Kamis, 25 April 24

Ada Cinta Ajaib Tumbuh di Makkah

Oleh: Helmi Hidayat, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

Di banyak kesempatan saya melihat Kabah dari jarak dekat, kerap terbayang dalam pikiran saya Kabah di masa lalu, ketika Dewa Hubal masih berdiri gagah di dalam kubus hitam itu. Itu masa lalu yang kelam tentu saja, tapi tetap saja tak terhindarkan dari residu pikiran. Terlalu banyak catatan sejarah yang sangat menawan kerap menempel ketat dalam pikiran saya. Karena Dewa Hubal dipersepsikan berjenis kelamin laki-laki, saya kerap membayangkan patung dewa jantan itu mirip Rahwana, raja Alengka dalam epos Ramayana yang menculik Dewi Shinta.

Membayangkan Rahwana dan Dewi Shinta saya malah membayangkan percintaan terindah di antara kedua makhluk berlainan jenis itu. Berbeda dengan banyak orang, yang mempersepsikan penculikan Rahwana atas Shinta sebagai bentuk percintaan paling kejam, saya justru sependapat dengan persepsi segelintir orang yang menyebut cinta Rahwana pada Shinta justru merupakan cinta murni seorang laki-laki pada lawan jenisnya. Saat menculik Shinta, Rahwana sesungguhnya bukan sedang bernafsu kepada perempuan karena alasan kecantikan semata, tapi saat itu dia sangat yakin bahwa sukma Dewi Setyawati, satu-satunya perempuan yang ia cintai dan telah tiada, telah menitis dalam raga Shinta.

Alasan inilah yang menjelasakan mengapa selama tiga tahun disekap dalam taman Asoka, Rahwana tidak pernah meniduri Shinta dengan paksa. Putera pasangan Kaikesi dan Sumali itu menunggu dengan sabar cinta ajaib tumbuh dari dada Shinta. Ia mengajak Shinta berbicara dalam diam untuk mengembalikan ingatannya bahwa sukma Dewi Setyawati, yang kini bersemayam dalam dirinya, dulu pernah mencintainya sepenuh hati. Cinta ajaib kadang tumbuh dalam dialog diam. Diam-diam Shinta mulai jatuh cinta pada Rahwana karena tokoh bergelar Dasagriva ini justru menunjukkan kelembutannya yang tersimpan sepanjang Shinta menetap di Asoka.

Inilah cinta ajaib, cinta murni, cinta yang tak mengenal usia, rupa dan kasta. Rahwana mencintai Shinta tanpa pernah bertanya ia perawan atau bukan, ia cantik atau tidak, terpenting adalah bahwa sukma Dewi Setyawati ada dalam raga perempuan muda itu. Sebaliknya Shinta diam-diam juga mencintai Rahwana yang jauh lebih tua, buruk muka dan jelek peringai, hanya karena ia berhasil mengajaknya berdialog dalam diam. Rahwana berhasil membangun istana cinta dalam dada Shinta, semegah gabungan kerajaan Alengka dan Ayodya.

Bagaimana dengan cinta Rama pada Shinta? Cinta Rama bukanlah cinta murni. Cintanya lebih tepat disebut cinta birahi. Pertama-tama Rama menikahi Shinta bukan karena silau pada ‘’inner beauty’’ Shinta, tapi karena ia sekadar memenangkan sayembara. Kedua, ia tak mau menjamah Shinta lantaran curiga jangan-jangan Shinta sudah ternoda oleh Rahwana. Kalkulasi cinta Rama dibuat berdasarkan status ‘’suci’’ atau ‘’ternoda’’. Ada hitungan material dalam cinta Rama!

Kecewa dengan tuduhan Rama, Shinta membuktikan dirinya suci dengan menceburkan dirinya dalam bara api. Jika terbakar, ia ternoda. Jika tak terbakar, ia masih suci. Saat Shinta terbukti tak terbakar, barulah Rama mau memeluk Shinta. Tapi, itukah cinta ajaib yang membuat kita terpana? Benarkah cinta murni diukur dari kesucian ‘’anggota badan’’? Rahwana justru membuktikan cintanya pada Dewi Setyawati yang menitis dalam diri Shinta adalah cinta yang tak terpadamkan oleh usia, zaman, juga kalkulasi fisika.

