Sabtu, 3 Juni 23

Sistem Pemilu Berjenjang Dinilai Rawan Manipulasi

Sistem Pemilu Berjenjang Dinilai Rawan Manipulasi

Jakarta – Rekapitulasi suara dengan menggunakan sistem berjenjang dinilai sangat rawan terjadi manupulasi suara baik dalam pemilihan legislatif, pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah. Sistem ini pun digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh sekelompok masyarakat yang menamakan dirinya Warga Bela Negara (WBN).

“Sebagai pemilih, suara kita itu bisa hilang di proses rekapitulasi yang berjenjang ini, sekarang pun sudah terbukti,” ujar Juru bicara WBN sekaligus pemohon, Anton Ratumakin di Jakarta, Sabtu (19/7/2014).

Sistem rumit rekap jenjang kecamatan, kabupaten, provinsi hingga nasional  ini dipandang merugikan hak konstitusional warga, termasuk caleg, capres dan partai-partai. Padahal di era teknologi ini seharusnya tersedia banyak alternatif cara dalam rekap suara yang bisa menjamin pemilu jurdil.

WBN menilai permohonan gugatan ini sebagai antisipasi situasi dan terutama sebagai upaya perbaikan sistem ke depan (termasuk pilkada) yang lebih menjamin azas jurdil, baik dari sisi kepastian hukum, keterbukaan, efesiensi dan azas lainnya.

“Selama ini oknum-oknum di dalam partai yang sering memanfaatkan sistem berjenjang untuk kepentinganya. Selama ini kita lazim mendengar caleg tak turun ke lapangan bisa memperoleh kursi dengan membeli suara,” katanya.

WBN meminta dukungan partai politik untuk bersama-sama terlibat dalam gugatan yang diajukan. Dengan menghapus sistem berjenjang maka akan menghemat 30 persen biaya penghitungan suara serta mempermudah tugas KPU. “Harusnya partai yang ingin penerapan jurdil mendukung gugatan ini,” kata anggota pemohon lain, Ishari Agus Jaya.

WBN mengkhawatirkan, Pemilu 2019 yang akan dilakukan serentak berpotensi semakin banyak memunculkan gugatan bila menggunakan sistem perhitungan seperti saat ini. “Ini bisa menimbulkan potensi konflik, paar Ishari.

WBN telah mengajukan gugatan uji materi rekap suara berjenjang ke MK, Jumat (4/7/2014). Penerapan Pasal 141-156 UU Pilpres No 42 Tahun 2008 dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat 1 UUD 45. “Dimana teknis-teknisnya yang rumit menghilangkan substansi jurdil dalam konstitusi,” ungkap kuasa hukum WBN, Anwar Sadat Tanjung.

Anwar mengaku sudah memperolah informasi dari MK bahwa jadwal persidangan sudah akan dimulai pekan depan. “Jadwal sidang disebutkan pekan depan. Kemungkinan sidang setelah Idul Fitri,” katanya. (Has)

 

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.