Kamis, 25 April 24

Tampar Mukaku, Ludahi Mulutku

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Ini tulisan tahadduts binni’mah, berbagi kenikmatan dari Tuhan. Kenapa seseorang membungkukkan badan mencium tangan seseorang lainnya? Siapa mereka? Di mana? Kapan? Sejak berabad-abad tradisi cium tangan itu berlangsung di kalangan Kaum Muslimin tradisional, di desa-desa, pondok dan pesantren. Beberapa puluh tahun terakhir ini cium tangan menjadi tradisi baru di perkotaan Indonesia.

Meskipun karena Indonesia menempuh “sejarah adopsi” dari nilai-nilai Barat sehingga pada wilayah mainstream tidak begitu membuka pintu untuk “sejarah kontinuasi”, di mana nilai-nilai otentik dari kakek nenek moyang ditransformasi secara terukur – tetapi tradisi cium tangan menembus ke perkotaan dan budaya metropolitan.

Pertemuan Presiden dengan tokoh-tokoh masyarakat memuat adegan cium tangan. Juga cipika-cipiki cium dua pipi, yang ditransfer dari bentuk etika internasional, baik dari Barat maupun Arab. Tradisi cium tangan meresap seperti serbuk air yang melembabkan tembok, atau suhu udara yang menghangatkan tanpa kelihatan mata. Terkadang berlangsung seperti radioterapi yang efektif mengubah suatu keadaan. Seorang mertua sangat membenci menantunya bertahun-tahun karena sejumlah sebab, dalam beberapa detik kebenciannya berubah menjadi kasih sayang sesudah sang menantu mencium tangannya. Konflik politik nasional antara dua tokoh mereda langsung sesudah yang satu ‘sowan’ kepada lainnya dan membungkuk mencium tangannya.

Apa prinsip nilai dan logika cium tangan itu, siapa mencium siapa, atas dasar ketakdziman, loyalitas, kasih sayang ataukah kepentingan dan feodalisme – tidak saya persoalkan di tulisan ini. Umpamanya apakah yang patut itu Umara ‘nimbali’ (memanggil dari posisi yang lebih kuat atau lebih tinggi) Ulama, ataukah sebaliknya. Yang berposisi dicium tangannya Pejabatkah ataukah Kiai, menurut teori derajat dari Agama maupun budaya, saya mempersilahkan untuk diurus sendiri.

Sejauh saya mengalami dan mengetahui, ada empat kepentingan yang mendorong peristiwa cium tangan. Pertama, santri atau ummat cium tangan Kiainya, Ulama, Syekh, Mursyid, Habib atau Ustadznya. Dalam tradisi budaya Islam Jawa, itu disebut “ngalap berkah”. Santri meyakini bahwa Kiainya adalah manusia saleh yang lebih dekat kepada Allah dibanding dirinya. Kalau ia takdzim kepadanya dan mencium tangannya, maka ia menjadi lebih dekat juga kepada Tuhannya, lebih aksesabel untuk memperoleh berkah, ridlo atau mahabbah atau hub dari Allah, yang mungkin berakibat limpahan rejeki.
Tidak saya persoalkan apakah anggapan terhadap Kiai itu benar atau meleset, tepat atau bias, terkabul atau tertipu. Di suatu wilayah Kaum Muslimin ummat mencium tangan Kiai dengan menyertakan lembaran uang di telapak tangannya, yang kemudian berpindah ke tangan Kiai. “Salam tempel” itu semacam mekanisme perniagaan dengan Tuhan, yang memang Maha Pemurah memberi balasan berlipat dari uang atau harta yang disedekahkan.

Logika perniagaan ini bahkan bisa dikapitalisasikan: ummat disebari iklan bahwa kalau mereka menyerahkan uang, mobil atau rumah kepada Ustadz, maka Allah akan membalasnya berlipat-lipat. Kalau setelah sekian lama balasan tak kunjung datang, Ustadz bilang bahwa ummat kurang ikhlas dalam bersedekah. Allah sendiri kasih regulasi: “Jangan memberi dengan mengharapkan balasan lebih banyak”. Wala tamnun tastaktsir. Tetapi saya tidak mencampuri konflik antara Tuhan dengan kapitalis itu.

