Jumat, 19 April 24

Putin, Trump, Erdogan & Jokowi dalam Sebuah Puisi

Putin, Trump, Erdogan & Jokowi dalam Sebuah Puisi
* Derek Manangka. (Foto: dok. pribadi)

Oleh: Derek Manangka, Wartawan Senior

Selasa lewat tengah malam, tepatnya Rabu dini hari 4 April 2018 Presiden Turki Recep Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin tampil dalam sebuah konperensi pers bersama di Ankara, ibu kota Turki.

Penampilan kedua Presiden dalam event seperti itu  jelas cukup mengejutkan dunia. Terutama negara-negara yang masih memiliki semangat berkompetisi secara global.

Pasalnya, Turki merupakan sekutu kuat Amerika Serikat, sementara Rusia merupakan musuh abadi Amerika Serikat.

Lalu apa yang mendorong secara tiba-tiba dua negara yang “saling bermusuhan” karena faktor Amerika Serikat ini, menjadi akrab dan bersahabat ?

Bahkan kalau dilihat sejarah terakhir, hubungan bilateral Turki – Rusia sebetulnya memiliki dua insiden yang semestinya bisa memperburuk hubungan mereka.

Pertama ketika Dubes Rusia untuk Turki, Andrei Karlov, pada 19 Desember 2016 ditembak mati oleh seorang polisi Turki yang seharusnya menjaganya, saat sang diplomat sedang membuka sebuah acara kebudayaan di Ankara.

Kedua, sewaktu pesawat jet tempur Rusia yang mengawasi Perang Saudara di Syria pada 24 Nopember 2015 , ditembak jatuh oleh Angkatan Udara Turki, kekuatan militer yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO – North Atlantic Treaty Organization), pimpinan Amerika Serikat.

Sementara itu, inti persoalan yang disampaikan, Erdogan dan Putin, sebuah kesepakatan bisnis yang bernilai cukup fantastis. Kesepakatan itu merupakan buah dari kunjungan dua hari Putin di Turki.

Yakni Turki menaruh kepercayaan penuh kepada Rosatom, perusahaan Rusia, untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir. Biaya atau investasinya sebesar US$ 20 miliar

Jumlah itu setara dengan Rp. 260,- triliun – dengan perhitungan kurs US$ 1 = Rp. 13 ribu. Dan disebut-sebut sebagai investasi asing terbesar yang pernah dilakukan Rusia di negara yang bukan “sahabat sejatinya”.

Dipercayanya Rosatom itu sendiri oleh Turki, sama nilainya dengan pengakuan yang legitimate bahwa bekas pecahan Uni Soviet ini, juga mengembangkan nuklir untuk tujuan damai. Rusia tidak semata-mata mengembangkan nuklir untuk kepentingan perang.

Rosatom yang didirikan tahun 2001, hanya selang sekitar 11 tahun setelah Uni Soviet bubar, saat ini merupakan perusahaan pembuat pembangkit listrik tenaga nuklir yang menduduki ranking teratas di dunia di antara semua perusahaan sejenis.

Dan kalau dilihat kinerjanya, perusahaan ini semakin berkembang pesat semenjak Rusia dipimpin oleh Vladimir Putin, seorang mantan perwira intelejen KGB.
Dengan keberhasian Rosatom ada semacam kepercayaan yang kuat, visi intelejen seorang Putin, memiliki jangkauan yang luas dibanding pemimpin Rusia sebelumnya. Apakah itu Boris Yeltsin atau Mikhail Gorbachev.

Atau Rusia di bawah kepemimpinan Putin tidak menghadirkan politik perang, hanya sekadar menyaingi Amerika Serikat. Rusia juga berpikir bagaimana membangun dunia lewat kesejahteraan.

Usaha Rusia melalui Rosatom sekaligus untuk meyakinkan Turki, bahwa kalau mau hitung-hitungan bisnis, Moskow lebih memberi keuntungan dan kesejahteraan ketimbang Washington.

Karena dengan tersedianya listrik yang stabil dan berkualitas – sebagai hasil dari teknologi nuklir, Turki bakal dijemput oleh hari depan yang lebih baik.

Negara Islam di persimpangan Asia – Eropa ini, tinggal menghitung dan menunggu waktu untuk menjadi sebuah negara industri ataupun negara makmur.

Dan jaminan seperti itulah yang tidak diberikan oleh Amerika Serikat kepada Turki selama ini.

Terhadap Turki, Amerika tetap memperlakukan politik standar ganda. Sebagai contoh, secara politik dan diplomasi Amerika Serikat mengakui pemerintah Recep Erdogan. Tetapi secara de facto, Amerika Serikat memelihara pemimpin oposisi Turki yang berdiam di pengasingan (Amerika).
Konferensi pers bersama Erdogan – Putin disiarkan langsung oleh BBC, televisi Inggris.

Ada rasa janggal yang mengganjal sewaktu menyaksikan pemandangan di konferensi pers itu dan sedang berpikir, apa dan bagaimana kira-kira reaksi Amerika Serikat?

Terlintas dalam bayangan, Amerika Serikat pasti “terpukul” atau merasa “kecolongan” dengan kerja sama Turki – Rusia di awal tahun 2018 ini. Bisa saja Amerika marah kepada Turki yang membangun persahabatan dengan Rusia.

Setidaknya Turki, sebagai sekutu Amerika, tidak setia atau tengah bermain mata dengan Rusia.

Di pihak lain, saya menilai Rusia di bawah pemerintahan Putin, mampu meyakinkan Turki untuk tidak hanya bersahabat dan “bergantung” serta “tergantung” pada Amerika. Turki harus merevisi kebijakan politik globalnya.

