Selasa, 23 April 24

Sikap Ngotot DPR Susun Tatib yang Baru, Patut Dipertanyakan

Sikap Ngotot DPR Susun Tatib yang Baru, Patut Dipertanyakan

Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3 mendesak penundaan pembahasan dan pengesahan Perubahan Tata Tertib DPR. Adanya kekhawatiran fraksi-fraksi di DPR tentang keberlanjutan kerja DPR dan menghindari potensi stagnasi pada periode awal keanggotaan DPR yang baru, sesungguhnya tidak beralasan kuat.

“Akan lebih tepat dan relevan pihak yang sepantasnya menyusun dan mengesahkan Tatib adalah anggota DPR periode 2014-2019. Apa yang dialami oleh Fraksi Partai Gerindra dan Hanura pada DPR periode 2009-2014 yang tidak memiliki perwakilan anggota di Badan Kehormatan patut dijadikan pelajaran dan pertimbangan tersendiri,” kata Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan
Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Ronald Rofiandri, Kamis (4/9/2014).

Ia didampingi aktivis LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3, yakni Danardono Siradjudin (Pusat Telaah dan Informasi Regional/PATTIRO), Donald Fariz (Indonesia Corruption Watch/ICW), Hendrik Rosdinar (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia/YAPPIKA), Ibeth Koesrini (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi/KID), Ibrahim Fahmy Badoh (Transparency International Indonesia/TII), Roy Salam (Indonesia Budget Center/IBC), dan Sulastio (Indonesian Parliamentary Center/IPC).

Ronald menegaskan, ketika Tatib DPR sekarang dibahas dan disahkan pada 2009 (oleh anggota DPR periode 2004-2009), saat itu Fraksi Partai Gerindra dan Hanura belum masuk di DPR. Ketika Fraksi Partai Gerindra dan Hanura resmi berada di DPR periode 2009-2014, mereka tidak punya wakil di Badan Kehormatan.

“Ini sebagai akibat penyusunan dan pembahasan Tatib yang tidak cukup sensitif di tengah keterbatasan fraksi-fraksi kecil. Akibatnya kedua fraksi tersebut merasa tidak terikat dengan segala keputusan Badan Kehormatan. Situasi serupa (dalam bentuk akibat yang berbeda) bisa saja terjadi dan menimpa Fraksi Nasdem,” ungkapnya.

Pertimbangan lain yang seringkali disampaikan oleh para pihak yang mengusulkan perubahan Tatib saat ini juga, lanjut dia, adalah mengikuti kebiasaan (atau ada pula yang mengatakan ini sebagai konvensi). “Betul bahwa berdasarkan pengalaman sebelumnya, penyusunan Tatib DPR yang sekarang masih berlaku (diatur dalam Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2009), dilakukan setelah UU 27/2009 berlaku efektif. Namun, bukan berarti kebiasaan itu selalu dianggap tepat dan harus dijadikan sebagai konvensi, tanpa ada upaya koreksi ataupun perubahan ke arah yang lebih fair,” paparnta.

Menurut Ronald,  jika para pihak yang mengusulkan perubahan Tatib berdalih demi menghindari stagnasi pada periode awal keanggotaan DPR yang baru, maka akan lebih fair jika mereka menargetkan penyusunan rancangan Tatib saja, tanpa diikuti dengan tahap pengesahan. Dengan demikian, anggota DPR setelah dilantik dapat memiliki bekal awal berupa rancangan Tatib (yang dibuat oleh keanggotaan DPR periode sebelumnya), untuk kemudian ditinjau ulang (review) dan disahkan melalui Peraturan DPR.
Dengan kata lain, jelas dia, seluruh fraksi berkesempatan untuk menentukan aturan main bagi keberlangsungan kerja selama satu periode keanggotaan. “Sikap ngotot DPR untuk tetap menyusun Tatib yang baru patut dipertanyakan, terutama di saat  banyak pihak mengajukan judicial review (JR) UU 17/2014 ke Mahkamah Konstitusi,” bebernya.

Tunda Pembahasan dan Pengesahan Perubahan Tata Tertib DPR
Berikut pandangan  Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3. Yakni, DPR melalui rapat paripurna 8 Juli 2014 mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang-Undang (yang populer disingkat UU MD3 dan bernomor 17 tahun 2014). DPR dan Pemerintah sepakat bahwa UU ini bukan sekedar perubahan, tapi mengganti UU MD3 yang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (UU 27/2009).

Kehendak DPR yang ingin berubah lebih baik ternyata tidak nampak dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 (UU 17/2014 tentang MD3). Melalui UU MD3 yang baru, DPR menambah kewenangannya tanpa menyediakan ruang pengawasan yang memadai. Selain itu, tidak terlihat pula kesungguhan DPR untuk bersikap transparan dan akuntabel. DPR menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi kinerja (anggotanya) dan melaporkan kepada publik. Tidak hanya itu, kewajiban DPR melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan (sebagaimana diatur sebelumnya dalam Pasal 73 ayat 5 UU No 27 Tahun 2009) turut dihapus. DPR juga masih akan mempertahankan berlangsungnya rapat-rapat tertutup.

Dari bacaan Koalisi maka seharusnya UU 17/2014 direvisi kembali oleh DPR periode 2014-2019 dan DPR periode 2009-2014 tidak memaksakan diri untuk menyusun Tata Tertib (Tatib) DPR yang baru (yang mengacu pada UU 17/2104).[1] Namun, penelusuran Koalisi pada halaman 4 dari dokumen Naskah Pidato Ketua DPR pada Rapat Paripurna DPR Pembukaan Masa Sidang I Tahun Sidang 2014-2015, Jum’at, 15 Agustus 2014 (sebagaimana dibacakan langsung oleh Ketua DPR) mengejutkan publik. Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi PPP, dan Fraksi Partai Gerindra telah menyampaikan surat kepada pimpinan DPR (pada masa reses lalu) perihal usulan perubahan Tatib. Bahkan rencana pembahasan perubahan Tatib makin dikonkretkan malalui pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Perubahan Tatib DPR pada Rapat Paripurna DPR, 26 Agustus 2014.