Kedua, fenomena “medukun”. Orang datang kepada “Orang Pinter” untuk pamrih kekayaan, kesembuhan dari penyakit, naik pangkat dan jabatan, kelanggengan kekuasaan, atau perlindungan dari marabahaya, misalnya orang bersaing mendapatkan murid Sekolah sehingga menenung atau menyantet kompetitornya. Pejabat berebut jabatan lebih tinggi dengan menyantet pesaingnya. Mereka “sowan” ke Dukun Pintar itu, mencium tangannya dan mematuhi segala perintah dan larangannya.

Ketiga, pamrih di balik cium tangan itu adalah akses kekuasaan. Orang di level lebih rendah mencium tangan orang di level lebih tinggi dalam struktur birokrasi. Baik langsung maupun pada posisi yang masih “siapa tahu”. Maksudnya, bisa seorang Gubernur atau Profesor cium tangan Presiden agar dijadikan Wapres atau minimal Staf Ahli. Atau belum pada lingkup struktural, tapi “siapa tahu” beliau tertarik mengajaknya masuk ke struktur.

Keempat, yang terutama ingin saya tuliskan adalah rasa tidak tega kepada sangat banyak orang yang menyangka saya adalah seseorang yang mungkin sebenarnya bukan saya. Mereka mencium tangan saya di warung, bandara, parkiran, mal, pasar, terminal, naik atau turun tangga pesawat, lampu merah perempatan jalan, bahkan ketika mau masuk atau keluar dari toilet di pom bensin, dan tempat-tempat lain yang ada manusianya. Tua muda remaja kanak-kanak. Pegawai, karyawan, pengusaha, pejabat, tukang parkir, pelayan hotel, petugas restoran, sopir taksi, ojek. Muslim dan non-Muslim, Jawa dan non-Jawa, pribumi dan non-pribumi, sampai saya khawatirkan juga Jin dan sejumlah hantu.

Saya berpindah-pindah kota dan daerah hampir tiap hari. Dalam seminggu saya berkerumun dengan rata-rata 50 ribu orang. Kami bercanda gembira ria dari jam 8-9 malam hingga pukul 2-3 pagi. Sesudah itu butuh waktu satu sampai satu setengah jam untuk antri bersalaman. Kalau tidak diatur antrean, akan makan waktu lebih lama lagi, karena kerumunan itu bergeser ke manapun saya melangkah, salamannya serabutan dan berdesak-desakan, sehingga tidak efektif dan memerlukan waktu lebih lama. Maka mending dikelola. Pasukan pengelolanya selalu siap meskipun saya tidak pernah melantik mereka. Bikin pagar betis, membuka ruang atau lorong, lainnya menangani pintu dari kerumunan ke lorong, mengatur irama dan percepatan. Saya berdiri sepanjang salaman, tidak tega kalau duduk di kursi, seberapa pegal pun pinggang saya.

Saya mewajibakan diri saya untuk tersenyum kepada orang pertama sampai orang keseribu atau orang terakhir berapapun jumlahnya. Kasih sayang dari hati saya, energi batin dan fisik saya, atensi dan konsentrasi saya, tidak boleh berkurang sedikit pun dari orang pertama hingga terakhir. Balasan ciuman dan pelukan kepada mereka satu per satu, tidak boleh berkurang kadarnya meskipun 1-cc. Selama forum berlangsung sebelumnya, selalu saya ulang ungkapkan bahwa di kerumunan kita tidak ada Kiai, Ustadz, Dukun, tokoh, orang yang lebih alim dan hebat, idola dan berhala. Tidak ada kultus individu. Kekaguman harus diteruskan ke Tuhan. Tidak ada yang kuat dan kuasa kecuali Tuhan. Tidak ada yang bisa menyembuhkan penyakit kecuali Tuhan. Berkah hanya dari Tuhan.

Kita hanya kerumunan manusia yang bersaudara, minimal bersahabat. Aku kakakmu, bapakmu atau mbah-mu. Kalau kau cium tanganku, kupeluk tubuhmu. Kalau kau peluk badanku, kuusap-usap kepalamu. Kita adalah “almutahabbiina fillah”: hamba-hamba Tuhan yang bersaudara tidak karena hubungan darah, tidak karena pamrih ekonomi, politik atau apapun keduniaan yang lain. Kita bersaudara karena sama-sama ingin lulus “outbond” di bumi, tidak dimarahi oleh Tuhan, syukur disayang dan diridloi oleh-Nya.

