Jumat, 29 Maret 24

Breaking News
  • No items

Saatnya Media Bongkar Pencitraan

Saatnya Media Bongkar Pencitraan
* Yons Achmad.

Oleh: Yons Achmad,  Kolumnis, Pengamat Media dan Founder Kanet Indonesia

 

Salah satu tugas media adalah membongkar pencitraan, bukan malah melulu menjadi agen pencitraan. Itulah yang seharusnya terjadi di negeri ini, terlebih media mainstream (arus utama). Sayangnya, yang terjadi sebaliknya. Beberapa media arus utama malah sibuk menjadi rezim pencitraan itu sendiri. Media , sadar atau tidak malah (maaf) “melacurkan” diri sekadar menjadi media partisan. Tentu saja, publik tak ingin media memainkan peran seperti ini.

Apa akibatnya ketika media malah berperan sebagai partisan? Kita akan melihat potensi media sekadar menjadi sarana pembenaran penguasa, tidak hadir fungsi kontrol di dalamnya.

Kritik tak hadir, yang ada hanya puja pujian. Pada titik ini, media terjebak untuk malah menjadi semacam humas pemerintah? Tentu saja pemandangan ini menjadi wajah buruk media kita.

Media, seperti kata Eriyanto (2007) dalam “Analisis Framing”, terjebak melakukan framing untuk membentuk konstruksi yang manipulatif.

Pencitraan yang Membosankan

Di level kekuasaan, saya melihat, semakin mendekati tahun politik, pencitraan yang dihadirkan semakin membosankan. Hanya seputar “kulit”, tak ada “isi”. Contoh nyatanya bagaimana media heboh memberitakan Jokowi yang menginap di hotel murah, saat berkunjung ke tempat tertentu memayungi dirinya sendiri saat gerimis datang, berkunjung ke daerah hanya minta suguhan tahu tempe.

Singkat kata, pencitraan yang ingin ditampilkan masih seputar sosoknya yang dinilainya sederhana dan merakyat. Yang menjadi persoalan, sang tokoh sudah berkuasa Bung, bukan kampanye lagi. Pencitraan demikian, sungguh membosankan. Sederhana dan merakyat itu penting. Tapi terus menerus dikesankan sederhana dan merakyat, sementara kebijakan politiknya banyak yang bertolak belakang, tentu saja sangat membosankan.

Pencitraan yang paling menonjol, yang mungkin boleh dikatakan “isi” misalnya soal infrastruktur. Tapi, tetap saja, hal ini tidak konsisten dengan janji dan jargon kampanye yang mengusung “Revolusi Mental”.

Jelas, sesuai jargonnya, meminjam istilah dosen Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung, kita membutuhkan “Jalan Pikiran” daripada “Jalan Tol”. Pembangunan fisik yang digembar-gemborkan bahkan sangat kontraproduktif dengan janji kampanye yang menekankan pada pembangunan mental atau Sumber Daya Manusia (SDM). Sayangnya, media seolah tutup mata dengan beragam pencitraan demikian.

Pukulan Balik

Para perancang pencitraan presiden mungkin bekerja siang malam. Mencitrakan tuan presiden yang sederhana dan merakyat. Tapi, kalau sampai “overdosis”, yang terjadi justru sebaliknya. Bisa menjadi pukulan balik.

Apa gunanya citra merakyat dan sederhana. Suka blusukan di sawah, sementara beras masih impor, BBM terus naik, listrik terus naik, sementara daya beli masyarakat tak pernah ada usaha perbaikan menjadi lebih baik?

Dalam kajian media, kondisi demikian bisa dijelaskan lewat konsep Simulakra. Konsep lawas tapi masih cukup relevan. Diperkenalkan oleh Jean Baudrilard dalam Simulations (1983), dikatakan bahwa simulakra, ia semacam mesin yang memproduksi segala yang palsu, menyimpang dari rujukan dengan menciptakan tanda sebagai topeng, tabir, kamuflase atau fatamorgana. Menggiring dunia politik ke arah “penopengan realitas”.

Memperbarui konsepnya, Baudrillard dalam “Simulacra and Simulations”(1994) menyebut simulasi bukan lagi cermin atau representasi, tetapi pembangkitan melalui model real tanpa asal usul atau realitas.

Inilah yang terjadi saat ini. Pertanyaannya, apakah pencitraan Jokowi dengan model demikian akan berhasil? Jawabannya adalah tidak. Pencitraan demikian akan runtuh, asalkan muncul narasi yang kuat dan meyakinkan sebagai kontra (tandingan).

Di level ini, tugas media yang kritis, bukan media yang partisan menjadi sangat penting. Media, alih-alih menjadi humas pemerintah, seharusnya bertugas membongkar topeng dan pencitraan yang sudah sangat jauh dari realitas. Itulah tugas media.

Tahun politik seharusnya menjadi momentum media membongkar pencitraan. Tujuannya, menghadirkan publik yang kritis, membangun kesadaran warga (pemilih) untuk tak lagi tertipu dengan janji dan citra palsu. Di ranah kajian media Islam, inilah tugas profetik media yang perlu terus digairahkan.

Depok, 17 Februari 2018

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.