Jumat, 29 Maret 24

Breaking News
  • No items

Surat Pengusiran

Surat Pengusiran

(Seri Pancasila, 9)
Oleh: Emha Ainun Nadjib

Saya balik ke rumah setelah melakukan perjalanan agak jauh menemui sahabat saya di tengah hutan rimba yang hampir tak pernah dijamah oleh manusia. Cukup lama saya merayunya agar bersedia kembali ke Indonesia, tetapi tetap gagal untuk kesekian kalinya.

Ia mengajukan tiga syarat untuk memenuhi permintaan saya. Tetapi syarat pertama saja tidak kunjung selesai kami sepakati. “Kapan Indonesia sudah ber-Pancasila, saya akan lega hati untuk kembali. Kapan saja Indonesia benar-benar menetapkan keseriusan konstitusionalnya untuk menegakkan Pancasila, serta meneguhkan kesungguhan hati dan perilaku Pancasilanya, maka tanpa kau jemput kemari pun aku akan balik sendiri ke Indonesia…”

Saya bilang sudah sejak lahir 72 tahun silam Indonesia sudah mendasari Negaranya dengan Pancasila. Dia membantah “Siapa bilang? Mana Buktinya?”. Kalau rakyatnya, terutama yang di bawah, relatif selalu sangat Pancasilais — tanpa merasa sok Pancasilais. Tapi elitnya? Pemerintahnya? Stakeholder-nya? Banyak perilaku mereka yang mencederai Pancasila, bahkan menentang atau mengkhianatinya”. Lantas kami berdebat, sangat panjang, dan makin tidak selesai.

Memang hutan di mana ia menyepi itu secara teritorial adalah bagian dari tanah air Indonesia. Hutan ini resminya milik Negara: entah siapa yang dimaksud Negara. Tetapi koordinat dan frekuensi rimba yang ia tinggali itu hampir tidak pernah tersentuh oleh mekanisme Negara.

“Indonesia ada di ruangan terdalam dari hati saya. Indonesia adalah bagian penting dari cinta kalbu saya”, kata sahabat saya itu pada suatu saat, “Adapun saya bukanlah bagian dari Indonesia, karena saya tidak pernah meminta bagian apa-apa dari Indonesia. Indonesia justru adalah bagian dari saya karena saya yang memberi bagian kepada Indonesia. Saya mensedekahi Indonesia, saya tidak menggunakan hak-hak saya untuk memperoleh pembagian apa-apa dari Indonesia, baik harta benda, jabatan, kekuasaan atau apapun”

Sahabat saya itu tahu bahwa pikirannya tidak bisa dipahami oleh kebanyakan orang, sehingga relatif hanya saya sendiri yang menemani hidupnya. Ia bekeluarga dan punya rumah di sebuah desa. Istri, anak-anak dan cucu-cucunya tinggal di rumah itu. Tetapi kalau kita ke rumahnya, ia tidak pernah ada. Ia di rumah itu hanya untuk dan bersama keluarganya, dan tidak untuk siapapun lainnya.

Di tengah hutan rimba itu saya pernah amati dia meminta rejeki langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia mendapat gumpalan emas, terkadang jatuh dari angkasa, saat lain seperti menggalinya dari tanah – saya tidak benar-benar yakin itu – atau mengambilnya dari gerumbul-gerumbul dedaunan. Gumpalan emas itulah yang ia pakai untuk membeli rumah dan menghidupi keluarganya. Selebihnya, ia berada di tengah rimba, ulang-alik ke rumahnya. Atau sekaligus ia berada di rumah dan juga di tengah rimba.

Saya kelelahan merayunya. Dan perdebatan kami hal Pancasila sangat alot dan terkadang mengerikan. Hal itu menyebabkan saya selalu ragu untuk menuliskannya. Maka sesampainya di rumah, saya menghela napas dan mengajak anak-anak saya omong-omong, agar supaya terhibur dan enteng hati saya.

“Anak-anak, salah satu yang Bapak tidak disukai dalam kehidupan adalah menasihati orang yang bukan Bapak sendiri. Kalian mungkin merasakan selama ini, jangankan kepada para tetangga atau masyarakat: sedangkan kepada Ibu kalian pun Bapak tidak pernah menasihati”

Dua anak saya sekilas berpandangan satu sama lain. Mudah-mudahan semakin tidak pahamnya mereka kepada Bapaknya, justru menghasilkan pemahaman yang lebih otentik dari dalam diri mereka sendiri. Pemahaman yang tidak terdapat pada kata-kata Bapaknya.

