Kamis, 25 April 24

Tak Demokratis, Tatib DPD RI Sarat Dengan Muatan Politis

Tak Demokratis, Tatib DPD RI Sarat Dengan Muatan Politis
* Sidang paripurna DPD. (Foto: Humas DPD)

Jakarta, Obsessionnews.com – Pengamat Hukum Tata Negara, Feri Amsari menilai pengesahan Tata Tertib (Tatib) Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) telah mengabaikan prinsip mendasar dalam demokrasi.

Tatib DPD RI yang dimaksud adalah Revisi Tatib 2019 yang disahkan dalam Sidang Paripurna Luar Biasa DPD RI yang diwarnai kericuhan pada 18 September 2019. Tatib antara lain mengatur pemilihan Pimpinan DPD RI periode 2019-2024, yang akan dilantik 1 Oktober mendatang.

Penilaian Feri ini disampaikan saat ia menjadi pembicara dalam diskusi panel bertajuk “Membedah Tata Tertib DPD RI” di Hotel Atlet Century, Jakarta, Jumat (27/9/2019).

“Itu kan sengaja mengembangkan proses pemilihan dengan menempatkan per sub wilayah, aneh sekali. Tatib itu mencoba mengabaikan prinsip paling penting dari demokrasi. Mestinya tidak rumit dan jangan mengabaikan kesempatan perempuan untuk mendapatkan konsep affirmative action atau tindakan khusus yang diberlakukan bagi calon-calon perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki,” ujar Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang itu.

Feri juga menjelaskan, masih ada ruang bagi Anggota DPD RI yang baru untuk menutup keberlakukan Tatib tersebut dengan berpatokan pada isi Undang-Undang MPR RI, DPR RI, DPD RI (UU MD3). Sebab yang dimaksud Pimpinan dalam Undang-Undang tersebut adalah pimpinan yang sedang menjabat, bukan yang sudah tidak lagi menjadi Anggota DPD RI.

“Oh iya (bisa tidak dipakai). Kalau berpatokan pada UU MD3, pimpinan adalah yang menjadi pemimpin DPD RI, pasal 260 artinya DPD saat mereka menjabat, bukan dikendalikan oleh periode sebelumnya, dan tatib itu di pasal 300 dikatakan peraturan internal itu tentu yang membuat adalah orang-orang yang di lembaga saat ini, bukan yang sebelumnya. Jadi berdasarkan UU MD3, tidak perlu lagi diatur tatib yang sebenarnya digunakan untuk internal DPD sebelumnya, malah digunakan periode yang baru,” tambah Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.

Feri juga mengatakan, munculnya Tatib DPD RI tersebut sangat politis dan menguntungkan pihak pembuatnya. Meski tak menyebut nama, ia menduga ada orang yang berupaya memenangkan pertarungan proses pemilihan pimpinan di 1 Oktober dengan mengabaikan prinsip-prinsip umum dalam demokrasi.

Sebelumnya, dalam Sidang Paripurna Luar Biasa DPD RI pada 18 September 2019 terjadi kericuhan. Hal itu terjadi karena banyak Anggota DPD RI menolak draf Tatib tersebut untuk disahkan. Mereka menilai penyusunan draft revisi Tatib itu cacat secara formil dan materiil.

Dalam dokumen yang diterima redaksi, sedikitnya ada tiga alasan yang disampaikan para Anggota DPD RI yang menolak draft Revisi Tatib 2019 disahkan dalam Sidang Paripurna 18 September 2019.

Pertama, pengusulan perubahan tatib dianggap melanggar pasal 334 tatib karena tidak pernah disampaikan oleh Panmus dalam Sidang Paripurna DPD RI. Bahkan dalam rapat Panmus banyak Anggota Panmus yang juga mempertanyakan legalitas dilakukannya perubahan atau penggantian tatib. Sehingga dapat dikatakan cacat formil.

Kedua, pasal yang menyangkut syarat calon Pimpinan DPD RI bertentangan dengan aturan di atasnya. Yaitu Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945, norma Pasal 5 Huruf C dan Pasal 10 ayat (1) Huruf E UU PPP, serta Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 55P/HUM/2018.

Ketiga, pasal yang menyangkut pengisian jabatan pimpinan DPD RI dan Pimpinan Alat Kelengkapan di DPD RI belum mengutamakan keterwakilan 30 persen perempuan sebagaimana putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 82 Tahun 2014.

Penolakan atas Draft Tatib itu dilakukan Anggota DPD RI untuk menjaga marwah DPD RI dan dalam rangka penguatan kelembagaan DPD RI. (Albar)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.