubah. Shirathal Mustaqimnya berubah…”

Kurang ajar anak-anak sekarang. Aku ini memasukkan kartu ATM ke mulut di mesinnya itu saja belum berani sampai sekarang. Aku ini buta huruf teknologi Abad 21. Kalau tidak karena harus konstan berkomunikasi dengan istri dan anak-anakku, demi Allah aku tak mau kenalan sama gadget. Puncak prestasiku hanya do’a. Semoga kalau lewat detektor bandara, tidak bunyi apa-apa. Semoga kalau ada peluru mengarah ke dadaku, meleset ke mulutku dengan peluru itu berubah menjadi dodol. Semoga ketika aku hendak ditangkap, yang ditemui oleh petugas bukan aku melainkan Bapaknya sendiri, atau anaknya, atau Syekh Jangkung Saridin.

“Gini aja Nak”, aku akhirnya minta kepada sulungku.

“Gimana, Cak?”

“Bapak minta tolong dua hal saja. Pertama, entah dengan alat yang paling avant garde, yang paling advanced, mumpuni, sakti mandraguna, tolong carikan lima nama saja dari prajurit ISIS yang sekarang masih hidup. Tolong sekalian kau tuliskan pasukan apa yang menumpas mereka?”

“Waduh…”

“Kedua, kan dalam speed competition tak ada yang bisa menandingi AI. Tolong anakku print out hard copy aja nama-nama 126.788 orang yang sedang ditahan. Alamat rumah-rumah tahanannya. Kemudian 59.254 orang yang mendekam di sel-sel penjara. Alamat penjaranya mana saja. Baik penjara asli, maupun Stadion sepakbola yang dipakai sebagai penjara darurat, atau bangunan-bangunan penjara baru. Sebab diperlukan lebih banyak lagi penjara-penjara. Jumlah di atas itu per 24 September 2017. Sekarang pasti sudah bertambah. Syukur anakku kasih bonus ke Bapak: siapa nama asli penguasa yang memenjarakan mereka itu. Nama Ibu Bapaknya. Tinggi badannya. Berapa helai kumisnya yang sudah beruban…”.

Yogya, 10 Oktober 2017

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.