Sponsor kita adalah kedermawanan Allah. Kita tidak punya backing kekuasaan atau modal. Hidup adalah menempuh iman: percaya penuh kepada kasih sayang dan tanggung jawab Tuhan, 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun, kini memasuki tahun ke-24. Satu per satu kita digilir oleh Malaikat Izroil, tapi staf Allah yang menakutkan itu tidak mampu mencabut ikatan persaudaraan kita, yang sekarang juga sudah memancar sebagai cahaya terang benderang jika dipandang dari seberang galaksi oleh para penduduk langit.

Setiap kali saya harus “nyuwuk” atau meniup ratusan botol air yang mereka sodorkan ke mulut saya satu per satu, untuk berbagai macam hajat: rejeki lancar, sembuh dari sakit, anak saleh, sekolah beres, hutang bisa bayar, masalah ada jalan keluar. Sebanyak jumlah botol itu bisikan hatiku kepada Tuhan: “Engkau yang membawa mereka kepadaku, Engkau pula yang memenuhi hajat mereka”. Syukur mereka semua juga paham bahwa aku tidak mampu apa-apa. La haula wa quwwata wala sulthana illa billah. Tak ada kuasa, tak ada kekuatan, tak ada hidden strength, extra authority, kecuali pada Tuhan Yang Maha Esa. Kemesraan persaudaraan kita, perilaku saling mengamankan satu sama lain di antara kita, semoga membuat Allah tidak tega untuk membiarkan kita disengsarakan, dijahati, ditipu, dibohongi oleh makhluk-makhluk di luar kerumunan kita.

Semua ini peristiwa kasih sayang, saling percaya dan kemesraan. Di antrean itu saudara dan anak-cucuku ada yang mencium tangan saja. Ada yang cium tangan kemudian memeluk tubuh. Ada yang tak tahan menangis sebelum bersentuhan. Ada yang minta tanganku mengusap bagian atas kepalanya dan menjambak rambutnya. Ada yang kedua tangannya mengusap kepalaku badanku hingga kakiku lantas dia usap-usapkan ke pipinya. Ada yang menyodorkan ubun-ubunnya minta ditiup. Ada yang menyodorkan pipinya minta ditampar, dan kutampar demi pemenuhan cinta. Ada yang membuka mulutnya dan meminta kuludahi, dan kuludahi dalam kemesraan. Ada yang mengantarkan perut hamil istrinya untuk kuusap-usap. Ada yang belum hamil minta diusap siapa tahu Allah terharu kemudian dikasih janin. Ada yang pakai kursi roda dan aku melompat memeluknya. Ada yang digendong dan kuambil untuk kuganti-gendong. Ada yang dari jauh menggapai-gapaikan tangannya dan aku pun menggapainya meskipun hanya menyentuh ujung satu jarinya.

Aku tak pernah menjanjikan atau menyanggupi apa-apa. Kami hanya menjalani organisme ciptaan-Nya. Hidup adalah pengelolaan cinta dan teknologi tali temali kasih sayang. Usia adalah rentang kerinduan. “Kalau kalian memang rindu untuk berjumpa dengan-Ku, maka berbuatlah baik dan beramal saleh di dunia”, Allah mengumumkan. Muhammad juga Ia perintah untuk menyampaikan: “Katakan kepada manusia: Kalau memang kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, Allah menanti kalian dengan cinta-Nya dan berjanji membereskan urusan kalian di dunia…”

Allah menantikan para kekasih-Nya di kampung halaman asal usul kita. Kita bukan penduduk bumi yang mendambakan sorga. Kita adalah penghuni sorga yang diuji sejenak di bumi. Kita bukan makhluk jasad yang berjuang me-rohani. Kita bukan makhluk biologis yang menempuh perjalanan spiritual. Kita adalah makhluk spiritual yang merendah sejenak di padatan materiil dunia. Bumi bukan tempat membangun rumah permanen. Bumi hanya tempat transit, minum sejenak di rest area. Kita adalah bagian dari Maha Ruh Sejati. Tak ada ruang dan waktu kecuali berhimpun kembali kepada-Nya.

Alangkah kerdilnya dunia. Alangkah kecilnya Indonesia. Tapi selama aku bertugas di wilayahmu, kucintai engkau sepenuh jiwa. Sebab aku tak mau mengecewakan-Nya, ketika nanti dalam “liqooun ‘adzim”, perjumpaan agung, Ia bertanya, meskipun sudah Maha Tahu jawabannya: “Apa saja yang engkau lakukan untuk mewujudkan cintamu kepada Indonesia, tanah air yang Kuamanatkan kepadamu untuk engkau tanami cinta?”.***

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.