“Oleh karena itu apa yang akan Bapak kemukakan kepada kalian ini”, saya meneruskan, “mohon jangan dianggap sebagai nasihat, meskipun seorang Bapak memang selazimnya menasihati anak-anaknya. Tetapi mungkin lebih banyak pintu-pintu ilmu yang terbuka jika kalian anggap omongan Bapak ini adalah ungkapan seorang sahabat kepada sahabatnya. Kita adalah sekumpulan sahabat yang bersama-sama mencari makna hidup”

Anak-anak itu saling menoleh dan bertatapan lagi.

“Kalian adalah manusia-manusia yang dititipkan oleh Tuhan kepada Bapak dan Ibu. Kalian bukan sungguh-sungguh secara hakiki adalah anak Ibu dan Bapak. Kalian adalah ciptaan Tuhan yang diamanatkan kepada kami. Amanat itu berupa upaya terus- menerus untuk memastikan kehidupan kalian ini akan sampai kembali kepada Tuhan. Kita sama-sama ciptaan Tuhan, diletakkan di bumi, untuk meniti dan meneliti jalan agar tiba kembali di rumah-Nya. Yakni kampung asal-usul dan tempat mudik kita semua”

“Masing-masing makhluk Tuhan menempuh jalannya sendiri-sendiri, meskipun mereka selalu berkumpul dan bersama untuk mencocokkan pengetahuan dan penemuan mereka tentang tepat tidaknya jalan yang mereka lalui untuk tiba di depan pintu gerbang Tuhan. Kita masing-masing akan berhadapan dan mempertanggungjawabkan diri kita masing-masing di hadapan Tuhan, tanpa bisa menolong satu sama lain”

“Bapak dan Ibu kalian tidak mengerti kebenaran. Sebab tidak ada kebenaran yang lahir atau muncul dari manusia. Menurut Tuhan, kebenaran selalu dan hanya berasal dari-Nya, sedangkan manusia sekadar menemukannya, memetiknya dan menggunakannya. Jadi kalau ada unsur kebenaran dalam kata-kata Bapak kepada kalian, Bapak menjamin bahwa itu bukan pendapat Bapak, bukan kebenaran milik Bapak, melainkan kebenaran Tuhan. Al-haqqu min Rabbika, wa laisa minnii…”

“Bapak berterima kasih bahwa kalian tidak mengantuk mendengar kalimat-kalimat Bapak yang semakin kabur, melebar dan tidak begitu jelas. Tapi andaikanpun kalian tertidur, Bapak yakin bahwa telinga kalian tetap mendengar. Aliran darah kalian memiliki pendengarannya sendiri. Detak jantung kalian, berpendarnya miliaran urat saraf kalian, terutama apalagi ruh kalian yang bertapa di dalam jiwa kalian, senantiasa mendengarkan dan mencatat apapun yang sampai kepadanya, untuk ia proses menjadi bagian dari panduan perjalanan kalian”

“Ada banyak aplikasi penyerap dan pemroses data di dalam diri setiap orang. Telinga, otak dan akal hanya salah satunya. Bahkan seandainya Bapak diam dan membisu saja tiap hari, sesungguhnya kalian masing-masing memiliki alat serap untuk mengakses semua yang mengalir di hati dan pikiran Bapak, meskipun tak pernah Bapak ucapkan…”

Anak bungsu saya tiba-tiba memotong: “Pak, ke mana arah pembicaraan kita ini. Setahu saya yang Bapak bicarakan sejak tadi dan kemarin-kemarin kan Pancasila. Dan saya konsentrasi menantikan apa saja yang Bapak akan kemukakan tentang Pancasila. Sekarang kok pergi ke mana-mana…”

Saya bahagia mengalami anak saya memprotes saya. “Bapak tidak pergi mana-mana”, saya menjawab, “semua yang Bapak bicarakan ini masih di wilayah Pancasila. Dan kita baru menapakkan kaki mendekat ke Sila Pertama. Bapak baru saja akan membuka lembaran Surat Pengusiran…”

(Bersambung)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.