Jumat, 19 April 24

Sering Asal Nguap, Ekonomi Pun Makin Memble

Sering Asal Nguap, Ekonomi Pun Makin Memble

KONDISI perekonomian Indonesia sedang babak belur bahkan terancam alami kebangkrutan. Presiden Jokowi, sudah menyadarinya sejak dia dilantik untuk pertama kalinya sebagai pemimpin sekaligus penguasa di negeri ini.

Pada masa kampanye lalu, Joko memang sempat mengumbar pelor untuk memperbaiki perekonomian negeri ini. Salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan mencabut subsidi bahan bakar kemudian mengalihkannya ke sektor infrastruktur, kesehatan serta pendidikan.

Memang benar, subsidi bahan bakar minyak kerap menjadi biang kerok lesunya perekonomian Indonesia. Sekedar pengingat, besarnya katrol terhadap sektor ini mencapai $US 3,7 sampai $US 4 milyar setiap bulannya. Besarnya porsi tersebut, tentu punya andil meningkatkan hutang luar negeri jangka pendek. Sebab di dalamnya, ada satu komponen yang dipakai untuk impor minyak.

Di sisi lain, nilai ekspor produk asal Indonesia terus melorot. Jadi wajar saja jika rupiah lebih sering tersungkur di hadapan dollar Amerika Serikat ketimbang menguat akibat defisit di dalam APBN begitu besarnya. Tapi, itu dulu. Sekarang, situasinya sudah berbeda.

Subsidi bahan bakar minyak sudah dicabut, ekspor ke luar negeri pun mencatatkan surplus 13% pada triwulan pertama tahun 2015 dan impor bahan baku juga tercatat turun 6%. Namun, ini belum menjadi sinyal baik bagi perekonomian negeri ini.

Dalam perbincangan via telepon dengan Obsessionnews.com, Wahyu Perdana Santosa, direktur riset keuangan Capital Price mengatakan bahwa hal tersebut justru harus diwaspadai. Sebab, kalau ini terus terjadi dalam waktu tiga hingga enam bulan ke depan, bukan tidak mungkin kalau industri-industri di dalam negeri justru menurunkan produksinya. Akibatnya gampang ditebak. Pengurangan jumlah pegawai bakal terjadi dan menambah masalah baru yaitu, pengangguran.

Data yang disuguhkan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia lain lagi. Penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,7% pada kuartal pertama tahun ini sangat dipengaruhi sebab dari luar. Lihat saja, sejumlah negara mitra dagang utama juga mengalami perlambatan. Akhirnya, laju ekspor Indonesia pun ikut melemah.

Memang, saat ini pemerintah sudah menyusun rencana induk pembangunan industri nasional untuk jangka waktu 2015-2035. Selain itu, fasilitas peringanan pajak juga sudah diberlakukan mulai 6 Mei 2015, sejalan dengan ditandatanganinya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 18 tahun 2015. Tujuannya, mendorong penanaman modal asing serta domestik khususnya pada sektor industri pengolahan. Teriakan buruh selama ini juga coba didengar dengan merancang peraturan baru guna menentukan standar kebutuhan hidup layak (KHL) tiap lima tahun sekali agar menjadi rujukan penentuan upah minimum. Tapi, apa itu sudah cukup ? Coba kita kuliti satu-satu.

Sebenarnya, pemberian insetif pajak seperti yang tertuang dalam PP nomor 18 tahun 2015 sudah pernah dilakukan. Lihat saja isi dari PP nomor 148 tahun 2000 tentang fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu atau di daerah-daerah tertentu. Kemudian, ada juga PP nomor 1 tahun 2007, PP nomor 62 tahun 2008 tentang perubahan PP sebelumnya, serta PP nomor 52 tahun 2011. Lantas, apa sudah tepat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut ?

Nyatanya, jurus yang dikeluarkan pemerintah sebelum duet Jokowi-JK berkuasa belum mampu menggaet minat investor menanamkan modalnya di sektor industri pengolahan sesuai amanat PP nomor 52 tahun 2011. Salah satu alasannya adalah nilai investasi minimal Rp. 1 triliyun. Dan ini, menjadi keharusan. Tidak boleh tidak. Makanya, kemudian Jokowi memberikan kelonggaran dengan tidak membatasi nilai yang akan ditanamkan dengan menerbitkan PP nomor 18 tahun 2015.

Solusi Keringanan Pajak dan Upah Buruh Belum Tepat
Lagi-lagi, pemberian keringanan pajak tersebut nampaknya masih setengah hati dikeluarkan kebijakannnya. Sebab, harus ada persetujuan dalam rapat trilateral yang dihadiri Dirjen Pajak dan staf ahli Kementerian Keuangan, Badan Koordinasi Penanaman Modal, serta Kementerian terkait sesuai bidang usaha yang diajukan permohonan izinnya. Jadi, bukan tidak mungkin kalau permohonan investor tidak mendapat persetujuan dari salah satu lembaga-lembaga tadi, restu tak jadi keluar.