Adanya kekhawatiran fraksi-fraksi di DPR tentang keberlanjutan kerja DPR dan menghindari potensi stagnasi pada periode awal keanggotaan DPR yang baru, sesungguhnya tidak beralasan kuat. Selain sebagian materi UU 17/2014 sudah bisa memandu kerja anggota DPR (setelah dilantik), maka akan lebih tepat dan relevan pihak yang sepantasnya menyusun dan mengesahkan Tatib adalah anggota DPR periode 2014-2019. Tidak tertutup kemungkinan pula bahwa anggota DPR periode 2014-2019 mengusulkan revisi UU 17/2014 sehingga Tatib yang akan dibuat oleh anggota DPR periode 2009-2014 tidak lagi menjadi acuan.

Pertimbangan lain yang seringkali disampaikan oleh para pihak yang mengusulkan perubahan Tatib saat ini juga adalah mengikuti kebiasaan (atau ada pula yang mengatakan ini sebagai konvensi). Betul bahwa berdasarkan pengalaman sebelumnya, penyusunan Tatib DPR yang sekarang masih berlaku (diatur dalam Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2009), dilakukan setelah UU 27/2009 berlaku efektif.

Namun, bukan berarti kebiasaan itu selalu dianggap tepat dan harus dijadikan sebagai konvensi, tanpa ada upaya koreksi ataupun perubahan ke arah yang lebih fair. Jika para pihak yang mengusulkan perubahan Tatib berdalih demi menghindari stagnasi pada periode awal keanggotaan DPR yang baru, maka akan lebih fair jika mereka menargetkan penyusunan rancangan Tatib saja, tanpa diikuti dengan tahap pengesahan.

Dengan demikian, anggota DPR setelah dilantik dapat memiliki bekal awal berupa rancangan Tatib (yang dibuat oleh keanggotaan DPR periode sebelumnya), untuk kemudian ditinjau ulang (review) dan disahkan melalui Peraturan DPR. Dengan kata lain, seluruh fraksi berkesempatan untuk menentukan aturan main bagi keberlangsungan kerja selama satu periode keanggotaan (contohnya, anggota DPR dari Fraksi Nasdem sebagai fraksi baru).

Sikap ngotot DPR untuk tetap menyusun Tatib yang baru patut dipertanyakan, terutama di saat  banyak pihak mengajukan judicial review (JR) UU 17/2014 ke Mahkamah Konstitusi. Beberapa diantaranya adalah PDIP, DPD, sejarawan JJ Rizal (yang didampingi LBH Jakarta), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan beberapa aktivis dan organisasi perempuan terkait dihapuskannya klausul tentang keterwakilan perempuan pada komposisi pimpinan alat kelengkapan DPR. Tidak kurang KPK dan Kejaksaan pernah mempertanyakan sejumlah ketentuan dalam UU 17/2014 terkait potensi diskriminasi dalam pemanggilan dan pemeriksaan anggota DPR.

Berdasarkan temuan dan catatan kritis di atas, Koalisi mendesak agar:

1. Anggota DPR periode 2009-2014 tidak menargetkan penyusunan dan pengesahan perubahan Tatib. Selain ketidakcukupan waktu karena hanya tersisa satu masa sidang lagi (15 Agustus s/d 30 September 2014), UU 17/2014 (sebagai acuan penyusunan Tatib DPR) telah tersandera dengan kepentingan politik sebagai dampak lanjutan pertarungan Pilpres 2014 dan cenderung tidak mendongkrak reformasi parlemen secara signifikan. Memaksakan diri untuk menyusun dan mengesahkan perubahan Tatib (pada masa sidang sekarang) sama artinya dengan melanggengkan persoalan yang sudah muncul sejak penyusunan dan diberlakukannya UU 17/2014. Akibatnya, anggota DPR periode 2014-2019 riskan terperangkap dalam kubangan persoalan yang dibangun DPR periode sebelumnya;

2. Inisiatif awal penyusunan Tatib yang baru (yang akan diberlakukan bagi anggota DPR periode 2014-2019) sebaiknya melibatkan para peneliti dari Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) sebagai salah satu unit pendukung DPR. Selain berupaya sejak dini menghindari dampak lanjutan dari pertarungan Pilpres 2014, keterlibatan para peneliti P3DI dalam menyusun Tatib yang baru menghadirkan porsi profesionalitas yang lebih besar karena kompetensi dan pengalaman yang intensif dalam berbagai prosedur, dukungan serta dinamika DPR meskipun keanggotaan DPR berganti setiap lima tahun; dan

3. Penyusunan Tatib DPR yang baru harus berlangsung transparan, partisipatif, dan akuntabel. Tatib DPR wajib memastikan ketersediaan aturan main yang detail bagi anggota DPR dalam menjalankan mandat seluruh rakyat Indonesia melalui pelaksanaan fungsi legislasi, pengawasan maupun anggaran. Tatib DPR dibuat untuk mengakselerasikan komitmen perbaikan kinerja, bukan untuk memuluskan kepentingan politik kelompok, perebutan lini pengambilan keputusan, atau bahkan mengaburkan ketentuan dalam UU 17/2014 (yang memang seharusnya dijabarkan melalui Tatib).  (Ars)

Related posts