Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, dan Direktur Eksekutif Global Future Institute
SEKILAS membaca tulisan lama Harry A. Poeze ihwal mengangkat kembali pahlawan nasional kita, Datuk Ibrahim Tan Malaka. Bung Karno sendiri pada 1960 mengakui Tan Malaka sebagai sosok pencinta tanah air dan bangsa Indonesia. Selain itu juga seorang sosialis yang sepenuh-penuhnya.
Tapi kesan saya dari tulisan Poeze ini, dan ini saya setuju, Bung Tan sejatinya memang tidak membutuhkan sebuah kendaraan buat pemikiran politiknya seperti Partai Murba. Kebesarannya justru pada sosok pribadi dirinya sendiri. Seperti seorang guru. Ketimbang pemimpin partai politik.
Ketika Bung Karno dalam sambutannya tentang Bung Tan pada 1960 itu, seharusnya sudah jelas sebagai isyarat. Bahwa sosoknya yang pada hakikatnya nasionalis dan sosialis yang seutuhnya, Bung Tan seharusnya jauh lebih strategis sebagai inspirator. Bukan pemimpin politik.
Terbukti Partai Murba gagal menyelaraskan dirinya dengan kebesaran dan legenda Tan Malaka. Seperti ditulis Poeze, Partai Murba tidak pernah bisa jadi perekat organisasi maupun perekat bagi para kadernya. Selalu dirundung perselisihan internal mengenai bagaimana ide sosialis dan kiri diperjuangkan. Menandakan bahwa partai ini sebenarnya tidak bisa menerjemahkan kekuatan ideologis Tan Malaka baik sebagai nasionalis maupun sosialis.
Alhasil, kendaraan justru telah mengerdilkan kebesaran dan legenda ketokohan Tan Malaka. Jika benar Tan seperti dikatakan Poeze merupakan “pejuang tunggal” alias single fighter, maka kekuatan spiritual Tan Malaka adalah sebagai Sang Inspirator.
Dan Bung Karno pada 1960 ketika menetapkan Tan sebagai Pahlawan Nasional, memang mengisyaratkan hal itu. Sang Inspirator untuk nasionalisme dan sosialisme ala Indonesia. Itulah sumbangan terbesar Tan buat sejarah Indonesia.
