
Semarang, Obsessionnews – Senin (16/2) kemarin terasa sangat berbeda saat mengunjungi instansi pemerintahan di Jawa Tengah (Jateng). Di sana-sini terlihat banyak pegawai negeri sipil (PNS) yang berkebaya layaknya sedang menghadiri kondangan atau pernikahan. Ada cerita apa di balik hingar-bingar tersebut? Mari ikuti penelusuran obsessionnews.com berikut ini.
Hari itu hari perdana diterapkannya Surat Edaran Gubernur Jateng Nomor 065/00168 tentang penggunaan pakaian adat yang dimulai sejak 15 Februari 2015. Surat tersebut merupakan tindak lanjut dari adanya Peraturan Daerah (Perda) Jateng Nomor 09 Tahun 2012 yang mengatur tentang bahasa, sastra dan aksara Jawa. Dalam Pasal 14 perda disebutkan Gubernur memiliki kewenangan untuk meningkatkan pengembangan dan perlindungan bahasa Jawa.

Sebelumnya sempat ada kekhawatiran ketika surat tersebut diberlakukan. Karena pakaian kebaya yang ada di benak para PNS Jateng adalah kebaya yang menggunakan pakem atau acara resmi. Tentu saja kebaya atau pakaian adat seperti itu dapat menyulitkan para pekerja wanita yang notabene harus memakai sanggul. Terlebih harga kebaya yang lumayan mahal menjadi beban anggaran tersendiri bagi pegawai.
Fakta di lapangan berkata lain. Ketika apel pagi di lingkungan kantor Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Jateng banyak PNS, terutama wanita, yang dengan senangnya berselfie ria usai upacara. Menurut Mei Kristianti, salah satu pegawai di Pemprov Jateng, dia malah merasa senang dengan adanya kewajiban memakai kebaya seperti ini. Walaupun sempat khawatir karena ribet memakainya, dan hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk berdandan layaknya putri keraton.
“Ndak ribet kok, cuman dandan 15 menit kaya mau kondangan gitu. Kita sih have fun aja,” ujar Mei sambil tersenyum manis.
Mei tidak membeli kebaya baru yang dipakainya itu. Dia hanya menggunakan kebaya yang biasa dia gunakan ketika pergi ke acara pernikahan atau undangan resmi lainnya. Jadi Mei tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan lagi untuk “seragam” Senin pagi.
Lain lagi Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang saat itu berada di Yogyakarta untuk kunjungan kerja. Ganjar menggunakan pakaian adat suku Samin yang sarat dengan warna hitam. Mulai dari blangkon sampai celana pun menggunakan gaya adat Suku Samin. Bahkan di twitternya @ganjarpranowo terlihat sang Gubernur tetap konsisten menggunakan pakaian tersebut ketika mengunjungi Universitas Gadjah Mada (UGM). Ganjar memberi contoh baik bagi bawahannya.
Apel Senin pagi di pelataran kantor Pemprov Jateng pun berubah bagai kerajaan Jawa zaman dahulu. Ada yang memakai blangkon lengkap dengan jariknya,ada juga yang unik hingga membawa keris dan diselipkan dipinggangnya. Pegawai wanitanya tak mau kalah dengan rekan sejawatnya. Mereka bahkan berdandan layaknya seorang ratu dengan kebaya yang menjulang. Hal lain yang menarik di apel pagi ini adalah bahasa yang digunakan dalam protokol upacara diubah keseluruhan menjadi bahasa Jawa krama. Tentunya hal tersebut masih terasa asing sekaligus unik ketika dilihat.

Tak hanya di sini saja, dinas lain seakan bersaing fashion baju harian dengan lembaga lainnya. Di Dinas Sosial Provinsi Jateng aura hari Senin yang notabene hari awal bekerja dan biasanya cenderung berhawa malas tiba-tiba saja menguap. Dari pantauan obsessionnews.com Kepala Dinas Sosial Jateng Rudy Apriyantono terlihat gagah dengan balutan jas hitam dan blangkon antik di kepalanya. Ibu-ibu PNS yang pada hari-hari kerja terlihat biasa saja tampil menjadi cantik berkebaya warna-warni menghiasi rutinitas di dinas tersebut. Ada momen lucu di mana banyak pegawai yang memakai pakaian lurik (loreng) coklat hitam secara seragam sehingga malah terlihat lebih seperti para abdi dalem Keraton Yogyakarta.
Ganjar dalam sambutannya yang diwakili oleh Sekretaris Daerah Pemprov Jateng Sri Puryono menjelaskan tujuan dari adanya instruksi ini agar masyarakat lebih nguri-uri budaya Jawa dan sekaligus menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur didalamnya, terlebih kepada generasi muda.
“Penggunaan pakaian adat Jawa diperlukan dalam rangka pengenalan, pembinaan, dan pengembangan kebudayaan nasional dan menguri-uri budaya Jateng. Sehingga sederas apapun pengaruh modernisasi yang mengalir di Jateng, generasi muda tetap memiliki jatidiri yang sarat nilai etika, moral, dan spiritual,” katanya.
Penggunaan pakaian adat ini selanjutnya akan dievaluasi dan meminta masukan dari pakar perguruan tinggi, tokoh masyarakat dan Dewan Kesenian. Diharapkan setelah evaluasi, para PNS tidak hanya sekedar memakai pakaian adat namun juga mengerti makna di balik baju adat yang dipakainya.
“Setelah evaluasi oke, kita lakukan setiap Kamis. Jadi bahasanya Jawa, pakaiannya adat Jawa,” tuturnya kepada wartawan usai apel pagi.
Penggunaan pakaian adat memang mempunyai tujuan baik yakni agar pegawai pemerintahan, khususnya para pejabat dapat mempunyai kontrol ketika akan berbuat menyimpang. Baju adat merupakan refleksi nilai dan norma yang terkandung di dalam suatu masyarakat. Dengan pemakaian baju adat, generasi muda yang saat ini mulai melupakan sikap, etika dan moral yang terkandung di dalam masyarakat adat dapat berubah menjadi sikap yang lebih berdasar pada kearifan lokal. (Yusuf Isyrin Hanggara)