Sabtu, 23 September 23

Setelah RUU Pilkada, SBY Beri “Kado Pahit” RUU Tapera

Setelah RUU Pilkada, SBY Beri “Kado Pahit” RUU Tapera

Jakarta – Setelah dikecam akibat dianggap meloloskan Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada), kini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih juga memberi “kado pahit” lagi buat rakyat, yaitu membatalkan RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Sama seperti ‘sandiwara’ pengesahan RUU Pilkada, ternyata di ujung masa jabatan pemerintahannya, Presiden SBY dinilai melakukan skenario akal-akalan dengan alasan yang dibuat-buat untuk ‘mematikan’ RUU Tapera.

Menurut Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Tapera DPR RI, Yoseph Umarhadi, keputusan pemerintah SBY yang secara tiba-tiba menarik diri dari pembahasan RUU tersebut merupakan sandiwara yang tidak lucu. Padahal, jelasnya, RUU Tapera itu sudah dibahas selama dua tahun melalui sembilan masa persidangan dan sudah masuk pada akhir pembahasan Tingkat I.

“Ini kado pahit dari pemerintah untuk rakyat, sandiwara yang tidak lucu setelah pemerintah bersandiwara dalam pengesahan RUU Pilkada,” ujar Yoseph didampingi Anggota Panja RUU Tapera DPR, Indah Kurnia, kepada wartawan di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (30/9/2014).

Yoseph menilai alasan pemerintah yang merasa masih perlu waktu untuk mengkaji lebih dalam RUU itu sangat tidak masuk akal dan terkesan dengan sengaja mengulur-ngulur waktu. Ketidakjelasan sikap saat pengesahan RUU Pilkada bukan satu-satunya pil pahit yang ditinggalkan Presiden SBY di akhir masa jabatannya.

Yoseph menilai, sikap pemerintah menarik diri dari pembahasan RUU Tapera juga menjadi catatan buruk yang ditinggalkan SBY. “Sikap Kementerian Keuangan yang menarik diri dari pembahasan RUU tentang Tapera secara tiba-tiba menjadi pil pahit bagi 15 juta Kepala Keluarga (KK) diakhir masa jabatan Presiden SBY,” tandas Politisi PDIP ini.

Ia menyatakan, DPR sangat kecewa atas sikap Kementerian Keuangan tersebut, padahal  proses RUU Tapera sudah menguras energi dan dana. “Sikap pemerintah ini menjadi pil pahit bagi 15 juta KK yang tidak memiliki rumah. Harapan mereka kandas karena kementerian Keuangan menarik diri dari pembahasan RUU Tapera pada saat terakhir menjelang persetujuan tingkat pertama,” tegasnya.

“Kami menyatakan kekecewaan dan ini merupakan preseden yang tidak baik antara Menteri Keuangan yang mengatasnamakan pemerintah dengan DPR,” tandasnya. Apalagi, ujarnya, pemerintah dengan dukungan Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKB menarik diri pada saat Panja sudah menyelesaikan draft dan tinggal ditandatangani.

Selain sudah menghabiskan waktu dan tenaga, penggodokan produk legislasi itu telah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Padahal, menurutnya, RUU itu sangat dibutuhkan mengingat masih 15 juta kepala keluarga yang belum memiliki rumah.

Atas perilaku pemerintah SBY yang “seenak udel”-nya tersebut,  Yoseph mengaku geram dan kecewa berat. “Kemarin ketok palu dengan sangat marah. Pemerintah tidak punya perasaan, seenaknya menghentikan proses RUU Tapera. Padahal, ini sudah final yang tinggal ketok palu. Semua fraksi menolak keinginan pemerintah yang tidak mau melanjutkan ke tingkat II, kecuali Partai Demokrat,” ungkapnya.

Ia pun heran dengan perilaku Persiden SBY menjelang akhir masa jabatannya. SBY dinilai tidka peka terhadap maish adanya 15 jutaan kepala keluarga (KK) yang tidak punya rumah sehingga tidak jelas tempat tinggalnya. Padahal, UUD 45 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak.  “Jadi, ini hak asasi warga negara dan amanat konstitusi. UU Tapera merupakan solusi komprehensif untuk menyelesaikan masalah ini,” terangnya.

Artinya, jelas Yoseph, negara harus memfasilitasi agar warga Negara mendapatkan rumah yang layak. “Kalau dibiarkan bebas liberal, warga miskin sampai kiamat tidak bakal dapat rumah. Pemerintah SBY tidak punya persepsi, seenaknya sendiri memotong dan menghentikan RUU Tapera,” tegas ANggota Komisi V DPR RI ini.

