Selasa, 23 April 24

SPKP Tuntut Sudirman Said Mundur Dari Menteri ESDM

SPKP Tuntut Sudirman Said Mundur Dari Menteri ESDM

Jakarta, Obsessionnews – Pertamina sudah mendapat restu dari Pemerintah untuk mengambil alih Blok Mahakam dari Total E&P Indonesie dan Inpex Corportion. Namun dalam pelaksanaannya menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto, 10 Desember 2014 menyatakan, jika izinnya harus disetujui oleh Staf Ahli Khusus Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Widhyawan Prawiraatmaja.

Widyawan sebelumnya merupakan Deputi Pengendalian Komersil di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang berkarir di SKK Migas sejak Februari 2013, dan ditunjuk sebagai Staf Khusus setelah Sudirman Said baru menjabat beberapa hari sebagai Menteri ESDM.

Akibat hal ini, Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (SPKP) merasa terusik dengan kewenangan Staf Khusus Menteri ESDM yang diberi wewenang untuk kepastian memberi izin kepada Pertamina guna mengambil alih Blok Mahakam. Bahkan, sejak awal Ketua Umum SPKP Binsar Effendi Hutabarat memang merasa gusar memperoleh informasi tersebut.

Menurut Binsar Effendi yang juga Ketua FKB KAPPI Angkatan 1966, Pasal 12 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2001 yang menyatakan, “Menteri menetapkan Badan Usaha (BU) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja”.

Sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”; dalam lapangan hukum administrasi negara, pengertian pemberian wewenang adalah pelimpahan kekuasaan dari pemberi wewenang, yaitu negara. “Sehingga dengan pencantuman kata “diberi wewenang kepada BU dan BUT” maka penguasaan negara menjadi hilang,” tegas Binsar, Kamis (12/2).

Oleh karena itu, menurut Binsar, kata-kata “diberi wewenang” menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara No. 002/PUU-I/2003 tentang uji materi UU Migas No. 22 Tahun 2001 terhadap UUD 1945, tidak sejalan dengan makna Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, di mana wilayah kerja sektor hulu adalah mencakup bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang salah satunya adalah minyak dan gas bumi (migas), yang merupakan hak negara untuk menguasai melalui pelaksanaan fungsi mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi. Sehingga adanya kata-kata “diberi wewenang” kepada menteri dalam Pasal 12 ayat (3) dimaksud adalah bertentangan dengan UUD 1945.

“Apalagi kepastiannya untuk Pertamina mengambil alih Blok Mahakam harus seizin Staf Khusus Menteri ESDM, semakin tidak sesuai dengan Putusan MK tersebut,” paparnya.

Selanjutnya, berdasarkan keterangan Pemerintah, mulai 1 Januari 2015 harga premium diberlakukan setelah Pemerintah mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium mulai 1 Januari 2015, meski Pemerintah masih campur tangan dalam penentuan harga bensin premium dengan Research Octane Number (RON) 88.

Ia pun mempertanyakan pernyataan Menteri ESDM Sudirman Said yang mengatakan, ada tiga kategori BBM dalam kebijakan baru Pemerintah tersebut. Pertama, BBM tertentu yang masih disubsidi, yakni minyak tanah dan solar. Sementara BBM umum yakni bensin premium tidak lagi disubsidi dan berlaku untuk wilayah Jawa, Madura, dan Bali.

Sekalipun Sudirman Said mengatakan saat ini harga BBM tersebut masih bersifat tunggal atau single price yang ditetapkan oleh Pemerintah karena masih dalam masa transisi, tapi jika skema ini sudah berjalan, akan diberikan kelonggaran kepada pelaku pasar untuk menentukan harga.

“Ini artinya, jelas harga BBM jenis bensin premium menjadi mengikuti harga mekanisme pasar bebas,” tegas Binsar Effendi yang juga Komandan Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM).

Padahal, jelas dia, Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU No. 22 Tahun 2001 yang berbunyi “Harga BBM dan harga Gas diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; serta pelaksanaan kebijaksanaan harga tidak mengurangi tanggungjawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”, oleh MK campur tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga haruslah menjadi kewenangan yang diutamakan untuk cabang produksi yang penting dan atau menguasai hajat hidup orang banyak.

“Pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga tersebut termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar,” tandasnya.

Tapi Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas No. 22 Tahun 2001 tersebut mengutamakan mekanisme pasar dan baru kemudian campur tangan Pemerintah sebatas menyangkut golongan masyarakat tertentu, sehingga lanjutnya, tidak menjamin makna prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, guna mencegah timbulnya praktik yang kuat memakan yang lemah.

“Menurut MK, seharusnya harga BBM dan harga Gas dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme pasar,” terangnya.

Oleh karena itu, tutur Binsar, Pasal 28 ayat (2) dan (3) tersebut oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Sama artinya harga BBM jenis premium yang mengikuti mekanisme pasar, jelas mengkhianati konstitusi negara.

