Sabtu, 27 Juli 24

Subianto Djojohadikusumo dari Sekolah Tinggi Kedokteran ke Sekolah Tinggi Islam

Subianto Djojohadikusumo dari Sekolah Tinggi Kedokteran ke Sekolah Tinggi Islam
* Lukman Hakiem, Penulis Biografi Dr. Anwar Harjono, S.H.

Oleh Lukman Hakiem, Penulis Biografi Dr. Anwar Harjono, S.H

Pemerintah pada akhir 1954 terjadi peristiwa penting  yang tidak terlalu diketahui publik. Pada akhir 1944 ada mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran, Ika Daiganu yang tidak mau dicukur rambutnya, dan karena itu dikeluarkan dari Ika Daigaku.

 

Peristiwa yang terjadi sesungguhnya lebih dari itu. Dengan menolak pencukuran paksa, para mahasiswa Ika Daigaku itu sesungguhnya sedang menyatakan sikap menolak penjajahan Jepang.

 

Tidak lama sesudah pemberontakan mahasiswa Ika Daigaku di Jakarta berdiri Sekolah Tinggi Islam (STI) pada bagian permulaan diterima 13 mahasiswa, antara lain Anwar Harjono, Subianto Djojohadikusumo (salah seorang mahasiwa Ika Daigaku yang memberontak, Soeroto Koento (dengan pangkat Mayor TNI, pada 1946 hilang di kampung Warung Bambu Karawang, sepulang dari Cileungsi untuk menginspeksi laskar-laskar di sana yang akan ditentarakan. Mobil Soeroto ditemukan di tepi jalan Warung Bambu dalam keadaan mesin masih hidup. Untuk mengenang jasa Soeroto Kunto, di tempat ditemukannya mobil Mayor Soeroto didirikan. Monumen berbentuk bambu runcing).

 

Seorang lagi mahasiswa  yang pindah ke DTI islah Bagdja Nitidiwirja yang kelak berkarier sebagai diplomat

 

Bakat kepemimpinan Subianto sudah terlihat sejak di STI. Untuk meneguhkan persatuan di pelajar dan mahasiswa DTI, Subianto menginisiasi pembentukan Persatuan Pelajar STI (istilah mahasiswa di masa itu belum populer PP STI kelak dikenal sebagai Dewan Mahasiswa UII).

 

Bersamaan dengan hijrahnya ibu kota RI dari Jakarta ke Yogyakarta, STI  yang staf pengajarnya mayoritas  adalah para menteri dalam Kabinet Presiden Sukarno, ikut hijrah ke Yogya.  Nama STI kemudian diubah namanya menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).

 

Di samping kuliah, Soebianto aktif dalam gerakan pemuda yang mendesak Sukarno-Hatta supaya segera memproklamasikan kemerdekaan di luar skenario Jepang. Bersama Soebadio Sostrosatomo, Soebianto diberi amanah menyampaikan aspirasi para pemuda kepada Bung Karno dan Bung Hatta.

 

Ketika aspirasi pemuda itu ditolak oleh Bung Karno, Soebianto dan Soebadio menyambangi Bung Hatta.

Seperti Bung Karno, Bung Hatta juga menolak aspirasi pemuda yang disampaikan oleh Soebianto dan Soebadio.

Sejak saat itu, kenang Hatta, Soebianto jarang datang ke rumah Hatta.

 

Sesudah Proklamasi, Soebianto kembali rajin menyambangi Hatta, hingga Soebianto gugur dalam peristiwa Lengkong, Januari 1946.

 

Salah seorang sahabat Soebianto di STI, A. Karim Halim, mengenang di bawah kepemimpinan Soebianto, PP STI berkembang menjadi organisasi pemuda perjuangan.

