
Jakarta – Ekonomi Indonesia menghadapi titik suram. Kebijakan pemerintah yang membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) merupakan suatu tanda bahwa krisis ekonomi yang parah tengah dihadapi Indonesia. Kebijakan pembatasan BBM merupakaan langkah menuju kenaikan harga BBM sesuai dengan permintaan pasar. Pemerintah sudah tidak punya uang untuk disetorkan kepada perusahaan perusahaan penghasil BBM.
Pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menilai, pembatasan BBM yang dilakukan pemerintah sekarang ini mirip juga dengan pembatasan konsumsi minyak, beras, pangan, menjelang revolusi 65. Tanpa melakukan nasionalisasi migas, mengambil alih perusahaan Chevron, Exon, dan lain-lain, maka tidak mungkin pemerintahan siapa pun yang berkuasa dapat keluar dari jurang krisis ini.
Sementara, lanjutnya, nasionalisasi migas yang saat ini 85 persen dikuasai asing adalah hal yang tidak mungkin. Pemimpin yang lahir dari pentas pemilih ‘Indonesian Idol’ tidak akan punya keberanian menempuh langkah mendasar.
“Tantangan utama yang dihadapi pemerintahan adalah meluasnya kemiskinan dan melebarnya ketimpangan ekonomi antara sekelompok kecil orang kaya dengan mayoritas rakyat yang semakin tidak memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan dasar akibat kenaikan harga harga,” ungkapnya kepada Obsession News, Senin (4/8/2014).
Sementara pemerintah dipaksa menikkan harga BBM paling tidak dalaam tahun ini sebesar 40% untuk mengatasi ambruknya APBN untuk membeli minyak mentah dari perusahaan asing di Indonesia dan membeli dari sumber sumber impor yang jumlahnya separuh dari kebutuhan minyak mentah nasional.
“Kenaikan harga BBM akan memiliki dampak lebih jauh pada kenaikan harga-harga, meningkatnya kemiskinan dan kesenjaangan ekonomi. Di sinilah era huru hara akan lebih cepat terjadi,” tandas Peneliti senior Indonesia for Global Justice (IGJ).
Sedangkan jika terus melakukan impor, dampaknya defisit perdagangan dan neraca pembayaran akan semakin membengkak. Saat ini sumber terutama defisit yang dihadapi Indonesia adalah impor minyak mentah. Perusahaan perusahaan kontraktor pemerintah lebih sibuk mengejar keuntungan dari kenaikan harga minyak mentah dan pasar finansial, ketimbang memproduksi minyak.
Menurut Daeng, satu satunya langkah yang dapat ditempuh pemerintah sekarang dan juga pemerintah ke depan adalah menumpuk utang luar negeri. Pemerintah dan swasta dikerahkan memburu utang. Swasta mencetak pendapatan dengan utang, pemerintah menutup APBN dengan utang. Perekonomian nasional tidak ditopang oleh peningkatan produktifitas dan nilai tambah, namun oleh utang.
Padahal utang luar negeri (ULN) Indonesia sudah berada pada tingkat yang membahayakan kedaulatan dan keselamatan bangsa dan negara. Hingga kwartal I 2014 utang ULN mencapai Rp. 3.317 triliun (pada kurs Rp. 12 ribu/USD). Total bungan dan cicilan utang pokok Rp. 421 triliun, melebihi seluruh pertumbuhan riel ekonomi Indonesia setahun. Bangsa indonesia bagai sapi perah bangsa bangsa di dunia.
Dengan demikian, tegas dia, seluruh hasil keringat, jerih payah bangsa Indonesia selama setahun tidak cukup untuk membiayai bunga dan cicilana pokok utang luar negeri. “Inilah bentuk penghisapan atas suatu bangsa yang sangat tidak beradab,” bebernya.
Demikian pula pemerintah sendiri, terus memburu utang dalam rangka menutup jebolnya APBN. Padahal total utang pemerintah dari luar dan dalam negeri Rp. 2.598, lebih dari 2 kali total penerimaan negara pajak setahun.
Utang pemerintah yang sudah sangat besar ini menyebabkan APBN tidak lagi mampu membiayai kesejhteraan sosial karena hanya cukup membayar bunga dan cicilan utang. Namun pemerintah seolah menutup mata dan hanya berfikir menyelamatkan diri sendiri. Tidak peduli dengan beban besar bagi generasi mendatang.
Pemerintahan ke depan seperti telur yang ditaruh di ujung tanduk, namun memikul beban yang sangat besar. Goncangan krisis internasional, pertarungan yang semakin keras antara kekuatan-kekuatan global, disertai dengan krisis ekonomi dan politik dalam negeri akan membuat bangsa Indonesia berahir berantakan. “Indonesia berada dititik kerapuhan di tengah ancaman globalisasi neoliberal yang semakin ganas,” tuturnya mengingatkan. (Ars)