Jumat, 19 April 24

Sebastian, Sampaikan Salam Kami untuk Sondang

Sebastian, Sampaikan Salam Kami untuk Sondang

Sebastian, Sampaikan Salam Kami untuk Sondang
Oleh: Gede Sandra

Pada perayaan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2015 beberapa hari lalu, datang berita duka dari Gelora Bung Karno (GBK). Seorang aktivis serikat buruh yang bernama Sebastian Manufuti (45 tahun) meninggal dunia setelah terjatuh dari atap stadion pada saat organisasinya, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), sedang menggelar perayaan Hari Buruh di stadion peninggalan Bung Karno tersebut.

Namun sepertinya hal ini bukan kecelakaan biasa, karena diduga Sebastian juga melakukan aksi bakar diri (Self Immolation) sebelum secara sengaja terjun dari atap stadion GBK ke tengah-tengah panggung acara yang sedang berlangsung dan kemudian meninggal akibat benturan pada kepalanya. Dugaan bahwa kecelakaan ini lebih mirip suatu aksi politis diperkuat dengan “status” yang ditulis Sebastian di media sosial miliknya, antara lain:

Selamat berjuang sahabat buruh! Semampu ku kan berbuat apapun agar anda, kita dan mereka bisa terbuka matanya, telinganya dan hatinya untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Membuatku bahagia!

Sejenak ingatan kembali ke sebuah nama yang sudah menjadi legenda di kalangan pergerakan: Sondang Hutagalung. Sondang adalah seorang aktivis mahasiswa dari Universitas Bung Karno (UBK) yang melakukan aksi bakar diri pada 7 Desember 2011 di depan Istana Negara untuk memprotes kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Karena luka-luka bakarnya yang terlalu fatal, pemuda yang semasa kuliah aktif di Himpunan Aksi Mahasiswa untuk Marhaenisme UBK dan juga di organisasi “Sahabat Munir” ini akhirnya meninggal di RSCM tiga hari berselang setelah aksi bakar dirinya.

Mirip dengan Sebastian, Sondang mengorbankan jiwa raganya demi suatu tujuan politik yang dipercayainya. Perbedaannya, pada kasus Sondang, gelombang solidaritas dari kalangan pergerakan di seluruh Indonesia segera berdatangan untuknya sejak hari pertama. Sedangkan pada kasus Sebastian tak tampak gelombang solidaritas tersebut, situasi pergerakan tampak sepi saja selama beberapa hari paska kejadian. Kecuali mungkin Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) belum lama ini di Makassar.

Meskipun kita sangat bersedih atas nasib yang menimpa Sebastian, tetapi hati ini sebenarnya juga amat bergetar setelah membaca pesan yang ditinggalkan bersama keberanian. Sebagian pihak mungkin merasa sinis, memandang aksi tersebut tidak tepat. Namun bagi para aktivis yang ingin suaranya didengar publik, di tengah belantara korporasi media menjadi gaung sunyi. Baik Sondang maupun Sebastian mungkin ingin menarik perhatian masyarakat, namun sulit menemukan salurannya.

Lagipula aksi bakar diri bukanlah termasuk aksi terorisme. Tidak ada sekalangan masyarakat yang menjadi korban jiwa atau dirugikan. Jikapun ada yang merasa sedih, mungkin hanya kerabat terdekat. Jelas bahwa, sesuai opini yang berwajib, tindakan Sebastian murni bunuh diri. Tidak ada yang dirugikan dari aksi bunuh diri, yang dipertaruhkan oleh para pelakunya adalah keberanian belaka.

Baru kemudian kita kembali pada “status” yang, kabarnya, ditulis oleh Sebastian pribadi hanya beberapa saat menjelang aksi bakar dirinya. Secara tegas disebutkan perihal Sila Kelima Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia oleh Sebastian. Esensi dari Sila ini harus dilihat, didengar, dan dirasakan oleh seluruh rakyat. “Anda” merujuk pada para pembaca pesan ini, itupun bila media mainstream mewartakannya. Namun bila berita tentang aktivis buruh yang bakar diri setelah menuntut masyarakat “melihat, mendengar dan merasakan” ini tidak dikabarkan secara luas, tidak ada yang bersolidaritas, maka namanya juga akan menjadi gaung sunyi di kejamnya belantara korporasi media.