 

Tanpa kenal lelah, Soebianto kerap mengumpulkan para mahasiswa STI untuk menggembleng mereka dengan niaii-nilai kebangsaan dan kemerdekaan.  Soebianto juga menitipkan  beberapa semboyan perjuangan kepada Karim Halim dengan pesan agar semboyan-semboyan Itu ditulis dan dilukis di tembok-tembok kota, di trem, gerbong kereta api, dan di badan-badan oto mobil.

 

Ketika seorang mantan opsir Pembela Tanah Air, Otto Djajasoentara, yang sedang mencari keluarganya di Jakarta, menginap di markas PP STI, Karim Halim meminta Otto yang pandai melukis dan bagus tulisannya untuk menuliskan semboyan perjuangan titipan Soebianto di tempat-tempat yang strategis.

 

Dibantu para penghuni Asrama Balai Muslimin Indonesia yang terletak di Jl. Kramat Raya 19, Otto menuliskan: Any Nationa has the right to self determination, Indonesia Never the life blood  of any nation, INDONESIA MERDEKA, dan 70 juta rakyat Indonesia: SATU.

 

Aksi corat-coret yang dipelopori oleh penghuni asrama mahasiswa STI, Balai Muslimin Indonesia, segera menjalar ke seluruh kota di Indonesia, terutama di Jawa.

Karim Halim mencatat, mahasiswa STI, Djanamar Asjam menyelundupkan banyak sekali senjata terutama karaben, pistol, dan granat ke Balaii Muslimin.

 

Anggota PP STI yang menyebar ke seluruh Jawa, oleh Anwar Harjono dibekali selebaran berupa kutipan ayat Quran dan hadits yang mengibarkan semangat jihad Sabilillah.  Teman-teman Anwar Harjono dari Tanah Abang dan Jatinegara  mengirimkan banyak sekali bambu runcing siap pakai ke Balai Muslimin.

 

Seiring dengan makin berkembangnya PP STI, makin banyak pemuda pejuang mengenal Balai Muslimin  dan menganggapnya sebagai markas perjuangan pro-kemerdekaan, maka muncul keinginan untuk mendirikan organisasi pemuda yang lebih besar dan lebih mencakup.

 

Pada akhir September 1945 dipimpin oleh Subianto dan Soeroto dimulailah pembicaraan tentang pembentukan organisasi pemuda yang lebih luas dan lebih mencakup. Rapat pembentukan organisasi yang dipimpin Soebianto dan Soeroto memanas. Ada dua pendapat yang berkembang. Satu pendapat menghendaki organisasi bersifat kebangsaan, yang lain berpendapat sebagai organisasi pemuda Islam karena lahir dari STI.

 

Demikianlah, maka pada 2 Oktober 1945 berdirilah Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Atas saran Anwar Tjokroaminoto ditunjuklah Harsono Tjokroaminoto seorang pejuang anti Jepang yang saat itu sedang berada dalam tahanan kempetai menjadi Ketua Umum PP GPII.

 

Anwar Harjono, teman seangkatan Soebianto ditunjuk menjadi Sekretaris Umum PP GPII.

 

Sejak kelahirannya, GPII aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan dengan semangat demokrasi.

 

Pada Kongres Pemuda Indonesia di Yogyakarta, November 1945, PP GPII hadir diwakili oleh Achmad Boechori dan Anwar Harjono menolak keras rencana pembentukan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) sebagai wadah tunggal organisasi pemuda Indonesia. Sebagai pengganti Pesindo, dibentuklah Badak Kongres Pemuda Republik Indonesia yang diketuai oleh Chairul Saleh. Ahmad Buchori dari PP GPII dipercaya menjadi Wakil Ketua.

 

Para mahasiswa STI seperti Soebianto Djojohadikusumo, Soeroto Koento, Djanamar Adjam, Anwar Harjono, dan Muftraini Mukmin yang mengawal Sukarno-Hatta dalam perjalanan penuh resiko menuju Lapangan Ikada pada 19 September 1945, dengan cara masing-masing telah berjuang bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan. Mereka semua adalah para pahlawan yang layak dikukuhkan menjadi pahlawan nasional.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.