Sebagai seorang Muslim, tentu saja saya hanya menikmati trilogi cinta Rahwana-Rama-Shinta dalam epos Ramayana itu. Saat saya duduk di bangku sekolah dasar, guru saya kerap menceritakan epos ini dengan retorika super bagus dan itu sangat membekas dalam benak saya. Kini, dengan menceritakan kembali apa yang tebersit dalam pikiran saya tentang Rahwana dan Shinta, saya hanya ingin mengajak Anda berselancar dalam alam pikiran banyak orang tentang konsep cinta ajaib – energi kasih yang bergelora kuat dalam diri seseorang yang ia salurkan secara kuat pula kepada lawan jenisnya, tanpa ia sadari kapan energi itu mulai menggelora dan bagaimana ia mulai mengalir pelan tapi pasti.

Jika konsep ini terlalu sulit dipahami, bayangkan saja sejak kapan cinta ajaib itu mengalir dari Lucy Eleanor Moderatz (diperankan oleh Sandra Bullock) kepada Jack (diperankan oleh Bill Pullman) dalam film romantis ‘’While You Were Sleeping’’ garapan sutradara Jonathan Charles Turtletaub pada 1995. Film ini tetap menarik meski 23 tahun telah lewat. Bayangkan jika film itu mengisahkan cinta Lucy mengalir diam-diam kepada Jack justru ketika tunangannya, Peter Callaghan, sedang terbaring koma di rumah sakit. Padahal, Jack adalah adik kandung Peter hahaha …

Itulah kisah tentang cinta dan sejuta keajaibannya. Energi ini bisa tumbuh dan hilang tergantung bagaimana Anda menyiram dan memupuknya.

Jika kisah cinta Rahwana hanya ada dalam epos memukau dan jejak cinta Lucy pada Jack hanya ada dalam fiksi menawan garapan Daniel G. Sullivan dan Fredric Lebow, sebuah cinta ajaib sejati pernah nyata tumbuh di Makkah antara Khadijah dan Muhammad muda, jauh sebelum lelaki ini diutus Allah membawa wahyu yang lebih berat dibanding Gunung Uhud. Saya pernah lelah membayangkan betapa hebat dan menggetarkan cinta puteri Khuwaylid itu kepada Muhammad muda saat saya menaiki setapak demi setapak anak tangga Gunung Iluminasi alias Jabal Nur di Makkah. Gunung itu punya ketinggian 2.106 kaki atau 642 meter, tapi Khadijah pernah mendakinya hanya untuk mengantar makanan kepada Muhammad, lelaki yang kepadanya ia mengalirkan cinta ajaib!

Label cinta ajaib layak dinisbatkan kepada Khadijah karena perempuan bangsawan ini jatuh cinta pada Muhammad muda bukan karena wajahnya yang rupawan, bukan karena kekayaannya yang melimpah, juga bukan karena status atau kastanya yang tinggi. Khadijah jatuh cinta karena kejujuran sosok Muhammad. Kejujuran, kecerdasan, kebaikan, kedermawanan, semua itu adalah volume batin yang tak bisa diukur dan dihitung. Hatinya luluh mendapatkan seorang laki-laki yang kepadanya dipercayakan semua barang dagangan untuk dijual di luar negeri, tapi ia kembali ke Makkah bersama semua modal, segala keuntungan, juga seluruh kejujuran!

Maka, ketika kelak Muhammad telah resmi menjadi suaminya, perempuan yang konon lebih tua usia dibanding suaminya ini membiarkan saja lelaki yang ia kasihi itu naik ke Gunung Hira di usia 35 tahun. Ia tidak protes, bahkan dengan kekayaannya ia mendukung pencarian spiritual yang tengah dilakukan suaminya tercinta. Ia terus dengan kesabaran seperti itu, bahkan ketika usia suaminya beranjak ke angka 36, 37, 38, 39 dan 40 tahun.

Jika Anda seorang perempuan dan tengah membaca kisah cinta ajaib Khadijah ini, bayangkan apa yang Anda lakukan jika suami Anda hanya bertapa di sebuah gua di puncak gunung selama lima tahun?

Jika Anda seorang laki-laki, bayangkan, bisakah Anda menaklukkan hati istri Anda agar ia selama lima tahun sabar atas apa yang sedang Anda lakukan dan mau mengantar makanan untuk Anda dengan berjalan kaki setiap hari sejauh enam kilometer?

Jika Anda tak sanggup membayangkannya, percayalah, cinta ajaib itu pernah tumbuh di kota Makkah, di suatu ketika di suatu masa …

 

Sumber: www.facebook.com/helmi.hidayat

 

 

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.