Jumat, 29 Maret 24

Breaking News
  • No items

Sudah Sesuaikah Udang Vannamei di Indonesia?

Sudah Sesuaikah Udang Vannamei di Indonesia?

Pekalongan – Budidaya udang vannamei (litopenaeus vannamei) beberapa tahun belakangan ini marak dikembangkan di Indonesia. Udang vannamei berasal dari daerah subtropis pantai barat Amerika, mulai dari Teluk California di Mexico bagian utara sampai ke pantai barat Guatemala, El Salvador, Nicaragua, Kosta Rika di Amerika Tengah hingga ke Peru di Amerika Selatan.

Seiring perkembangan waktu, udang vannamei menjadi budidaya yang menarik di kawasan Amerika Latin hingga ke Asia. Udang Vannamei mulai masuk ke Indonesia pada tahun 2001 dikarenakan produksi udang windu yang menurun sejak tahun 1996 akibat berbagai kendala.

Awalnya udang vannamei dianggap tahan terhadap serangan penyakit. Tetapi, dalam perkembangannya udang vannamei juga terserang WSSV (White Spot Syndrome Virus), TSV (Taura Syndrome Virus), IMNV (Infectious Myo Necrosis Virus), vibrio, dan penyakit terbaru yaitu EMS (Early Mortality Syndrome).

Dr. Ir. Benny Diah Madusari M. Si, dosen Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan
Dr. Ir. Benny Diah Madusari M. Si, dosen Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan

“Sebulan yang lalu saya ke tambak di Slamaran dan Wiradesa, yang menanam udang vannamei. Mereka juga mengalami kegagalan panen. Banyak faktornya seperti penyakit, kondisi tambak dan lain sebagainya,” ujar Dr. Ir. Benny Diah Madusari M. Si, dosen Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan, Jawa Tengah, kepada obsessionnews.com, Senin (05/01/2014) pagi.

Keberadaan udang vannamei  membuat popularitas udang lokal menjadi berada satu tingkat di bawahnya. Salah satu yang mendapat dampaknya adalah udang windu (penaeus monodon). Hampir rata-rata petani tambak yang ada di Indonesia, khususnya di Kota Pekalongan, mulai menggunakan varietas udang vannamei. Hal tersebut dapat membuat rasa nasionalisme terhadap udang windu sebagai produk asli Indonesia menjadi berkurang. “Indonesia kan mempunyai banyak biota yang berpotensi untuk dikembangkan dengan berbagai rekayasa dan lainnya. Vannamei itu udang dari luar negeri, kenapa kita tidak mengembangkan udang windu atau udang Galah yang asli Indonesia?” kata Benny.

Sementara itu Kementerian Kelautan dan Perikanan akan meningkatkan jumlah konsumsi udang vannamei menjadi 60-70% melalui program revitalisasi tambak yang diterapkan di enam provinsi di Indonesia saat ini. Sedangkan pembudidayaan udang Vannamei membutuhkan perawatan yang tinggi. “Program pemerintah tentang pengembangan udang Vannamei sebenarnya itu bagus hasilnya, namun bagaimana program tersebut untuk dikembangkan masyarakat lainnya? Udang vannamei membutuhkan banyak persyaratan, seperti kincir air dan yang lain dalam budidayanya. Sementara rata-rata petani tambak di daerah pantura adalah petani tradisional plus, bukan skala intensif. Jadi tentu saja kesulitan untuk memiliki peralatan tambak yang mahal harganya,” tuturnya.

Udang vannamei membutuhkan berbagai peralatan, seperti kincir air, plastik dan kualitas tambak yang baik. Kondisi tersebut tentunya akan sulit dilakukan para petani tambak tradisional plus. Yang dimaksud tradisional plus adalah petani tambak tersebut belum secara intensif melakukan budidaya perikanan. Sedangkan hampir sebagian besar para petani tambak yang ada di Kota Pekalongan merupakan petani tambak tradisional plus.

“Menurut saya, buatlah program yang sekiranya semua (petani tambak) mampu untuk mengembangkan ikan di tambak. Kalau udang Vannamei masih menggunakan teknologi tinggi dan modalnya juga masih tinggi jadi, sulit untuk dibeli petani tambak lainnya. Kalau saya boleh usul, kembangkan potensi ikan yang ada, yang asli Indonesia seperti bandeng, nila, udang windu, dan udang galah. Dan varietas tersebut pemeliharan serta pemeliharannya lebih mudah, tidak memerlukan teknologi canggih namun hasilnya lebih menguntungkan,” pungkasnya. (Yusuf Isyrin Hanggara)

Related posts