Mengejutkan
Ia juga menilai, adanya pernyataan Menteri ESDM Sudirman Said yang cukup mengejutkan, karena mengakui dalam rapat bersama Komisi VII DPR pada 3 Februari 2015, yang berkeluh kesah bahwa hingga saat ini Pertamina belum lepas dari intervensi politik, sehingga tidak semua kebijakan yang dilakukan Pertamina diapresiasi. Maka menurut Sudirman Said, jika kondisi ini terus berlangsung, Pertamina bisa bubar dan kembali kepada transaksi yang tidak bersih. Lalu Sudirman pun berharap, Komisi VII DPR bisa menjaga Pertamina lepas dari intervensi politik.

“Ini menjadi kekanak-kanakan. Sebagai menteri, tidak seharusnya Sudirman said mengatakan demikian,” kecam Binsar.

Pasalnya, ungkap dia, saat Dirut Pertamina Karen Agustiawan memohon agar Pertamina tidak di intervensi, kami di SPKP mendukung pernyataan Karen. Tapi jika oleh Menteri ESDM Sudirman Said dikatakan Pertamina bisa bubar apabila kondisi intervensi terus berlangsung, jelas menyinggung perasaan pensiunan Pertamina yang sudah payah merintis, membangun dan membesarkan Pertamina.

”Kami pun menyesalkan jika seorang menteri tak pantas mengatakan demikian, karena tugas menteri juga diantaranya untuk mengawasi Pertamina. Ada wakil Kementerian ESDM yang menjabat komisaris Pertamina!” seru Ketua Umum SPKP.

Belakangan target lifitng minyak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 turun dari 849 ribu barel per hari (bph) menjadi 825 ribu bph. Usulan lifting minyak pada 28 Januari 2015 lalu ini disepakati oleh semua fraksi, setelah Pemerintah memberikan angka realistis raihan antara 810 ribu hingga 825 ribu bph yang oleh Kepala SKK Migas, Amin Sunaryadi, mengatakan angka itu diformulasikan berdasarkan hitungan engineering dan data di lapangan sebelum dilaporkan kepada Menteri ESDM pada akhir November 2014.

Bahkan, lanjut Binsar, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) mengubah target dengan menurunkan produksi hingga 15 ribu bph. Selain itu ada kontraktor yang menunda operasi yang diperkirakan akan turun lagi 10 ribu barel. “Padahal produksi lifiting minyak sebenarnya masih dapat digenjot pada kisaran lebih dari 840 ribu barel per hari. Menurut Binsar Effendi, “Raihan target lifting minyak bergantung pada keseriusan Pemerintah,” tambahnya.

Sebab, jelas dia, Pasal 22 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2001 sepanjang mengenai kata-kata “ paling banyak”; yang berbunyi “BU atau BUT wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri” dinyatakan dalam Putusan MK bertentangan dengan UUD 1945.

Menurutnya, dari bunyi pasal tersebut bahwa BU atau BUT wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi migas untuk memenuhui kebutuhan dalam negeri, dapat mengakibatkan pihak BU atau BUT tidak melaksanakan tanggungjawabnya untuk turut memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 19 dalam rangka penjabaran Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu prinsip untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri.

MK sendiri menilai bahwa prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam cabang produksi migas mengandung pengertian bukan hanya harga murah maupun mutu yang baik, tetapi juga adanya jaminan ketersediaan BBM dan pasokan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang mencantumkan kata-kata “paling banyak”, sambungnya, maka hanya ada pagu atas patokan persentase tertinggi tanpa memberikan batasan pagu terendah, hal ini dapat saja digunakan oleh pelaku usaha sebagai alasan yuridis untuk hanya menyerahkan bagiannya dengan persentase serendah-rendahnya.

Oleh karena itutegas Binsar, K menganggap kata-kata “paling banyak” harus dihapuskan karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya, pengaturan mengenai pelaksanaan penyerahan 25% bagiannya yang dimaksud, dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (2) UU Migas.

“Dengan demikian turunnya target lifting, nampaknya karena Pemerintah tidak sungguh-sungguh mengikuti putusan MK alias tidak bertanggungjawab,” bebernya.

Dalam usia Sudirman Said menjabat Menteri ESDM belum seratus hari kinerjanya, tata kelola migas bukan semakin membaik malah memburuk. Sehingga untuk tidak berlarut-larut dan menjadi carut marut, menurut Binsar Effendi, eSPeKaPe menuntut Sudirman Said sebaiknya mundur.

“SPKP dengan demikian akan menuntut mundur Sudirman Said dari jabatan Menteri ESDM karena selain mindsetnya cenderung neolib, juga tak mampu meningkatkan lifting minyak, termasuk menumpas mafia migas yang dikehendaki oleh rakyat,” pungkas Binsar. (Purnomo)

Related posts