Jumat, 8 Desember 23

Siapa Paling Bertanggung Jawab dalam Kasus BW dan BG

Siapa Paling Bertanggung Jawab dalam Kasus BW dan BG

Jakarta – Dengan adanya keributan yang terjadi di institusi Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat orang bertanya-tanya siapa sebenarnya orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus tersebut, menyusul ditetapkannya Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai tersangka dan juga Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

Menurut Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin, yang bertanggung jawab dalam kasus tersebut adalah penyidik baik yang ditugaskan di KPK dan Polri. Alasanya, penyidik punya tugas untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

“Yang bertanggung jawab ya penyidiklah,” ujar Aziz saat dimintai tanggapan di DPR, Jumat (23/1/2015).

Aziz menjawab secara normatif. Bahkan saat ditanya kembali apakah dalam melaksanakan tugasnya penyidik tidak mendapat intervensi dari pimpinan ataupun pihak lain ‎berupa Intruksi maupun koordinasi sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Aziz mengatakan, tidak ada lantaran penyidik punya kewenangan yang tidak bisa dintervensi sesuai dengan Undang-Undang.

“Ohh tidak ada, kan kewenangannya sudah ada dalam undang-undang,” terangnya.

Dengan begitu, Aziz tidak mau bersepekulasi untuk menebak-nebak siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini. Pertanyaan ini muncul sebab publik juga tidak sepenuhnya percaya bahwa penetapan tersangka terhadap dua orang itu, adalah murni kasus hukum, melainkan lebih kental nuasa politisnya. Hal itu bisa diliat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalan dua pekan ini

1. Dimulai dari pencalonan Budi Gunawan yang diusulkan oleh Kompolnas pada 7 Januari 2014. Dari sembilan nama yang diusulkan Presiden Joko Widodo akhirnya memilih Budi sebagai calon tunggal Kapolri pada 9 Januari 2014. Proses pemilihan itu kata Menteri Sekretaris Negara Praktikno sangat singkat. Bahkan, pada sore itu juga Jokowi langsung mengirim surat ke DPR untuk ditindaklanjuti.

Pemilihan Budi sebagai calon tunggal Kapolri akhirnya menuai pro dan kontra. Mereka yang kontra mempertanyakan Presiden Jokowi mengapa tidak melibatkan KPK, PPATK, dan Komnas Ham dalam menjaring Kapolri. Padahal, banyak kabar yang beredar bahwa Budi termasuk salah satu Jenderal Polisi yang memiliki rekening gendut.

Singkat cerita Jokowi, tetap tidak mau mencabut pemilihan Budi sebagai calon kapolri. Menurut Jokowi, berdasarkan catatan Kompolnas, Budi dianggap bersih dari korupsi dengan rujukan surat dari Bareskrim Polri. Namun, data itu berbeda dengan penelusuran PPATK, dimana Budi tercatat sebagai calon menteri yang kena rapor merah.

Dari sini pertanyaan sudah mulai muncul, salah satunya mengapa Kapolri Jenderal Sutarman cepat-cepat diganti padahal masa habis Jabatanya masih lama Oktober 2015. Komisioner Kompolnas M Nasser mengatakan, Sutarman diganti karena banyak janji-janjinya yang tidak terealisasikan salah satunya dalam penegakan hukum dan pelayanan terhadap masyarakat.

“Kompolnas, memberikan pertimbangan adanya pergantian Kapolri karena banyak hal. Kita beranggapan bahwa apa yang dijanjikan oleh Sutarman dalam fit and proper test dapat terealisasikan. Tapi ternyata tidak,” ungkap Naseer kepada Obsessionnews.com Sabtu (17/1/2015).‎

2. Budi akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada tanggal 13 Januari 2015, tepatnya satu hari sebelum Budi mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di DPR ‎pada 14 Januari 2015. Namun, meski sudah ditetapkan sebagai tersangka Komisi III tetap menyetujui pencalonan Budi dengan alasan menghormati asas praduga tak bersalah.

Penetapan tersangka itu sangat mengejutkan, karena terjadi secara tiba-tiba. Publik akhirnya menuding keputusan KPK itu politis, meski banyak juga masyarakat yang mendukung langkah KPK yang dianggap sudah tepat. Budi jadi tersangka terkait kasus gratifikasi atau rekening gendut. Tapi sampai saat ini KPK tidak menyebutkan siapa orang yang telah memberikan suap kepada Budi? Dan kenapa hanya Budi yang menjadi tersangka?

4. Pada 15 Januari, sidang paripurna DPR menetapkan Budi sebagai Kapolri secara aklamasi dan memberhentikan Jenderal Sutarman sebagai Kapolri. Kondisi ini membuat Jokowi bingung, dan memutuskan untuk menunda pelantikan Budi, dengan menunjuk Wakapolri Badrodin Haiti sebagai Pelaksana tugas Kapolri.

Setidaknya dengan adanya penetapan tersangka oleh KPK, langkah Budi untuk menjadi Kapolri terganjal. Budi ini adalah mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri yang mendapat dukungan kuat dari Koalisi Indonesia Hebat, maupun Koalisi Merah Putih. Entah apa alasan mereka sangat ngotot mendukung Budi.

5. Pada tanggal 22 Januari 2015, Pelaksana tugas (Plt) Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto tiba-tiba menyerang Ketua KPK Abraham Samad dengan mengatakan bahwa Abraham kerap bertemu dengan tokoh politik lebih dari lima kali pada saat Pilpres 2014.

Ia mengatakan, pertemuan itu terkait dengan keinginan Abraham untuk disandingkan dengan Jokowi sebagai wakil presiden. Namun ternyata gagal, karena KIH lebih memilih Jusuf Kalla. Bahkan kata Hasto, Abraham tahu ‎bahwa yang menggagalkan dirinya menjadi wapres adalah Budi Gunawan. Disinilah nuansa politiknya kelihatan.

6. Sehari setelah itu tepatnya tanggal tanggal 23 Januari kabar mengejutkan kembali terjadi. ‎Wakil Ketua KPK Bambang ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri dengan tuduhan mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam penanganan sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi 2010.

Yang melaporkan Bambang ternyata politikus P‎olitikus PDI-P Sugianto Sabran yang kini duduk menjadi anggota DPR di Senayan, laporan itu dibuat tanggal 19 Januari 2015 tidak lama setelah KPK menetapkan Budi sebagai tersangka. Hal ini yang membuat Bambang yakin kasus ini tidak berdiri sendiri.

“Kalau melihat pengetahuan dan pengalaman saya dalam menangani kasus, ini pasti tidak berdiri sendiri,” ujar Bambang di rumahnya di Depok, Jawa Barat, Sabtu (24/1/2015).

Dari rangkaian peristiwa tersebut, sangat wajar publik tidak bisa melihat kasus ini secara normatif. Ada permainan dan campur tangan pihak lain yang menjadikan publik terus bertanya-tanya. Karena pada kenyataannya proses pencalonan Budi sampai ia ditetapkan sebagai tersangka melibatkan Parpol, Istana, DPR, Polri, Kompolnas, dan juga KPK. (Albar)

Related posts