Kamis, 25 April 24

Rohingya, Muslim Myanmar yang Jadi Manusia Perahu

Rohingya, Muslim Myanmar yang Jadi Manusia Perahu
* Pengungsi muslim Rohingya.

Jakarta, Obsessionnews.com – Permasalahan keragaman agama dan etnis di banyak negara telah mengakibatkan berbagai persoalan, utamanya menyangkut upaya sebuah negara untuk menyatukan visi bersama berbasis keadilan, seperti yang sedang dialami Myanmar.

Sebagaimana negara-negara tetangganya di Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina, permasalahan keragaman agama dan etnis telah membawa Myanmar ke dalam kancah pergolakan yang hingga kini tidak kunjung usai.

Negara Myanmar yang mencapai kemerdekaan-nya dari Inggris tahun 1948. Beberapa kali mengalami gelombang protes, yang disebabkan oleh ketidak-adilan. yang menciptakan luka yang mendalam pada beberapa kelompok perlawanan, yang antara lain mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Meskipun akar permasalahannya adalah ketidakadilan yang dirasakan oleh sebagian besar kelompok etnis, yang merasa dizalimi oleh sekelompok etnis yang dominan di negara itu (Etnis Burma) yang mendominasi di Myanmar, karena di samping jumlah mereka yang lebih banyak daripada kelompok-kelompok etnis yang lain, telah menguasai berbagai bidang kehidupan di negara itu.

Dominasi kelompok etnis Burma, yang pada umumnya beragama Budha terhadap kelompok etnis yang lain, telah melahirkan praktik-politik yang dirasakan sebagai sebuah ketidakadilan oleh kelompok-kelompok etnis yang lain, termasuk di dalamnya kelompok etnis-Muslim yang menempati posisi minoritas.

Islam di Myanmar termasuk agama minoritas, dengan persentase sekitar 4% dari jumlah penduduk di seluruh Myanmar. Walupun pemeluk agama Islam minoritas, tetapi mereka mepunyai pengaruh di berbagai bidang. Hal ini terbukti dengan banyaknya jabatan penting di pemerintahan yang diduduki oleh orang Islam. Mereka juga banyak menguasai bidang perdagangan, diplomatik, administrasi, politik, bahasa, dan budaya.

Masyarakat Myanmar dibagi berdasarkan faktor etnis, seperti Burma, Shan, Karen, Rakhine, Kayah, India dan Mon. Pembagian tersebut juga berlaku dalam masyarakat Muslim, ada Muslim Burma atau Zerbadee, Muslim keturunan India, Muslim Hui-Hui atau Panthay dan Muslim Rohingya.

Masing-masing komunitas memiliki hubungan yang berbeda-beda dengan masyarakat Budha dan pemerintah. Komunitas pertama, Muslim Burma, merupakan komunitas yang terbentuk paling awal. Mereka terbentuk dari wilayah Sweebo di dataran tengah dekat ibu kota pra kolonial kerajaan Burma.

Komunitas ini dapat dirunut asal usulnya hingga abad ke 13 dan ke 14, ketika nenek moyang mereka datang ke negara itu sebagai pembantu istana, tentara sewaan dan pedagang dari Barat. Pada 1930-an, Muslim Burma yang berasimilasi dengan baik ini jumlahnya dilaporkan kurang dari sepertiga komunitas Muslim.

Komunitas kedua, Muslim India, merupakan komunitas Muslim yang terbentuk seiring kolonisasi Burma oleh Inggris pada abad ke 19. Pada 1886 sampai 1937, Burma dijadikan sebagai bagian dari provinsi India oleh Inggris. Oleh karena itu, banyak imigran dari India ke Burma. Kedatangan arus imigran yang sangat besar ke Myanmar ini menyebabkan munculnya masalah sosial, politik dan ekonomi.

Penyebab Muslim India banyak berdatangan ke Myanmar, karena kebutuhan pemerintah Myanmar terhadap sumber daya manusia dan penilaian subyektif Inggris tentang imigran India yang lebih adaptif dan mandiri. Di Myanmar, muslim India masih mempertahankan hubungan erat dengan praktek-praktek religius dan kultural dari tanah asal mereka.

Komunitas Muslim di Myanmar yang ketiga adalah Rohingya yang bermukim di daerah Arakan atau Rakhine yang berbatasan dengan Bangladesh. Sebelum 1784, walaupun penguasanya menggunakan lambang Islam, Arakan merupakn sebuah kerajaan Budha merdeka. Akan tetapi kerajaan Budha tersebut dihancurkan oleh tentara Myanmar.

