
Jakarta – Akhirnya, hampir semua orang mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik sebagai tersangka tindak dugaan pidana korupsi terkait pengadaan proyek di Kementerian ESDM pada 2011-2013 dalam bentuk pemerasan terkait dengan jabatannya sebagai menteri dalam kurun waktu 2011-2012.
KPK menetapkan Jero sebagai tersangka melalui surat perintah penyidikan (sprindik) tanggal 2 September 2014. Jero disangka melanggar Pasal 12 e Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 23 KUHP berkaitan penyalahgunaan wewenang atau Pasal 23 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 421 KUHP berkaitan pemerasan.
LSM Gerakan Aliansi Laskar Anti Korupsi (GALAK) misalnya, semula tidak percaya jika KPK menjadikan Jero Wacik menjadi tersangka, “Namun karena merupakan hasil pengembangan proses penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan di Setjen ESDM yang menjerat mantan Sekjen ESDM Waryono, dimana indikasi penyelewengan itu muncul setelah KPK menemukan ada perintah Jero kepada Waryono, saat masih menjabat sekretaris jenderal, untuk memainkan anggaran di Kementerian ESDM. Maka hal semula yang tidak percaya itu jadi pupus,” kata Panglima GALAK Binsar Effendi Hutabarat, Kamis (4/9/2014).
Pasalnya, jelas dia, Jero setelah menjadi Menteri ESDM, mengupayakan untuk mendapatkan dana operasional menteri yang lebih besar dari yang dianggarkan. Untuk itu, Jero diduga meminta anak buahnya untuk melakukan beberapa hal agar dana operasional menteri di Kementerian ESDM bisa lebih besar.
“Dugaan pemerasan yang termasuk tindak pidana korupsi ini, oleh masyarakat baru kali ini diterapkan. Sebab itu, GALAK patut menyampaikan apresiasi yang tinggi terhadap KPK,” ungkap Binsar yang juga Ketua Umum Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (SPKP).
Selanjutnya dengan tetap menghormati aturan hukum di Indonesia hal asas praduga tak bersalah, namun untuk tidak menjadi terusiknya rasa keadilan masyarakat, Kastaf Invokasi GALAK Muslim Arbi, meminta KPK untuk segera juga memeriksa Politisi Partai Demokrat Jhonny Allen Marbun.
“Sebab tidak tertutup kemungkinan juga akan kebenaran jika di duga ada keterlibatan Jhonny Allen, yang dalam pernyataannya di Gedung DPR, Jakarta, pada 4 Maret 2014, mengancam akan melaporkan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Agustiawan ke penegak hukum. Hal itu dilakukan apabila Karen tidak mempertanggungjawabkan pernyataannya,” bebernya.
Menurut dia, Penasihat Hukum Dirut Pertamina Karen, Rudy Alfonso, sudah membeberkan bahwa Jhonny Allen dan Sutan Bhatoegana pernah meminta upeti dari dua anak buah Karen Agustiawan, Direktur Perencanaan Investasi & Manajemen Resiko, M. Afdal Bahaudin dan Direktur Pemasaran & Niaga, Hanung Budya. Permintaan uang kepada Pertamina melalui Sekjen Kementerian ESDM Waryono dan juga oleh Menteri ESDM Jero, terkait dengan pembayaran untuk tunjangan hari raya (THR) kepada anggota DPR tahun 2013.
“Bagi kami, tentu ancaman Jhonny Allen diyakini terkesan akibat dari dampak dugaan tindak pidana korupsi dalam bentuk pemerasan yang tidak terkabulkan oleh Karen,” tandasnya.
Untuk itulah, Binsar sangat berharap agar pada gilirannya, Jhonny Allen harus segera diperiksa oleh KPK dan sekaligus untuk dijadikannya tersangka, karena pentolan Partai Demokrat ini diduga melakukan pemerasan.
“Jangan ada kekebalan dalam hukum, karena setiap warga negara punya kedudukan yang sama di mata hukum. Janganlah KPK kurang nyali untuk memeriksa Jhonny Allen hanya karena ketokohannya. Menteri saja dijadikan tersangka, apalagi Jhonny. Kami percaya, KPK berani menyeretnya,” desaknya. (Ars)