Menkeu Konyol
Yoseph menilai Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan tidak memiliki etikad baik, dengan seenaknya menghentikan RUU Tapera, padahal sudah melewati proses pembahasan yang panjang hingga ke Pansus DPR dan menghabiskan biaya besar. “Persoalannya, mengapa pemerintah (Kementerian Keuangan) tidak sebutkan sejak awal kalau memang tidak menghendaki RUU Tapera. Kalau sejak awal tidak mau, mestinya jangan seolah-olah dari dulu pejabat eselon I kementerian dibiarkan rapat dengan DPR. Tapi di ujung, pemerintah dengan entengnya menghentikan RUU Tapera,” sesalnya.

Bahkan, lanjut Yoseph, akibat sikap pemerintah yang membatalkan RUU Tapera ini juga memberi kesan seolah DPR tidak becus menggolkan Tapera yang sudah memakai anggaran besar. “Padahal, kita sudah memeras otak dan berusaha keras (meloloskan UU Tapera). Pembatalan RUU Tapera ini sejarah di akhir jabatan pemerintah SBY tinggalkan hal-hal yang tidak mengenakkan rakyat, UU Pilkada dan Tapera. SBY tinggalkan kado pahit bagi rakyat,” ucap Yoseph kesal.

Menurut Yosep, Pemerintah menarik diri pada saat-saat terakhirsetelah semuanya draft RUU Tapera telah selesai dibahas baik di tingkat Pansus, maupun di tingkat tim perumus dan tim sinkronisasi. Pembahasan RUU ini dilakukan secara maraton dalam waktu sebulan terakhir, setelah sebelumnya selama hampir duatahun Pemerintah selalu mengulur-ngulur waktu dan enggan melakukan pembahasan.

“Setelah DPR RI mendesak dan waktunya juga sudah sangat mendesak, baru kemudian Pemerintah menyatakan siap membahas RUU Tapera, sehingga pembahasannya dikebut dalam waktu hampir sebulan,” bebernya.

Pada pembahasan tersebut, menurut Yoseph, ada satu pasal yang dipersoalan Pemerintah yakni soal potongan gaji dan penghasilan dari warga negara Indonesia yang memiliki penghasilan tapi belum memiliki rumah. Adapun DPR RI, kata dia, mengusulkan agar besaran potongan tersebut tidak dicantumkan dalam UU tapi dijabarkan lebih lanjut dalam aturan yang lebih teknis yakni Peraturan Pemerintah (PP). “Namun Pemerintah mendesak agar nilainya dicantumkan dalam UU,” ungkapnya pula.

Ia menambahkan, DPR RI kemudian mengusulkan sebanyak tiga persen tapi Pemerintah mengusulkan 20 persen. “Kami menilai jika potongannya sampai 20 persen, sangat memberatkan pekerja yang penghasilnnya sudah pas-pasan,” tandas dia. “Karena perbedaan usulan angka potongan tersebut, Pemerintah menarik diri dari persetujuan terhadap RUU Tapera.”

Yoseph menilai, sikap Pemerintah tidak menyetujui RUU Tapera bukan karena perbedaan usulan tapi karena tidak ingin ada UU Tapera. “Padahal, jika RUU Tapera ini disahkan menjadi UU, maka dapatmembantu pekerja berpenghasilan pas-pasan dapat memiliki rumah layak,” kata dia yang menambahkan akan mengusulkan RUU Tapera itu sebagai RUU luncuran kepada anggota DPR RI periode berikutnya.

RUU Tapera Terbengkalai, DPR Kecewa
Panitia Khusus (Pansus) RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kecewa atas sikap pemerintah yang menarik diri dari persetujuan terhadap RUU Tapera pada pembicaraan tingkat pertama. ”Kami sangat kecewa pada sikap Pemerintah yakni Kementerian Keuangan yang menarik diri dari pembahasan RUU Tapera, pada saat terakhir menjelang persetujuan tingkat pertama,” kata Yoseph.