Turki tidak akan menjadi negara yang punya identitas dan karakter kuat, bila terus mengandalkan harapan-harapan yang diberikan Amerika. Apalagi sudah terbukti banyak di antara harapan baik hanya sebatas harapan palsu.

Dan yang lebih mendasar lagi – dengan kerja sama binis seperti itu, negara Islam ini, sepertinya tidak lagi merasa takut diblok ataupun khawatir terkena sanksi oleh Amerika.

Saat lintas bayangan itu belum hilang, eh, tiba-tiba layar TV BBC, berganti dengan siaran langsung dari Gedung Putih, Washington, Amerika.

Muncullah sebuah pemandangan yang tak kalah bernilai berita.

Donald Trump, Presiden Amerika Serikat tengah menyampaikan sambutan di Konferensi Tingkat Tinggi Negara Balkan. Negara yang terdiri dari sejumlah negara kecil di Eropa Timur yang dulunya bagian dari Rusia saat Rusia masih merupakan kesatuan dari negara komunis Uni Soviet.

Di sini saya menilai, luar biasa kepekaan jurnalis BBC. Media ini dengan cara itu secara terbuka dan berbasis profesionalis, mempertontonkan sejumlah langkah diplomasi Presiden Turki yang cerdas dan piawai.

Sebab disiarkannya secara langsung peristiwa dimana Presiden AS Donald Trump di Washington sedang memuji-muji negara Balkan sangat atau cukup kontras dengan pemandangan di Ankara.

Puji-pujian Donald Trump tak lebih dari sebuah wacana. Berbeda dengan Presiden Rusia Vladimir Putin yang melakukan tindakan konkret di Ankara.

Kontes persaingan Rusia – Amerika dan kecerdasan Presiden Turki Recep Erdogan, mau tak mau membawa lamunan ke Indonesia.

Keesokan harinya – tepatnya sepanjang Rabu 4 April 2018, saya amati pemberitaan dan ulasan tentang peristiwa di atas di media-media mainstream. Entah terlewat atau memang tidak ada, yang pasti saya merasakan adanya kesenjangan cara berpikir dan melijat persoalan dunia – di dalam diri kita.

Media-media kita lebih tertarik membahas soal persaingan politik menjelang Pilpres 2019. Yang pro kepada Jokowi semakin menjadi-jadi, membelanya seperti seorang manusia super dan paling sempurna di jagad raya ini.

Hal serupa terjadi pada pihak yang paling tidak menyukai Jokowi untuk terpilih kembali sebagai Presiden untuk periode 2019 – 2024. Pokoknya, Jokowi sosok yang paling tidak pantas untuk memimpin Indonesia.

Sebagai warga yang belum menentukan pilihan pada Pilpres 2019, saya hanya membatin: kasihan banget nasib bangsaku ini.

Mengapa tidak hadir pemimpin seperti Recep Erdogan?

Presiden Turki ini sangat tahu kekuatan dan kelemahan negaranya.

Karena itulah dia bisa memilih kekuatan apa yang harus dia mainkan menghadapi negara-negara seperti Rusia, Amerika dan negara-negara satelit dari kedua negara itu.

Kalau Rusia dan Amerika bisa disamakan dengan binatang buas – jenis buaya, maka cara menghadapinya jangan dengan kekuatan sendiri.

Kebuasan para buaya ini harus ditaklukannya secara manis dan jitu. Para buaya ini sebetulnya sedang mengapung di atas sungai yang keruh.

Erdogan seperti cerita dongeng dan legenda Joko Tingkir. Ia akhirnya bisa menyeberangi sungai keruh itu dengan melompat- lompat di atas punggung buaya Rusia dan buaya Amerika.

Para buaya itu, tak satupun yang bisa memangsanya.

Khusus terhadap Amerika yang terkenal dengan politik dan kebijakan berstandar ganda, oleh Erdogan dihadapinya dengan kebijakan multi standar.

Erdogan tetap membiarkan pangkalan militernya bercokol di negaranya sekalipun tidak semua kebijakan luar negeri Washington, seperti dalam soal ISIS dan Perang Saudara Syria, disepakatinya.

Erdogan juga tetap menjaga hubungan baiknya dengan Israel. Sekalipun ketika Washington mendukung pemindahan ibukota Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem, Erdogan menggalanag kekuatan OKI (Organisasi Kerjasama Islam) bertemu di Ankara dan memprotes keputusan Washington tersebut.

OKI pun sepakat menggelar KTT Darurat dengan tuan rumahnya Turki.

Secara de facto, semua negara anggota OKI yang hadir di KTT Luar Biasa Turki, sebetulnya berhasil diperalat ataupun dikelabui oleh Presiden Erdogan. Termasuk kita, Indonesia.
Sebab yang dilaksanakan Turki di dunia diplomasi, tidak sama dengan hasil KTT OKI di negaranya.

Indonesia atau Presiden kita Pak Jokowi saja yang kelihatannya tidak sadar tentang pengelabuan ini.

Mungkin karena masukan yang bias dari para penasihatnya dan menganggap politik global yang ada selama ini, cukup dihadapi dengan cara-cara bergaul secara pribadi.

Kalau kita bersikap baik kepada negara sahabat, maka yang bersangkutan pun secara resiprokal akan berbuat baik.

Yah akan fatal-lah kalau sikap itu yang jadi parameter. Sampai kapanpun, negara kita tak bakal diperhitungkan dunia.

Saya berharap, tidak ada yang tersinggung dengan catatan ini. Tokh catatan ini bisa disamakan dengan sebuah puisi semata.

 

Sumber: www.facebook.com/catatan.tengah/

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.