Kamis, 1 Juni 23

Sejak Awal Partai Demokrat Disetel Bersenyawa dengan SBY

Sejak Awal Partai Demokrat Disetel Bersenyawa dengan SBY
* Pengkaji geopolitik dari Global Future Institute (GFI) Hendrajit. (Foto: Sutanto/obsessionnews.com)

Jakarta, Obsessionnews – Berbeda dengan Kongres IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Sanur, Bali, 8-12 April 2015, yang berlangsung adem ayem dan hanya mengukuhkan kembali Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDIP periode 2015-2020, Kongres Partai Demokrat di Surabaya Mei 2015 mendatang bakal memanas. Sebab, menjelang Kongres dua kader, yakni Marzuki Alie dan I Gede Pasek, terang-terangan akan maju dalam bursa calon ketua umum untuk melawan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). (Baca: Pasek: Jadi Ketum, Orang Sekitar SBY yang Panen)

Selain itu, beberapa kader mendesak SBY tak mencalonkan diri sebagai ketua umum.

Pengkaji geopolitik dari Global Future Institute (GFI) Hendrajit mengapresiasi beberapa kalangan internal Partai Demokrat yang menghendaki mantan Presiden SBY tidak mencalonkan diri lagi sebagai ketua umum.

“Namun kalau menelisik ke belakang mengapa Partai Demokrat dibentuk, rasanya pandangan tersebut tidak realistis. Sebab adanya Partai Demokrat memang dimaksudkan untuk ‘menggelar karpet merah’ untuk kemunculan SBY sebagai calon presiden pada Pilpres 2004 yang kemudian berlanjut pada 2009. Maka itu, sejak awal Partai Demokrat memang disetel untuk bersenyawa dengan bobot ketokohan SBY. Lepas suka atau tidak,” kata Hendrajit kepada obsessionnews.com di Jakarta, Sabtu (25/4/2015).

Alhasil, Partai Demokrat, seperti halnya PDIP pimpinan Megawati, sebenarnya di simpang jalan antara menjadikan dirinya sebagai partai massa penuh ataukah menjadikan dirinya sebagai partai kader yang tentunya tidak bertumpu pada figur sentral macam Megawati Soekarnoputri ataupun SBY. Kenyataannya, meski kedua partai tersebut berupaya membangun dirinya sebagai partai kader, pada kenyataannya kedua partai sejatinya tetap harus dipandang sebagai sebuah partai massa yang bergantung pada ketokohan SBY maupun Megawati.

“Dalam setting politik seperti itu, SBY berpeluang kembali untuk menjadi ketua umum, merupakan keniscayaan seperti halnya Megawati di PDIP. Apakah ini menandakan kedua partai tersebut gagal dalam kaderisasi? Masalahnya ya itu tadi, baik PDIP maupun Demokrat bukan merupakan partai kader dalam arti yang sesungguhnya. Bukan karena kedua sosok tersebut hebat atau punya bobot ketokohan yang kuat dan mengakar, melainkan sistem di dalam kedua partai tersebut memang niscaya akan memunculkan kembali kedua sosok tersebut sebagai figur sentral partai,” ujarnya.

Dalam kasus Partai Demokrat, saat ini muncul setidaknya dua figur tandingan, Marzuki Alie dan I Gede Pasek. Namun, menurut Hendrajit, kedua sosok tersebut bukan tandingan SBY. Karenanya, keduanya dimunculkan sebagai kandidat lain di luar SBY, semata-mata karena mereka dibutuhkan sebagai lawan SBY.

“Dengan kata lain, dalam konstalasi Partai Demokrat yang semacam ini, justru problemanya SBY perlu adanya lawan. Dan menariknya, justru SBY-lah yang memilih keduanya sebagai lawan,” tandasnya.

Konstalasi bisa saja berubah tatkala tiba-tiba muncul sosok baru, entah sipil atau militer, yang kemunculannya akan memberi makna baru atau menandai adanya perubahan pakem di internal Partai Demokrat.

“Namun sejauh pengamatan saya, hal tersebut belum ada tanda-tandasnya,” katanya.

Selain itu, walaupun SBY saat ini sudah tidak menjabat presiden, alumni AKABRI 1973 ini masih memainkan peran penting di pentas politik nasional, meski hanya dalam mempengaruhi konstalasi politik dari belakang layar. Maka itu, memegang kendali Partai Demokrat bagi dirinya merupakan hal yang mutlak adanya.

Tanpa memegang kendali Partai Demokrat, SBY ibaratnya menguasai password tapi tidak memegang kendali terhadap Standard Operating Procedure (SOP). Menguasai skema dan sistem perpolitikan nasional karena dirinya sudah merancang hal ini selama 10 tahun masa kekuasaannya, namun hal itu jadi sia-sia jika dirinya tidak lagi menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.

“Maka itu, jikapun masih kuat hasrat di intenal Partai Demokrat untuk menggusur SBY dari pucuk pimpinan partai, maka agenda strategis yang harus diolah dan dirancang saat ini bukan memunculkan siapa sosok yang tepat untuk menggantikan SBY. Yang harus mereka tampilkan adalah sebua h kontra skema untuk mematahkan skema yang sejak 2004 menjadi landasan kemunculan SBY sebagai figur sentral Partai Demokrat,” kata Hendrajit.

Sebab, sejatinya yang membuat SBY saat ini seakan tak punya lawan tanding yang seimbang, bukan karena kedigdayaan dirinya terhadap para pesaingnya. Melainkan karena para pesaing SBY terjebak pada tema siapa yang bisa menjadi lawan SBY dan menggantikan dirinya sebagai Ketua Umum Partai.

“Padahal, kalau ibarat dalam pakem pewayangan, yang membuat SBY kuat dan kokoh di Partai Demokrat, karena dirinya merupakan perpaduan antara hajatan, lakon (tema), pagelaran, dan sekaligus aktornya,” cetusnya.

Sialnya, lanjutnya, lawan-lawan politik SBY di internal Partai Demokrat, terpancing untuk melawan SBY sebagai sebuah pagelaran dan lakon. Lupa, bahwa kekuatan sesungguhnya SBY di Demokrat karena dialah yang tahu persis apa hajatan dan lakon sesungguhnya, sehingga pagelaran dan pengaktoran di Partai Demokrat sepenuhnya berada dalam kendali dirinya.

“Maka rumus sederhana untuk mengalahkan SBY di Partai Demokrat, patahkan hajatannya dan lakonnya, lalu munculkan hajatan baru dan lakon baru di Demokrat. Maka menjadi masuk akal untuk memunculkan pagelaran baru, dan tentunya aktor baru. Bagaimana, ada yang sanggup? Saya kira masih ada waktu kok,” pungkasnya. (Arif RH)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.