Menurut Ketua Pansus RUU tapera ini, pemerintah menarik diri di saat-saat terakhir setelah semuanya draft RUU Tapera telah selesai dibahas baik di tingkat Pansus, maupun di tingkat tim perumus dan tim sinkronisasi. Pembahasan RUU Tapera itu, jelasnya, dilakukan secara maraton dalam waktu sebulan terakhir, setelah sebelumnya selama hampir dua tahun pemerintah selalu mengulur-ngulur waktu dan enggan melakukan pembahasan. ”Setelah DPR RI mendesak dan waktunya juga sudah sangat mendesak, baru kemudian Pemerintah menyatakan siap membahas RUU Tapera, sehingga pembahasannya dikebut dalam waktu hampir sebulan,” ungkapnya.

Pada pembahasan tersebut, menurut Yoseph, ada satu pasal yang dipersoalan Pemerintah yakni soal potongan gaji dan penghasilan dari warga negara Indonesia yang memiliki penghasilan tapi belum memiliki rumah. Diungkapnya pula, kalau pihaknya mengusulkan agar besaran potongan tersebut tidak dicantumkan dalam UU tapi dijabarkan lebih lanjut dalam aturan yang lebih teknis yakni Peraturan Pemerintah (PP). ”Namun pemerintah mendesak agar nilainya dicantumkan dalam UU,” tegas Politisi PDIP ini.

Ia menambahkan, DPR kemudian mengusulkan sebanyak tiga persen tapi Pemerintah mengusulkan 20 persen. ”Kami menilai jika potongannya sampai 20 persen, sangat memberatkan pekerja yang penghasilannya sudah pas-pasan,” jelasnya. Namun lantaran adanya perbedaan usulan angka potongan tersebut, menurut Yosep bahwa pemerintah menarik diri dari persetujuan terhadap RUU Tapera.

”Sikap Pemerintah tidak menyetujui RUU Tapera, bukan karena perbedaan usulan tersebut, tapi karena Pemerintah memang tidak ingin ada UU Tapera. Padahal, jika RUU Tapera ini disahkan menjadi UU, maka dapat membantu pekerja berpenghasilan pas-pasan dapat memiliki rumah layak,” tutur Yosep sembari menyatakan, pihaknay bertekat akan mengusulkan RUU Tapera itu kembali sebagai RUU dalam periode DPR 2014-2019.

Sebelumnya, setelah melewati pembahasan alot selama dua tahun dan sebanyak 9 kali masa persidangan, RUU Tapera gagal disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna, Senin malam (29/9). Penyebabnya, karena pemerintah menarik RUU Tapera. Menurut Yoseph, pembahasan draft RUU Tapera telah melalui proses panjang dan melelahkan. Penuh dinamika dan tarik ulur antara pemerintah serta anggota DPR.

“Tapi setelah dibahas di Rapat Panja bahwa RUU Tapera ini akan disahkan di Sidang ini, ternyata kami dikejutkan pemerintah yang menarik RUU tersebut untuk disetujui menjadi UU Tapera,” tegas dia dalam Sidang Paripurna Pengambilan Keputusan Tingkat II RUU Tapera, Gedung DPR, Jakarta.

Alasannya, kata Yoseph, pemerintah masih harus mengkaji prosentase besaran simpanan wajib peserta Tapera. Besaran ini masuk dalam satu pasal RUU Tapera. Draft RUU Tapera terdiri dari 12 Bab dan 78 pasal. “Dari 9 fraksi, sebanyak 7 fraksi menolak keinginan pemerintah untuk menarik RUU Tapera, dan 2 fraksi setuju keinginan pemerintah tersebut,” ucapnya.

Lebih jauh diakuinya, DPR sangat menyesalkan permohonan pemerintah untuk membatalkan RUU Tapera disahkan menjadi UU pada masa sidang kali ini. Pasalnya, masyarakat bakal semakin sulit untuk memperoleh tempat tinggal layak yang menjadi amanah dalam UUD 1945.

“Kami sangat sesalkan peristiwa ini. Ini catatan buruk dalam legislatif 2014-2019 karena pembahasannya telah menguras energi, waktu, tenaga dan anggaran yang cukup besar,” jelas Yoseph.

Pada dasarnya, dia bilang, misi RUU Tapera berawal dari permasalahan backlog rumah atau ketimpangan antara pasokan dan permintaan rumah yang semakin besar setiap tahun. Padahal masyarakat membutuhkan penyediaan rumah secara layak dengan harga terjangkau.

“Pentingnya draft RUU Tapera ini untuk disahkan, membuat kami meminta agar pembahasannya dapat diteruskan dan dilanjutkan oleh Anggota DPR 2014-2019,” harap Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP yang terpilih kembali untuk periode 2014-2019 ini. (Pur)

 

Related posts