Kedudukannya melemah diakibatkan oleh bangkitnya kekuatan Myanmar di bagian timur. Arakan kemudian di masukkan menjadi bagian dalam Burma oleh Inggris. Sejak saat itu Arakan didatangi oleh sejumlah besar imigran dari Chittagong (Bengal). Proporsi terbesar kaum Muslim Myanmar adalah keturunan Bengal dan sebagian besar mereka tinggal di negara bagian Arakan.

Arakan merupakan daerah yang di diami oleh dua komunitas etnis, Budha Arakan atau Rakhaing dan Muslim rohingya. Rakhaing menempati wilayah Arakan selatan, sedangkan Muslim Rohingya tinggal di Arakan Utara, terutama di daerah Buthidaung dan Maungdaw.

Setelah Burma merdeka pada tahun 1948, ketiga muslim di atas memiliki peran yang berbeda. Muslim Burma mendapat tempat di pemerintahan U Nu. Sebaliknya kaum Muslim India, yang lebih berpandangan keluar dan berorientasi pada perdagangan, mengalami masa hidup yang lebih sulit setelah kemerdekaan.

Akan tetapi, bila dibandingkan dengan Muslim Burma dan Muslim India, kedudukan Muslim Rohingya yang paling sulit. Mereka merupakan komunitas yang paling miskin, yang berada di Myanmar. Mereka selalu ditolak status kewarganegaraannya, juga berbagai akses sekolah dan rumah sakit.

Selain itu, mereka juga disulitkan oleh peperangan, dislokasi, dan perselisihan. Sehingga mereka terusir di beberapa negara sebagai kelompok pengugsi dan manusia-perahu. Mereka antara lain tersebar menjadi pendatang liar di Thailand, Srilanka bahkan ada sebagian dari kelompok mereka yang ‘terdampar’ di Aceh (Indonesia) sebagai kelompok manusia-perahu. Etnis Rohingya meski sudah puluhan tahun menetap di perbatasan Myanmar-Bangladesh, tidak kurang dari 800.000 warga Rohingya tetap berstatus Stateless (tak bernegara).

Sebelum angkatan bersenjata Burma mengambil alih negara itu pada 1962 dan menetapkan cap sosialismenya, Muslim menyatu dengan penduduk. Mereka berada di posisi-posisi puncak di ketentaraan dan pemerintahan (misalnya, Haji M.A.Rachid, sekali menjadi menteri pusat Burma). Ada dua hakim Muslim di pengadilan tinggi dan ada empat Muslim menjadi menteri di satu atau lain waktu (1930-an).

Ketika junta militer mengambil alih kekuasaan pada 1962, nasib mereka jadi nestapa. Di bawah kekuasaan junta milter, melalui Undang-Undang Kewarganegaraan 1982, etnis Rohingya dianggap imigran ilegal asal Bangladesh sehingga mereka diberi status warga tanpa kewarganegaraan.

Berdasar sumber hukum itu, Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai satu di antara 137 etnis negara ini. Akibatnya, mereka kehilangan hak-haknya di tengah mayoritas kaum Buddhis, sehingga junta militer dapat bertindak sewenang-wenang.

Selama tiga dekade terakhir, etnis Rohingya menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), seperti pembersihan etnis, pembunuhan, pemerkosaan, dan pengusiran dari tempat tinggal. Pemerintah juga sering kali dengan mudah menjadikan mereka sebagai kambing hitam berbagai persoalan, seperti separatisme, pemberontakan, pedagang dan pemasok obat bius, dan lain-lain.

Mereka tidak memiliki kebebasan mengakses layanan kesehatan, menikmati bangku sekolah, mencukupi kebutuhan pangan, berpartisipasi dalam kehidupan politik, dan menjalankan aktivitas ekonomi. Suara mereka benar-benar dibungkam oleh rezim penguasa. Segala tindakan keji dan tidak manusiawi seharusnya tidak perlu terjadi.

Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), kira-kira 20.000 umat Islam Arakan telah dibunuh oleh rezim militer antara tahun 1962 hingga tahun 1984. Data tersebut belum termasuk tahun 2017 ini. Ratusan wanita diperkosa dan harta benda mereka dirampas. Media komunikasi dalam negeri digunakan untuk menyebarkan kebohongan dan fitnah terhadap Islam.

Konvensi bangsa Rohingya, yang terbentuk pada tanggal 14-16 Mei 2004, membuka mata dunia terhadap masalah Rohingya. Konvensi yang diikuti oleh organisasi-organisasi Rohingya yang ada di beberapa negara, sedikit melegakan nasib Rohingya yang tertindas puluhan tahun. (Has)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.