Sebenarnya, yang dibutuhkan investor baik asing maupun domestik bukan hanya insentif dari sisi fiskal saja. Persoalan yang seringkali dihadapi investor menurut Mohammad Faisal, Direktur Penelitian CORE Indonesia, terletak pada proses perizinan yang rumit dan memerlukan waktu lebih lama. Ini, sangat berbeda dengan negara-negara tetangga yang sudah lebih dulu menerapkan kelonggaran dalam proses pengajuan izin. Belum lagi, pemerintah belum juga mampu menjamin ketersedian bahan baku murah serta pasokan yang stabil seperti energi gas serta listrik.

Kemudian, sewa lahan untuk membuka industri pengolahan juga sering jadi masalah. Belum lagi, proteksi perdagangan seperti yang sering dikeluhkan industri baja nasional belum dibenahi.

Berbeda dengan negara-negara yang menjadi mitra dagang utama seperti Tiongkok. Insentif serupa telah diberlakukan secara masif tanpa adanya kebijakan bersifat multisektoral. Kalau ini masih saja terjadi, bukan tidak mungkin upaya menata ulang industri di dalam negeri berjalan lamban seperti tahun-tahun sebelumnya.

Masih menurut CORE Indonesia, peningkatan upah selama ini disebut-sebut lebih didorong oleh faktor inflasi terutama pada kebutuhan pangan seiring dengan peningkatan KHL. Asal tahu saja, 51% dari total pengeluaran penduduk Indonesia lebih kepada makanan. Celakanya, inflasi di dalam negeri cenderung tinggi dibanding negara lain. Belum lagi sokongan politik juga ikut mendorong naiknya upah ketimbang aspek produktifitas pekerja. Maka itu, pengendalian inflasi sangat penting demi menjaga daya beli masyarakat dan meredam peningkatan pertumbuhan upah buruh sehingga dapat mendukung peningkatan daya saing industri.

Pada kondisi saat inflasi tahunan relatif tinggi, rencana pemerintah menentukan KHL tiap lima tahunan bakal tidak efektif karena tekanan buruh mendapatkan upah lebih tetap akan keras. Akibatnya, penetapan KHL yang seharusnya menjadi rujukan dalam menentukan UMP jadi tidak berguna.

Jokowi Sering Asal Nguap
Pada setiap kesempatan, Presiden Joko Widodo memang seringkali memandang berbagai persoalan terutama di bidang ekonomi mudah diselesaikan. Namun nyatanya, selama delapan bulan kepemimpinannya, perekonomian terus memble. Hingga saat ini saja, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih berada di atas Rp13.000 per USD.

Pengamat ekonomi-politik Yanuar Rizki menilai, Jokowi perlu mengoreksi dirinya lantaran terlalu sering menganggap remeh persoalan. “Sistem perekonomiankan dibentuk oleh struktur dan proses. Sampai saat ini, Jokowi selalu bicara soal outputnya saja,” kata Yanuar kepada Obsessionnews.com di Jakarta pada Rabu (6/5).

Yanuar juga coba mengingatkan Presiden agar menyadari bahwa input ekonomi sangat mendukung segala macam program kerja yang digemborkan sejak masa kampanye hingga kini. Artinya, cara berpikir Presiden kudu struktural dan jangan keseringan ngomong soal output. “Antara struktur, proses, input dan output jokowi tidak nyambung,” sebut Yanuar.

Menjelang akhir bulan April lalu, Presiden sempat mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia masih berhutang kepada International Monetary Found (IMF). Pernyataan tersebut pun, kemudian dibantah keras mantan Presiden SBY. Dalam akun facebook serta kicauannya di twitter, Presiden Ke 6 tersebut menyatakan bahwa keseluruhan tunggakan sebesar $US 9,1 milyar atau setara Rp. 117 triliyun sudah lunas dibayar pada 2006 lalu.

Masih menurut SBY, meski sejumlah pihak menyarankan pelunasannya dilaksanakan secara bertahap, agar tidak mengganggu ketahanan ekonomi Indonesia, tetap saja dituntaskan empat tahun lebih cepat.

Ada tiga alasan keputusan tersebut diambil. Pertama, pertumbuhan ekonomi saat itu berada dalam tingkat relatif tinggi, jadi aman untuk menjaga ketahanan eknomi makro dan sektor riil. Belum lagi, menurut SBY kekuatan fiskal dan cadangan devisa masa tersebut relatif aman dan kuat. Kedua, dengan melunasi hutang IMF tak lagi mendikte rencana pembangunan serta penggunaan uang negara. “Kita harus merdeka dan berdaulat dalam mengelola perekonomian nasional kita,” tulis SBY dalam akun facebooknnya.

Entah karena tak mendapat informasi yang cukup dari pemerintahan sebelumnya atau karena berbeda pandangan dalam pengelolaan negara, sepertinya tongkat estafet tidak diserahkan atau diterima dengan baik. Kita lihat saja kelanjutannya. (MBJ)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.