Menurut penggali utama Pancasila Bung Karno, Sila Keadilan Sosial merupakan kebijaksanaan nenek moyang bangsa Indonesia. Titi tenterem kerta rahardja, suatu kondisi masyarakat yang adil dan makmur. Tjokroaminoto, guru politik sekaligus mantan mertua Bung Karno, menyatakan bahwa cita-cita politik yang sesuai ajaran luhur adalah suatu masyarakat yang sama rata dan sama rasa. Pada masa-masa akhir kepresidennya, dalam berbagai pidatonya Bung Karno menyatakan bahwa tujuan dari Pancasila adalah suatu masyarakat Sosialisme Indonesia yang dicapai dengan suatu revolusi. Masyarakat yang adil dan makmur, menurut inti ajaran Bung Karno adalah hilangnya penghisapan dan penindasan antar manusia. Artinya akan terjadi suatu perjuangan kelas untuk sedapat mungkin mewujudkan idealisme tersebut. Mungkin itu pula yang ingin disampaikan Sebastian dengan aksi bakar dirinya tepat saat May Day 2015.

Perjuangan kelas demi wujudkan Sila Kelima Keadilan Sosial dalam hal ekonomi adalah nasionalisasi. Banyak yang mengecilkan arti proyek nasionalisasi Bung Karno sepanjang 9 tahun terakhir pemerintahannya. Padahal, tanpa terobosan tersebut Indonesia yang baru belasan tahun menikmati atmosfer merdeka tak akan pernah memiliki berbagai BUMN yang vital bagi perekonomian. Terjadi perjuangan kelas dari kelas pekerja Indonesia melawan kapitalis asing asal Eropa dan AS di sektor perbankan, perkebunan, perkapalan, perhubungan, telekomunikasi, perminyakan, dll. Kesalahan dari program nasionalisasi ini adalah mempercayakan aset yang terokupasi ini kepada militer (terutama angkatan darat) Indonesia. Bukan suatu kebetulan, bahwa angkatan darat lah yang kemudian dididik para ekonom konservatif aliran neoklasik (neoliberal) asal AS yang akhirnya menggulingkan Bung Karno dari kepresidenan.

Selain itu, proyek Bung Karno yang monumental dalam tujuannya menciptakan Sosialisme Indonesia adalah reforma agraria. Pembagian aset lahan kepada organisasi-organisasi tani ini tak perlu lama menjadi musuh bersama dari para tuan tanah, para santri (karena tuan tanah banyak menitipkan aset lahannya ke pesantren-pesantren), polisi, dan lagi-lagi militer angkatan darat. Namun tragedi terbesar dalam sejarah Kemanusiaan Indonesia juga dipicu oleh pelaksanaan program ini, 2,5 juta kepala (data Sarwo Edhie Wibowo) kaum progresif menjadi korban keberingasan para santri dan para preman yang didukung angkatan darat sepanjang 1965-1966. Sekedar informasi, Sondang juga merupakan salah satu aktivis yang kerap ikut Aksi Kamisan di depan Istana Negara, yang merupakan bentuk kekecewaan rakyat pada pemerintah karena lambannya penyelesaian kasus Kemanusiaan di masa lalu termasuk pembantaian 1965-1966.

Bila Sondang Hutagalung adalah pejuang Kemanusiaan atau Sila Kedua Pancasila, Sebastian Manufuti adalah pejuang Keadilan Sosial atau Sila Kelima Pancasila. Semisal contoh yang relevan: keyakinan politik Sebastian adalah terhapusnya sistem ousorcing (alih daya) dan sistem kontrak untuk secepat-cepatnya dan selamanya. Karena kenyataanya sistem fleksibilitas pasar tenaga kerja ini tak jauh dari perbudakan modern. Tapi yang terjadi dewasa ini bisnis outsorcing ternyata malah semakin marak di Indonesia, artinya tuntutan aktivis yang salah satunya adalah Sebastian tidak pernah didengar oleh pemerintah. Korporasi media pun tidak berkepentingan untuk menyokong kampanye semacam ini, karena para taipan pemiliknya jelas juga diuntungkan oleh sistem fleksibilitas pasar tenaga kerja ini.

Seandainya Presiden Jokowi dilaporkan tentang kejadian aksi bakar diri Sebastian, seperti mimpi bila sistem outsourcing dan kontrak dihapuskannya dengan wewenangnya yang kami, rakyat, berikan. Karena bila itu yang terjadi tentu Sebastian dapat pergi dengan tersenyum. [#]

*) Gede Sandra – Dosen dan peneliti di Universitas Bung Karno (UBK), mantan Aktivis ITB Bandung dan lulusan Magister UI Jakarta.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.